Mohon tunggu...
Serafim Esternita
Serafim Esternita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa pendidikan masyarakat. Saya senang mengeksplorasi banyak hal terkait masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Lapas Perempuan Indonesia

26 Mei 2023   07:53 Diperbarui: 26 Mei 2023   09:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Keputusan untuk mengizinkan seorang anak tinggal bersama orang tuanya di penjara harus didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak yang bersangkutan. Dimana anak-anak berada boleh tinggal di penjara dengan orang tua, ketentuan harus dibuat untuk:

(a) Fasilitas pengasuhan anak internal atau eksternal yang dikelola oleh orang-orang yang memenuhi syarat, di mana anak-anak akan ditempatkan ketika mereka tidak berada dalam pengasuhan orang tua mereka;

(b) Layanan perawatan kesehatan khusus anak, termasuk pemeriksaan kesehatan pada saat masuk dan pemantauan perkembangan mereka oleh spesialis

2. Anak-anak di penjara dengan orang tua tidak akan pernah diperlakukan sebagai tahanan”

Dari Peraturan internasional Mandela Rules pasal 29 di atas, seorang ibu yang berstatus Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) diperbolehkan untuk mengurus anak di dalam penjara (United Nations Office on Drugs and Crime, 2016). Narapidana perempuan, bahkan seorang narapidana perempuan yang sedang mengandung atau baru menjadi seorang ibu, tentunya mempunyai keistimewaan khusus, dimana mereka harus mengurus kehamilanya, melahirkan, menyusui, bahkan membesarkan anak. Narapidana yang berstatus seorang ibu membutuhkan pelayanan kehamilan serta perawatan yang memadai. Hak-hak narapidana perempuan yang berhubungan dengan hal-hal tersebut sudah selayaknya dipenuhi dan diperhatikan. Terkadang pemerintah dan masyarakat menutup mata pada kenyataan bahwa sebagai seorang perempuan dan narapidana di suatu lembaga pemasyarakatan (lapas) memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari laki-laki. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki mengharuskan adanya perlakuan yang berbeda antara keduanya pula (Utami, 2020).

Kebutuhan seorang perempuan, apalagi seorang perempuan hamil, perlu diperhatikan karena akan memengaruhi perkembangan janin. Menurut (Wahyuni, 2018), seorang ibu hamil memerlukan asupan gizi yang baik selama kehamilan berlangsung. Selain gizi yang baik, pemeriksaan yang cukup dan teratur baik untuk ibu, maupun anak sama pentingnya. Dalam Standar Pelayanan dan Perawatan Dasar Kesehatan Perempuan di rutan, lapas, dan LPKA, sorang narapidana perempuan memiliki standar pemenuhan kebutuhan, yaitu pelayanan dan perawatan kesehatan dasar; pelayanan dan perawatan kesehatan reproduksi; pelayanan dan perawatan kesehatan jiwa atau mental; pelayanan rehabilitasi narkotika, dan pelayanan dan pemenuhan gizi (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, 2019).

Selain itu, jika kita lihat dari sisi seorang anak yang berusia 0-5 tahun yang memiliki ibu seorang narapidana, mereka juga membutuhkan perhatian khusus dari orang tuanya terkait tumbuh dan kembangnya (Wahyuni, 2018). Selain itu, anak-anak juga memiliki hak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, tepatnya pada pasal 7 yang mengungkapkan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Presiden Republik Indonesia, 2002). Seorang anak, khususnya pada anak usia 0-5 tahun, perlu sekali mendapat pengasuhan penuh dari ibunya sebagai orang tua karena ibu merupakan seseorang pelindung, pengawas, penyayang, dan pengajar bagi seorang anak (Surahman, 2019). Oleh karena itu, lembaga pemasyarakatan juga harus menyediakan layanan perawatan yang memadai dan holistik bagi ibu dan anak yang berada di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan juga menjadi perantara bagi ibu dan anak untuk dapat bertemu dan berinteraksi.

Namun, jika kita lihat dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa pihak, seperti oleh (Kurniawan, 2021), ia menemukan bahwa masih minimnya ketersediaan fasilitas tenaga medis; warga binaan atau narapidana yang hamil sulit mengakses layanan kesehatan secara langsung; ketidaksesuaian antara fasilitas kesehatan dan kebutuhan warga binaan hamil; dan kualitas sarana prasarana layanan kesehatan masih kurang memadai. Kemudian, Fahririn dalam penelitiannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Jakarta Timur juga menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa hak narapidana perempuan yang dilanggar, seperti kondisi lapas yang sangat kecil yang menjadi faktor dari overcapacities; warga binaan yang tidak mendapat pendampingan penasehat hukum; kebutuhan pribadi tidak menjadi tanggung pemerintah seperti melahirkan, kebutuhan anak jika membawa anak, kebutuhan mandi dan untuk kesehatan gigi masih belum maksimal (Fahririn, 2021). Lembagan Ketahanan Nasional (Lemhannas) juga menyoroti bahwa adanya ketidaksesuaian antara lembaga pemasyarakatan dan UU nya. Kondisi lembaga pemasyarakatan yang memiliki kapasitas berlebih (over-capacity) sangatlah memprihatinkan (Harjono et al., 2022).

Menurut Magdalene dalam (Magdalene, 2019), ia menyoroti bagaimana film dokumenter ”Invisible Hopes”, yaitu sebuah film dokumenter dari sutradara Lamtiar Simorangkir yang menyoroti kondisi narapidana atau napi perempuan hamil yang terpaksa melahirkan serta membesarkan anak-anak mereka di balik jeruji besi. Film yang diambil di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu, Jakarta Timur dan Rumah Tahanan Sukamiskin, Bandung memperlihatkan kepada setiap kita bahwa masih kurangnya fasilitas yang disediakan oleh pemerintah bagi setiap narapidana perempuan dan anak-anak mereka. Jumlah dari warga binaan perempuan dan anak perempuan mereka yang tidak sedikit sehingga mereka harus tidur berdempet-dempetan dan beberapa fasilitas yang kurang juga menjadi salah satu faktor yang membuat mereka tidak nyaman berada di lapas. Hal tersebut telah melanggar beberapa standar yang harusnya diperoleh oleh setiap ibu berstatus narapidana dan anaknya di lapas.

Dari berbagai teori di atas, kita dapat melihat bahwa masih terdapat lapas yang tidak memenuhi hak perempuan, khususnya hak seorang perempuan yang telah menjadi seorang ibu dan memiliki anak. Hal tersebut tentu melanggar peraturan internasional dari Nelson Mandela pasal 29 yang sudah dicantumkan di atas. Bagaimana solusi yang sebenarnya harus dilakukan oleh pemerintah?  Menurut Lemhannas RI, solusi cepatnya adalah penyediaan tempat atau penjara wanita tersendiri untuk ibu dan anak. Solusi ini sangat dimungkinkan untuk dilakukan Pemerintah agar kondisi ibu dan anak di penjara yang over kapasitas dapat segera ditanggulangi  (Harjono et al., 2022). Kemudian, tidak hanya dari segi fasilitas fisik saja, tetapi perlu adanya fasilitas yang memenuhi kebutuhan seorang ibu berstatus narapidana, baik dari segi jasmani, rohani, maupun psikologi. Menurut Rifai dan subroto dalam penelitiannya, strategi yang dapat diterapkan adalah menyalurkan bimbingan kerohanian kepada warga binaan berbentuk ceramah, dan pembelajaran; membangun jalinan kerjasama terhadap Instansi lain khususnya Dinas Kesehatan; Lapas harus membangun hubungan baik dengan keluarga narapidana; dan melakukan penjelasan atau sosialisasi kepada masyarakat bahwa mantan narapidana itu juga manusia yang terkadang berbuat salah. Dengan demikian, setiap narapidana, khususnya seorang ibu di dalam lapas dapat terpeuhi kebutuhannya secara holistik (Rifa’i & Subroto, 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun