Suatu hari saya mengikuti kegiatan yang dilaksanakan di sebuah rumah, yang orang-orang sering menyebutnya dengan panti asuhan. Pertama datang, kedua orangtua dan anaknya yang menjadi pengurus rumah tersebut langsung menolak sebutan rumah mereka sebagai panti asuhan .Â
"Kami bukan panti asuhan, kami keluarga, bukan hanya menampung". Hal yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dalam rumah kira-kira ada 30 anak umur TK-SMA dan 5-6 orang anak yang seumuran saya. Tinggal dirumah tersebut selama 2minggu membuat saya belajar banyak sekali hal yang tidak saya dapat dari dunia luar.
Bapak sebagai kepala keluarga tersebut bekerja sebagai pemuka agama, pendeta. Ibu sebagai ibu rumah tangga. Setiap jam 4pagi, saya sudah bisa mendengar suara Ibu yang sedang memasak dari dapur, ibu bangun sepagi itu tiap harinya untuk menyiapkan makanan bagi ke-(hampir) 40 anggota keluarganya. Kegiatan setiap paginya dilanjutkan dengan Bapak yang mulai memainkan gitar mengiringi ibu yang selesai memasak untuk bernyanyi lagu-lagu pujian, menjadi penanda anak-anak waktunya bangun tidur. Satu persatu anak-anak keluar dari kamar dan berkumpul di ruang terbuka di rumah itu, berkumpul jadi satu menyanyikan lagu pujian sambil menahan mata yang masih ngantuk.
Jam 5 pagi dimulailah kebaktian, bapak memimpinnya, anak-anak mendengarkan. Bernyanyi lagu pujian pembukaan, mendengarkan firman dan ditutup lagi dengan lagu pujian. Indah sekali, pikir saya saat itu. Setelah kebaktian, anak-anak kembali ke kamar, membereskan tempat tidur dan mandi pagi untuk dilanjutkan dengan sarapan. Anak yang besar membantu ibu menyiapkan sarapan, anak lainnya membantu adiknya siap-siap kesekolah. Selanjutnya setelah sarapan mereka berbaris untuk berdoa berangkat sekolah, berbaris lagi meminta uang sangu dari ibu.
Terserah orang mau bilang apa, anak panti asuhan, ibu asuh, anak asuh atau anak tiri. Kasih ibu, bapak dan anak-anak tersebut saling bersautan, meniadakan perbedaan darah. Ibu dan bapak memperlakukan mereka tak ada beda satu dan lainnya. Sulit dipercaya tapi hal itu nyata. Bapak selanjutnya mengantarkan anak-anak SD-SMP ke sekolah dengan mobil anak-anak Elf, saling memangku satu dan lainnya. Anak SMP dan SMA pergi bersama, dilanjutkan dengan yang sudah kuliah.
Bapak pendeta dan ibu adalah istri rumah tangga, membuat orang bertanya tanya dari mana mereka membiayai semuanya? "jalan Tuhan selalu ada" jawab bapak saat saya bertanya. Anak-anak mereka berasal dari anak-anak yang ditelantarkan orangtuanya, ada yg dari rumah sakit, maupun yang dititipkan langsung didepan rumah. Beragam wajah beragam muka, beragam jiwa dan darah, tapi hanya kasih yang menggerakkan bapak ibu untuk menjadikan mereka keluarga seutuhnya.
Anak-anak tidak untuk diadopsi, anak anak tidak dijadikan bahan tulisan di proposal untuk menggalang dana. Bapak Ibu menyatutkan nama setiap mereka di Kartu Keluarga. Sungguh indah dan sulit dipercaya. Mengingat mereka membuat saya selalu percaya masih adanya kebaikan dan keputihan hati di dunia ini.Â
Membuat saya tertawa melihat masih adanya orang gila yang tak pernah berhenti bertanya apa agamanya untuk memiliki alasan saat memberi. Membuat saya geli melihat masih ada mereka yang bertanya suku untuk memiliki perdamaian yang menyatukan. Membuat saya sendiri berkaca ketika ada kalanya mengeluhkan keadaan.
Kisah ini saya bagikan karena ada baiknya untuk dibaiknya untuk direnungkan,
Serevinna
12 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H