Mohon tunggu...
serat arum
serat arum Mohon Tunggu... -

Apalah arti pena tanpa tinta, apalah arti karya tanpa restu dariNYA,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Indonesia dan Kita

24 September 2012   11:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahasa Indonesia dan Kita

Seorang bayi dilahirkan sudah dengan bisa berbahasa. Bahasa yang tidak mudah diterjemahkan secara pasti dan hanya tangisan persisnya. namun begitu, tetap ada yang seakan mendekati paham bahasa/symbol tersebut, terutama ibunya sendiri. Dan sampai sebelum bisa melafadkankalimat maka hanya itulah alat komunikasi bayi dengan ibunya. Begitu juga ibuku, jika tiba – tiba aku menangis maka ibuku mengerti bahwa tangisan ini memberitahunya kalau aku ngompol, atau kalau diendusnya tidak beraroma pesing di jarik alas tidurku, air susu ibu menjawab tangisanku, lalu aku tidur kembali saat sudah tidak ada perlu.

Bertambah bulan usiaku ibu setia sekali menggendong dan memangkubalitaku sambil diajarkanberbahasa yang lebih sempurna, tentunya masih bahasa original tanah kelahiran. Bahasa nasiaonal kita masihdi kayangan rupanya, jangankan TV,listrik pun belum sampai di desaku. Dan di pangkuan ibulah sesekali kedua tangan balitaku ditepuk tangankan, bukan tepuk pramuka atau semacamnya, hanya sebagai iringan nyanyian seperti ini, walau sebenernya tepuk tanganku belum mengeluarkan bunyi, “cepluk ami ami belalang kupu kupu, siang makan nasi kalau malam mimik susu”. tertawa tawa tubuh balita mungil di pangkuannya, namun sayang walau hanya sepintas aku benar – benar tak ingat masa - masa itu, kecuali cerita ibuku yang membuatku seakan menyaksikan sendiri. Dan untuk ibuku “di umur yang masih balita bukan diajarkan berbahasa bu, itu masih sebagai hiburan balitamu, but thank’s so much J”.

Lebih jauh dari itu sambil belajar mengukuhkan jalan, bibirku mulai belajar meniru – niru ucapan ibu, atau siapa saja yang menghampiriku dan menggoda mengajakku bicara. Jadi bahan tertawaan iya pastinya, namun sudah jauh memahamkan dibandingkan bahasa bayi. bertambah umur bertambah fasih berucap, di umur -+5tahun ibu sudah jarang mau menggendongku lagi, tubuh kecil yang dulu di pangku ibu sudah besar layaknya anak – anak mestinya. Hari bertambah tahun dan mainan tradisional dari potongan gantungan pisang dibelakang rumah meriangkan masa masa kecil hidupku, sampai disuatu pagi ibu menjedakanku bermain dan menunjukkan kepadaku anak tetangga yang berangkat sekolah, “kamu hampir berani sekolah nak,” kata ibuku. Aku melihatnya sambil berlalu saja, pengertianku tentang sekolah masih seperti secarik kertas kosong, tanpa ada gambaran sama sekali di dalamnya, sampai anak tetangga sudah kembali ke rumah dari sekolah aku masih asyik bermain dengan mainanku yang lain, tentunya mainan tradisional juga. dan tambah teman bermain ketika anak tetanggamendatangiku, dia satu tahun lebih tua dariku.

Senja adalah saat yang ramai kedua setelah pagi disungai desaku. orang – orang berdatangan untuk mandi tak terkecuali aku, bahasa apa yang mereka pakai aku kurang mengerti. jika ku pikirkan sekarang aku sangat terheran kenapa tidak terjadi porno aksi atau saudaranya masa itu, perbedaan tempat mandi lelaki dan wanita hanya tersekat beberapa meter ke bawah, lelaki di atas dan perempuan di sungai bawah. aku salut mereka berbahasa, sebenernya bukan dengan kata namun meskipun begitu sudah berhasil mensinerjikan maksud. Setelah mandi aku berdiri di depan kaca almari usang buatanbuyutku yang jasadnya saja telah lama dikembalikan ke bumi, dengan tubuh yang belum kering coba ku tarik panjang lenganku menggapai daun telinga sebelah? Hampir saja, hampir sampai. benar kata ibuku aku hampir sekolah dan mengenal selain yang di ajarkan ibu di rumah, seperti kalimat yang di ucap temen temen saat berangkat ke sungai bareng – bareng tadi, kata temenku “kalau tidak sekolah tidak akan bisa mengucapkan dan mengerti kalimatkalimat kaya gini”,dan itu mengisi secarik kertas kosong dengan ketertarikan.

Angin malam tanpa mengetuk pintu sebelumnya tiba - tiba saja sudah ada mengitari di sela sela kehangatan keluargaku yang sedang menjamu ketela godok,dan tak ketinggalan nyanyian dangdut dering radio SW milik bapak mengiringi. nyala lampu minyak tanah menyala tak jenak tergoda angin malam, hampir gelap istana keluarga ini ketika angin menamparnya semakin terjang.malam pun semakin larut, saat memejamkan mata tiba untukku, ku lihat nyala lampu masih terus bergoyang goyang, harusnya ketika dekapan ibu sudah menghangatkanku seperti ini mataku lantas terpejam, tapi entah kenapa pikiran ini masih bercengkrama dengan keinginanku bersekolah. terlalu lama ku bercengkrama sambil menatap nyala dimar menari nari, ku lihat ibu yang mendekapku juga sudah nyenyak, apalagi bapak.

Jam setengah pagi suara bluk bluk terdengar dari dapur, suara ibu menumbuk singkong kering bahan nasi tiwul sudah terdengar rupanya, dengan gesit dengan tidak seperti biasa yang masih tidur ku temui ibuku “bu aku ingin sekolah”kataku, “sekolah? Beneran nak?” raut wajah ibu sambil menghentikan tombak penumbuk singkong keringnya surprise sekali, aku mengangguk, “bagus nak, langsung saja nanti ikut berangkat anak tetangga sebelah” lanjut ibu mencerahkan inginku.

Saat esok pagi datang aku dan anak tetangga berseragam merah putih menyusuri jalan tanah di pematang sawah,hari yang masih sangat pagi sekali, embun embun saja masih terasa dingin menyapa sepatu pinjaman,tidak sampai disitu saja, kami masih harus melewati sungai sekalian dengan anaknya, sungai tersebut setahun yang lalu banjir bandang sampai melahap jembatan penghubung desaku dan desa sebelah, namun untung, saat aku dan anak tetangga menyebrang hanya dengan melepas sepatu dan kaos kaki air sungainya tak menyentuh celana pendek kami, giliran melewati anak sungai loncatan kami dari tepi mampu meraih batu lebar ditengah – tengah, sekali lagi kami meloncat kami sudah meninggalkan sungainya, dan sekarang sungai tersebut kering mutlak.

Seragam putih yang dimasukkan celana pendek merah dan masih harus dieratkan ikat pinggang seperti ini menyiksaku di hari pertama sekolah. rasanya aku juga ingin kembali pulang saja setelahmelewati gerbang gedung yang pantas disebut sekolah tiba tiba minder dan takut menghadangku, enyah semua rasa inginku mencicipi sekolah. anak tetangga juga meninggalkanku begitu saja, aku masih mudah mengingat saat itu; bu guru yang juga baru datang tiba - tiba menghampiriku yang terlihat minder,tangannya jatuh di pundakku dan perlahan mengayun tubuhku berjalan menuju kelas, aku menekuk wajah menyimpan minder ini. setelah sampai di dalam kelas bu guru menatapku dalam dalam, wajah ramai dengan keceriaan itu bibirnya mengeluarkan kata – kata “senyum ya, gak boleh minder adik cakep, harus senyum kaya gini”. Bu guru memberi contoh. Pelajaran telah dimulai dan ku lihat kesana kemari namun tak ku dapati anak tetangga tadi, ini bukan pelajaran pertama tahun ajaran baru, tahun ajaran baru telah 2bulan berlalu dan aku baru masuk sekolah, saat bu guru selesai menulis ini budi ini ibu budi dst di papan tulis temanku tadi baru masuk kelas dengan celana sedikit basah di bagian belakang ku lihat,ternyata dia tadi kebelet BAB dan lari ke parit barat sekolah membuang hajat. setelah aba aba bu guru aku anak baru yang terlihat paling antusias menyuarakan ini budi ini ibu budi, suaraku terdengar paling menonjol di antara murid yang lain, aku benar benar menikmati dan minder seperti tak pernah menghampiriku saja, sesekali aku masih menyuarakan pelajaran tadi saat di jalan pulang sekolah.

