Sore hari tanggal 9 April 2014, beberapa media massa memberitakan bahwa Gubernur DKI Joko Widodo duduk lesu di pekarangan rumahnya. Kemarin memang hari yang sangat melelahkan bagi beliau, pasalnya hasil pemilu legislatif memang di luar dugaan banyak pihak. Survey Pollcomm pada tanggal 3 April masih memperkirakan PDIP setidaknya mendapatkan 23,1% suara nasional. Roy Morgan malah memasang angka lebih tinggi dengan memperkirakan PDIP mendapatkan 27-37% suara nasional pada survey yang diumumkan tanggal 2 April. Dengan banyaknya survey yang mengunggulkan kemenangan PDIP secara mutlak, tidaklah mengherankan kalau DPP PDIP sendiri memasang target 27% suara secara nasional sedangkan Jokowi sendiri memasang target 33% suara. Sayangnya berdasarkan quick count, target tersebut meleset jauh. Berdasarkan quick count Kompas pada pagi hari, 10 April 2014, PDIP bertengger di posisi pertama namun hanya dengan mendapatkan 19,24% suara secara nasional. Banyak kalangan menilai setinggi-tingginya, PDIP akan meraup sebanyak 20% suara secara nasional, masih jauh di bawah ambang batas pengajuan presiden yang disyaratkan yaitu 25% suara secara nasional atau 20% kursi di parlemen. Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi Efek tidak “ngefek”?
Walaupun memang belum ada survey resmi yang membuktikan dugaan ini, setidaknya hal-hal di bawah ini dapat dijadikan bahan pemikiran mengapa Jokowi Efek tidak “ngefek”, setidaknya menurut pendapat saya pribadi:
1.Faktor Jokowi
Faktor ini memang lebih menitikberatkan bahwa Jokowi secara pribadilah yang memang menyebabkan faktor Jokowi kurang greget, diantaranya:
a.Jokowi diragukan bisa memimpin secara nasional
Saya sendiri menanyakan kepada beberapa teman-teman saya mengapa mereka tidak antusias untuk memilih Jokowi dan lebih memilih calon presiden lainnya. Bagi mereka, Jokowi belum teruji untuk menangani suatu wilayah yang luas. Keunggulan model “blusukan” Jokowi memang bisa diterapkan di wilayah yang tidak begitu luas tapi lain cerita jika dia memerintah Indonesia yang wilayahnya luas. Dengan masih banyaknya masalah yang menumpuk di DKI Jakarta yang belum juga terselesaikan justru menambah keyakinan bahwa Jokowi tidaklah sebaik yang didengung-dengungkan.
b.Pendukung Jokowi tidak lagi solid
Pilkada DKI Jakarta yang lalu adalah salah satu pilkada yang “terpanas” yang pernah saya ikuti. Uniknya, Pilkada ini tidak hanya menarik perhatian warga DKI Jakarta tetapi juga perhatian nasional. Banyak pendukung Jokowi-Ahok yang sebenarnya bukan warga Jakarta tetapi mendukung secara terang-terangan Jokowi-Ahok. Dengan tag “Jakarta Baru”, Jokowi-Ahok memenangkan Pilkada DKI.
Lain Jakarta, lain pula nasional. Pendukung Jokowi ketika maju sebagai calon gubernur tidaklah solid. Sebagian mendukung keputusan Jokowi untuk maju di pilpres, sebagian lagi malah menyayangkan keputusan tersebut. Akibatnya, pemberitaan dan dukungan untuk Jokowi tidaklah segencar pada waktu Pilkada DKI. Yang ironisnya adalah, beberapa pendukung Jokowi waktu Pilkada DKI sekarang berbalik arah menentang Jokowi dan berbicara di media massa.
c.Jenuhnya Masyarakat
Pemberitaan yang terus-menerus terhadap Jokowi menimbulkan efek positif dan negatif. Efek positifnya adalah nama Jokowi semakin dikenal, tetapi efek negatifnya masyarakat sudah mulai jenuh dengan pemberitaan Jokowi. Kejenuhan ini menyebabkan setiap gebrakan Jokowi tidaklah mendapat tanggapan yang seramai dahulu. Kejenuhan ini juga menyebabkan masyarakat mulai melihat berita tentang tokoh yang lain dan mulai tertarik dengan tokoh tersebut.
d.Black Campaign yang berhasil
Menjelang pemilu legislatif, masyarakat dibombardir secara masif oleh isu miring tentang Jokowi. Mulai dari asal usulnya, sukunya, siapa di belakangnya, dan seterusnya. Hebohnya, isu ini bukan hanya terjadi di dunia maya. Saya pernah mendapatkan selebaran tentang hal ini yang ditaruh di depan rumah saya dan di jalanan. Saya juga pernah mendengarkan isu ini diungkapkan dalam sebuah khotbah oleh seorang rohaniawan. Benar-benar masif!
