Menanggapi tulisan pak Thamrin Sonatha (TS) tentang pak Bambang Setyawan (Bamset) yang disebut layak duduk sebagai Best in Citizen Journalism 2016 . Walau masih jauh pelaksanaannya tetapi kumantapkan memilihnya dengan pertimbangan- pertimbangan rasional. Seperti kualitas tulisan, konsistensi menulis, cara komunikasi, ngemong, mau berbagi dan tawadhu.
Pak Bamset kukenal sejak tahun 2015 di Kompasiana terbatas pada berbalas komen dilapaknya. Selama bergaul rasanya tidak ada hal yang membuatnya serius, semua komen ditanggapi dengan santai tanpa beban. Waktu ada Kompasianer memujinya juga ditanggapi dengan dingin seperti tidak terpengaruh. Begitu juga waktu tulisannya tidak diapresiasi admin, cara menanggapinya juga enteng tanpa ekspresi apa- apa. Bahkan waktu pak Bamset memenangkan juara I blog competition#GinAja Ramadanmu berhadiah Rp 7 jt, Smarfren Andromax E2 plus dan MIFI Andromax M2Y reaksinya tenang tanpa expresi sedikitpun. Selama 1 minggu kulihat akun FBnya ternyata juga tidak ada postingan tentang kemenangannya. Sampai hari inipun tidak terlihat pak bamset memamerkan kemenangannya.
Mengikuti semua tulisan pak Bamset selama setahun lebih memang menarik. Bahasa disetiap tulisannya enak dibaca dan perlu. Tidak pernah menggunakan bahasa yang susah dipahami. Bahkan anakku yang masih duduk dikelas 5 SD bisa mengerti dengan mudah apa yang ditulis pak Bamset. Istilahku renyah walaupun sering dibantah pak Bamset sendiri. Keliatan sekali tawadhunya pak Bamset. Menurutku mental juara memang seperti itu tidak memperlihatkan kesombongannya sedikitpun. Tidak takabur dan tidak suka pamer walaupun jumlah pembacanya sampai 1,904,341.Kalau aku pasti sudah guling- guling kegirangan.
Jiwa tawadhunya pak Bamset terlihat jelas pada tulisan- tulisannya berikut komentar- komentarnya. Pada tulisan- tulisan berjumlah 578 aku tidak pernah membaca satu tulisanpun tentang pejabat Salatiga. Semua tulisannya selalu menceritakan banyak orang non pemerintahan. Waktu kutanya tentang soal itu pak Bamset menjawab : Sy bkn humas yg tugasnya melakukan pencintraan. Singkat padat tetapi pas. Begitupun waktu menulis tentang perpustakan jalanan,pak Bamset konsisten menagih janji teman- teman Kompasianer melalui tulisannya. Dengan bahasa yang enak pak Bamset menegur Kompasianer seperti terlihat pada tulisannya tanggal 31 Agustus 2016 :
“Sebelumnya koleksi hanya 200 buah buku, setelah mendapat kiriman dari pak Faiz (Yogya), pak Nirwan (Jakarta), mas Eko Sanyoto (Salatiga), ibu Dewi, ibu Ririn (Cirebon) dan masyarakat setempat, sekarang jumlahnya jadi 300 eksemplar,” jelas Robi yang berkulit sawo matang ini serius.
Agak terperangah juga mendengar nama- nama yang disebutnya, pasalnya dari sederet nama tersebut, tidak ada satu pun yang menyandang predikat Kompasianer. Padahal, pekan lalu, rekan-rekan Kompasianer sudah banyak yang menyatakan keinginannya menyumbangkan buku-bukunya yang tak terpakai. Kendati begitu, untuk menghiburnya, saya katakan bahwa bantuan rekan Kompasianer mungkin masih dalam perjalanan.
Cara pak Bamset menegur langsung mengenai diriku karena aku sebelumnya pernah menjanjikan mengirim 10 buku. Tidak hanya diriku rupanya teman- teman Kompasianer lainnya juga merespon. Dengan gaya pak Bamset mengingatkan terlihat jelas kalau pak Bamset mempunyai etika bergaul dan mempunyai jiwa sosial tinggi karena tidak hanya menulis tetapi juga melakukan pendampingan. Dan yang terakhir perlu kucantumkan catatan tentang pak Bamset di Kompasiana menurutku lebih dari cukup untuk mendapatkan gelar Best in Citizen Journalism 2016. Ini catatannya selama dua tahun di Kompasiana sampai hari Sabtu ini:
Bergabung sejak 31 Oktober 2014
Artikel :578
Dibaca :1,904,341
Komentar :14,547