Semua pikiran dan khayalan berbahaya itu melebur dan tercampur dengan keras kepala. Hasilnya seperti balon yang dengan sengaja dibiarkan terbang tak beraturan karena lubang pengisiannya dibuka seenaknya. Iya, seperti itu. Terbang kesana kemari. Mana ? Di mana ya ? Ah, jangan-jangan yang ini... Atau, jangan-jangan dia... Tapi udara yang membantunya terbang berantakan itu segera habis, semakin menipis, jatuhlah ia. Jatuh di tempat yang tak pernah dia ketahui.
Apa yang akan dilakukan orang normal ketika berada di tempat asing ? Umumnya akan mencari tempat yang aman lalu membatasi interaksi. Hahaha... Sayangnya saat itu aku tak normal. Aku membuka semua akses masuk dan satu per satu 'ku tendang sampah tak berguna. Aku benar-benar menurunkan pertahananku. Sampai aku kelelahan, sampai aku mulai putus asa, karena orang yang aku kira (setidaknya) bisa menjadi tempat berlabuh ternyata sama dengan tempat kami bertemu, bentuknya digital, tidak nyata. Lalu aku mulai menutup segala gerbang dan barikade. Perlahan. Entah perlahan karena terlalu lelah atau karena berharap orang itu akan datang. Mungkin karena alasan yang kedua. Dan selang tak lama kemudian, benarlah datang seseorang.
And the story began...
Aku tak perlu menceritakan awal kami bertemu. Caranya. Pembicaraan yang terjadi saat itu. Jelilah. Kamu, kalian, atau mereka akan tahu tempat dan keadaan kami bertemu. Tebaklah, jangan takut salah. Karena memang kenyataannya awal pertemuan kami penuh dengan tawa. Penuh dengan kesamaan yang tak disengaja. Dua orang yang benar-benar asing, yang baru kali itu saling berbicara, saling menyebut nama. Entah kesungguhan atau rasa mabuk yang semakin hebat, perlahan aku merasa itu bukan kebetulan. Di samping aku tahu tidak ada yang kebetulan, aku semakin yakin kalau inilah itu. Semesta berkonspirasi. Seluruh lapisan kehidupan, planet, asteroid,planetoid, angle astrologi bekerja sama dengan dua anak manusia yang berlawanan jenis sebagai porosnya. Bahu-membahu untuk mempertemukan keduanya. Ah, pasti saat itu aku sedang mabuk. Mabuk kepayang, susah payah untuk bernapas. Sayangnya kali ini aku bukan lagi kesulitan bernapas. Aku kesulitan mengingatnya...
I've got bills to pay...
Saatnya kenyataan beraksi. BERUBAH !!!
SIAPA KAMU ?!! AKU TIDAK KENAL KAMU !! TIDAK ! BUKAN ! BUKAN SEPERTI INI HARUSNYA !!! BUKAN INI YANG SEHARUSNYA TERJADI !!!
Kenyataannya seperti menelan racun yang semua orang tahu kalau tidak ada penawarnya. Kabut pekat, ilusi, kebohongan, kepalsuan, sisi munafik, kebodohan. Sampai kapan aku akan meminggirkan pil pahit itu ?
Bodohnya... Bodoh sekali... I knew, I actually already knew. This shouldn't be happening. We couldn't be together. We couldn't, we can't, and perhaps will never be. I knew he gonna be one of my biggest mistake. And my ultimate regret is something has told me before. Something has warned me. Something has pulled me back. But I was rebelled. I broke every wall I've built. I lost my balance. I was out of control. I lost myself.
Sesuatu dari dalam diriku telah memperingatkan. Sesuatu dari dalam diriku telah menahanku. Tapi ego kosong itu mengambil suatu wujud, kali ini dia tak ingin kalah. Dia mengajak ilusi sebagai sekutunya. Lalu ketika kenyataan datang menginvasi, yang tersisa hanyalah sebuah kenyataan pahit. Kebohongan yang ternyata menjadi pondasinya. Diriku berulang kali berteriak," Aku tahu ! Aku sudah tahu dari awal. Aku tahu, aku sudah tahu. Tapi tetap nekat menerjang, aku tak tahu maknanya. Aku belum tahu, mungkin belum muncul. Atau memang akan berlalu begitu saja."
Sekarang yang tersisa hanyalah diri ini. Tubuh dan jiwa ini. Yang sedang lega sekaligus bingung. Lega karena tahu bahwa tidak perlu lagi menyiksa diri terlalu lama. Namun bingung karena tersadar bahwa dari perpisahan itu terjadi kehilangan. Sayangnya lebih mudah melepaskan sesuatu yang bukan bagian dari satu kesatuan diri.