Apakah black campaign ini berpengaruh? Setidaknya itu mempengaruhi teman saya. Sehari sebelum pemilu legislatif, saya bertemu dengan beberapa rekan yang dulunya mendukung Jokowi dan mengatakan bahwa Jokowi bagus tetapi betapa terkejutnya saya ketika mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan memilih PDIP karena jikalau Jokowi menjadi presiden, maka Jokowi akan menjadi presiden boneka. Ya, mereka terpengaruh oleh selebaran yang beredar.
2.Faktor PDIP
Faktor ini menitikberatkan kalau PDIP-lah yang menyebabkan faktor Jokowi kurang greget, diantaranya:
a.Masyarakat masih meragukan PDIP
PDIP pernah memerintah namun pemerintahannya sendiri bukannya tanpa cela. Banyak kebijakan-kebijakan “aneh” yang masih menjadi pertanyaan banyak orang yang belum dapat dijawab secara tuntas oleh PDIP atau setidaknya jawaban yang diberikan tidaklah sedahsyat dan semasif serangan ke PDIP. PDIP kurang menyosialisasikan tangkisan atas pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan PDIP ketika memerintah.
PDIP sendiri juga dikenal sebagai salah satu partai terkorup. Kader-kader mereka di daerah juga tidak semuanya bersih. Ini menimbulkan stigma kalau PDIP sama saja dengan partai yang lain, bahkan mungkin lebih buruk. Jikalau PDIP sama dengan yang lainnya, mengapa harus memilih partai tersebut? Kegagalan PDIP untuk menimbulkan stigma yang baik sebagai pembeda (diferensiasi) dengan partai yang lain, saya rasa adalah salah satu penyebab mengapa PDIP sekarang menang namun “tidak menang”
b.Hanya mengandalkan Jokowi
PDIP sekarang terlalu mengandalkan Jokowi dan menganggap dengan dimajukannya Jokowi sebagai capres akan membuat segala sesuatunya menjadi semakin mudah. Hasil quick count sekarang membuktikan bahwa masyarakat juga menghukum PDIP karena terlalu mengandalkan Jokowi. Dimanakah program PDIP? Apa yang akan PDIP lakukan? Kurang masifnya pemberitaan tentang visi PDIP tentang “Indonesia Hebat” lagi-lagi membuktikan bahwa PDIP tidak ada bedanya dengan partai yang lain.
c.PDIP terlambat mengumumkan Jokowi
Ini diungkapkan oleh Eep Syaefullah Fatah dan saya menyetujuinya. Masyarakat sudah terlanjur memiliki pilihan yang tetap ketika PDIP mengumumkan Jokowi.
3.Faktor “X”
Faktor ini menitikberatkan kalau faktor lain di luar PDIP dan Jokowi yang menyebabkan faktor Jokowi kurang greget, diantaranya:
a.Kurangnya sosialisasi KPU
Masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau untuk memajukan Jokowi sebagai capres, PDIP harus memiliki 20% kursi di parlemen nasional atau 25% suara nasional. Uniknya, banyak yang mendukung Jokowi sebagai calon Presiden tetapi tidak mau memilih PDIP dan tetap setia dengan partai mereka. Ini bagi saya cukup anomali. Sebagaimana kita bahas di atas, ada penyebab mengapa masyarakat tidak mau memilih PDIP tetapi pada saat bersamaan tetap memilih figur Jokowi
b.Faktor Prabowo
Kalau bagi kebanyakan orang, dengan majunya Jokowi itu berarti menggemboskan suara pendukung Prabowo, kebalikannya juga terjadi. Dengan majunya Prabowo, suara untuk Jokowi juga tertahan di Prabowo. Faktor Prabowo patut diperhitungkan.
c.Undecided voters dan swing voters
Inilah yang juga menentukan. Mereka jumlahnya cukup besar, mudah berubah, dan tidak terprediksi. Dalam survey Roy Morgan yang dibahas di atas, jumlah undecided voters masih di sekitaran 30%, jumlah yang cukup besar. PDIP kurang menjangkau kalangan ini, ini terbukti dari quick count kemarin.
Sekali lagi, alasan-alasan di atas hanyalah pendapat pribadi saya sebagai orang awam. Di dalam era demokrasi ini, kita bebas untuk berpendapat dan berbeda pandangan. Yang jelas, PDIP memang menang tetapi juga “tidak menang”. Yang membesarkan hati adalah pada pemilu yang lalu, Partai Demokrat juga hanya meraih 20% suara tetapi sanggup untuk menggolkan SBY sebagai presiden hanya dengan satu putaran dan ini bisa terjadi pada Jokowi pada pilpres nanti. Salam Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H