Isu pelecehan seksual tengah marak diperbincangkan terutama dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.Â
Permen tersebut berhasil memunculkan beragam respon disertai dengan membanjirnya kasus demi kasus terkait. Momen ini ditanggapi secara responsif oleh dunia perfilman dengan meluncurkan film berjudul Yuni. Terlihat bahwa momen ini menjadi ajang kesempatan dari berbagai media hingga dunia sastra untuk unjuk gigi bahkan menuntun masyarakat dalam mengambil keputusan. Â
Masyarakat disuguhi beragam sajian mengenai isu pelecehan seksual salah satunya melalui novel berjudul second sister. Novel karya Chan Ho-Kei ini menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh siswi Sekolah Menengah bernama Siu-Man. Siapa sangka pelecehan yang dialaminya tersebut mengantarkannya menuju lantai terbawah apartemennya dalam keadaan bersimbah darah dengan diiringi sirine ambulan. Ia memutuskan untuk mengubur pengalaman menyakitkan tersebut bersama tubuhnya.
Kisah tersebut bermula ketika Siu-Man menaiki kereta sepulangnya dari sekolah menuju ke rumahnya. Suasana di dalam peron begitu sesak selain karena berbarengan dengan jam pulang pegawai kantor juga akibat dari panasnya kondisi politik di Taiwan sehingga mampu menjejalkan diri sudah menjadi sebuah keberuntungan. Namun dalam kondisi ramai dan sesak itulah kejadian tidak diinginkan terjadi yaitu pelecehan seksual dengan Siu-Man sebagai korbannya.Â
Walaupun ada yang menyaksikan peristiwa tersebut dan melaporkannya ke pihak kepolisian, Siu-Man belum pantas merasa lega karena episode penderitaannya baru saja dimulai.Â
Peristiwa tersebut terbukti ramai diperbincangkan secara vulgar baik oleh teman-teman dan orang sekitarnya hingga masyarakat dunia maya. Episode tersebut berakhir bersamaan dengan hidup Siu-Man. Menariknya, kisah tersebut hanyalah pembuka dari keseluruhan kisah dalam novel tersebut.
Novel second sister mengisahkan wajah kehidupan negara modern dengan pelecehan seksual sebagai riaknya. Sebagai sepotong kecil kisah dari novel tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan.Â
Pertama, pelecehan seksual merupakan salah satu dari banyaknya dampak kelalaian dan kepayahan pemerintah dalam memberikan layanan dan fasilitas yang nyaman dan manusiawi bagi masyarakat pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Novel ini menyuguhkan wajah berupa kritik terhadap sistem kapitalisme yang menciptakan ketimpangan yang ekstrim dan membuat pemerintah bertekuk lutut terhadapnya.
Kedua, riak berupa pelecehan seksual bertalian dengan kejayaan pornografi yang kemudian menyuburkan prostitusi dan kejahatan seksual. Masyarakat berada dalam kebingungan atas ketiadaan komitmen moral dengan bebasnya akses terhadap pornografi dan ketiadaan batas dalam menelanjangi identitas secara vulgar melalui dunia maya.Â
Masyarakat dihadapkan pada kehampaan kontrol dan batas diri dalam bertindak dan menanggapi pelecehan seksual secara menyeluruh dan tepat. Sehingga, apakah Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 mampu menaggulangi satu riak dari carut-marutnya permasalahan di Indonesia atau malah menjadi tali penyambung bagi permasalahan yang baru?
Ditulis Oleh Lisa Aulia