Ibu di teras rumah sengaja menungguku, Ibu menyambut dengan meriah, mulai ciuman bertubi tubi di pipi tak henti hentinya juga memuji, ibu melepas seragamku sebelum nasi tiwul dan sayur asem buatan ibu menjamu lelahku, “tadi di sekolah diajari apa nak?” tanya ibu, kalau misalnya saat itu aku sudah dibelikan buku seperti anak – anak yang lebih dulu masuk sekolah, aku ingin memperlihatkan langsung catatanku dengan tulisan pertamaku di atas kertas, bukan di pintu jendela kamar atau dinding seperti pertama menulis. Akan tetapi masih sebaliknya, akhirnya dengan semangat ku ceritakan ke ibu dan tak satu pun kejadian yang terlewatkan; mulai menyebrang sungai, saat bu guru mengayunkan tubuhku, tak terkecuali pelajaran ini budi ini ibu budi, “ow pelajaran Bahasa Indonesia” saut ibu, “bukan bu, bukan Bahasa Indonesia, tapi ini budi ini ibu budi dst” “itu namanya Bahasa Indonesia nak” “gitu ya bu, kok tadi aku dikasih tahunya pelajaran ini budi ini ibu budi sama temen” ibu lagi lagi menciumku “anakku anakku”. Besoknya aku diikutkan sekolah lagi dengan anak tetangga seperti hari sebelumnya, namun ada yang beda di hari itu, ibu telah membelikanku buku, ya walau tipis setipis kertasnya namun hal itu sangat menyenangkan hati, menjadikanku giat belajar menulis bentuk huruf dan angka pula, ibu juga tak kalah giat mengajarikusaat dirumah. Pertama yang ku tulis di atas tipisnya kertas setelah bentuk tulisanku lamat lamat dapat dibaca adalah nama lengkapku, nama bapakku, dan ibuku.

Di kelas satu nilaiku lumayan jelek, namun kelas dua nilaiku mulai bersinar terang, salah satu murid berprestasi di sekolah adalah aku, semua mata pelajaran aku bisa terutama Bahasa Indonesia, dan seperti ini berlanjut di kelas berikutnya.

Di kelas tiga ada anak cewek pindahan dari jakarta; merangsangku ingin berbahasa indonesia dengannya. pelajaran ips kemaren membahas kota asal anak pindahan tersebut, gedung DPR pak guru bilang ada disana, Monas, dan banyak hal juga yang disebutkan pak guru. sedikit ragu apa bisa aku berbincang Bahasa Indonesia selancar orang jakarta, atau akan masih seperti bayi dan ibunya?, tapi demi ingin tahu cerita langsung tentang gedung DPR juga penghuninya mungkin, aku harus mencoba. dia berjalan keluar kelas, dengan cepat kilat ku tarik tangannya, dengan masih memegang tangannya yang berusaha melepaskan diri ku bacakan semua tanya yang telah aku tulis di atas kertas sebelumnya. Dia menatapku setelah kertas daftar tanya ku turunkan dari depan wajahku, anehnya dia justru memainkan tangannya dan berucap yang aku tidak mengerti sama sekali, “dia bisu” kata pak guru yang sesaat kemudian membisikiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun