Mohon tunggu...
Serasi Keun
Serasi Keun Mohon Tunggu... Penulis - Platform yang ngomongin relasi serasi perempuan dan laki-laki.

Wujudkan Relasi Serasi dan temukan kami di instagram serasi.keun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki dalam Islam

3 Januari 2022   09:38 Diperbarui: 3 Januari 2022   09:39 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin.  Rahmat yang hadir teriimplementasi dalam memosisikan semua elemen di alam semesta ini. Sehingga tidak ada implementasi dari Islam kecuali terwujudnya keadilan. Makna adil bersifat tidak condong dalam hawa nafsu yang berakibat pada kezaliman. Sedangkan menurut Al-Jurjani, adil merupakan kondisi pertengahan di antara berlebih dan berkurang. Dengan kata lain, adil sebagai kondisi yang konsisten di jalan kebenaran dan menghindari bahaya dalam pandangan syariah atau pun agama. Kondisi adil inilah yang menjadi tolak ukur syariat serta sebagai tata aturan dalam Islam, termasuk pada relasi perempuan dan laki-laki. 

Sebut saja dalam memosisikan laki-laki dan perempuan. Kedua manusia yang merupakan anak keturunan dari adam dan hawa. Mereka tidak diciptakan untuk saling membandingkan apalagi untuk melihat satu sama lain sebagai musuh. Kerap ada persepsi awam hingga cendekiawan yang memosisikan mereka dalam keadaan yang tidak adil. Seperti menurut pandangan Fatima Mernissi. Mernissi beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan haruslah dianggap setara pada tatanan normatif. Anggapan tersebut dilandasi oleh penelitiannya yang membandingkan perempuan tradisional dan modern. Konsep perempuan modern yang berperan layaknya laki-laki. Ia beranggapan bahwa perempuan tradisional -ibu rumah tangga- lebih sering tertindas dari pada perempuan modern. Argumen normatif tersebut disandarkan pada citra perempuan modern dengan aspek literasi, pekerjaaan, sexual segregation, dan pilihan menikah. Hingga memandang jika perempuan tradisional tertindas karena mereka tidak bekerja di luar rumah, tidak bebas, tidak berpendidikan, dan menikah karena perjodohan. Sehingga sebaiknya adanya arah untuk menuju menjadi perempuan modern. Kecacatan berpikir inilah sebuah awal untuk tidak memosisikan perempuan dan laki-laki dalam bingkai ketidakilan.

Memosisikan perempuan dan laki-laki dalam bingkai keadilan adalah dengan menyamakan tujuan penciptaan. Laki-laki dan perempuan bertujuan untuk beribadah kepada Allah. Ibadah pun tidak berarti kesamaan. Namun sebuah proses penyerahan diri pada Allah dengan menaati syariat. Misalnya saja perempuan sebagai istri dan laki-laki sebagai suami. Keduanya memiliki peran yang bisa berbeda, sama, atau saling beririsan. Namun keduanya memiliki beberapa perbedaan dalam perspektif ibadah kepada Allah swt.

Laki-laki beribadah sebagai qawwamah bukan berarti penguasa yang tengil. Qawwamah mencakup kewajiban dalam melindungi, melayani, menafkahi, dan melakukan segala kebaikan untuk istri, anak, serta keluarga. Hingga telah jelas-lah bahwa peran laki-laki sebagai qowwam tidak tergantikan oleh perempuan. Konsep tersebut tidak menafikkan jika perempuan bukanlah pemimpin. Karena sesungguhnya “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Namun peletakkan laki-laki sebagai qowwam berkaitan dengan tatanan pendidikan hingga sosial yang dibentuk untuk menyiapkan laki-laki dalam perannya sebagai qowwam. Dalam memimpin ia harus memiliki ilmu dan sikap yang matang dalam bertindak, seperti menjaga perempuan, bersikap adil, serta memiliki kesungguhan dalam berjihad dan menafkahi. Peran inilah yang diambil untuk beribadah kepada Allah swt. khususnya sebagai seorang laki-laki. 

       Perempuan sebagai insan yang mulia. Citra mulianya terletak pada usahanya untuk beribadah kepada Allah swt. Ia pun memimpin -dirinya, amanahnya, termasuk rumahnya-, menjaga kehormatannya, serta senantiasa menaati Tuhannya -seperti taat pada suami yang tidak bertentangan dengan ketaatan ke Allah swt-. Sesederhana itu peran perempuan yang tanpa melibatkan tuntutan untuk melindungi, menjaga, dan menafkahi orang lain. Perempuan pun dapat bertindak untuk berperan dalam menjaga keluarganya. Misalnya bekerja untuk menghidupi anak-anaknya atau membantu suaminya. Proses tersebut bukan berarti sebuah kewajiban terhadap perempuan, namun sebagai jawaban jika Islam sesuai dengan fitrah manusia. Perempuan yang memiliki kecenderungan empati dan kepekaan tapi tidak membebankan perempuan dalam mencari nafkah. Proses inilah yang juga diperhatikan agar tetap dalam koridor syariat. Semua tujuannya hanya bermuara kepada penghambahaan dan bentuk ibadah pada Allah swt., sebuah elemen keadilan.

Hak perempuan dan laki-laki sebagai manusia adalah sama, sama-sama memperoleh akses kesehatan, pendidikan, dan keamaanan. Hingga keduanya telah setara tanpa menuntut. Setidaknya satu sama lain sudah setara dalam perspektif yang lebih berdampak pada kehidupan. Bahwasannya laki-laki dan perempuan akan setara sebagai seorang muslim, mukmin, taat, benar, sabar, khusyuk, sedekah, puasa, memelihara kehormatan, menyebut nama Allah, bahkan dalam memperoleh ampunan serta pahala yang besar. Kesetaraan inilah yang sudah hadir di tengah Islam. Yang selanjutnya dapat berbeda peran tapi tetap setara dalam keadilan.

Ditulis oleh Fira Musfira

(Kontributor Komunitas Serasikeun, https://serasikeun.wixsite.com/website)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun