Kebahagian yang dilalui melalui Kecemasan dan Khawatir saat anak pertama lahir tidak berlangsung lama karena dihadapkan dengan sebuah tradisi yang mengagetkan dan diluar ekspetasi. Dimana bagi sebagian warga sunda ada sebuah tradisi   yang masih kuat dipegang dan dijaga serta wajib hukumnya dijalankan ketika terjadi kelahiran terutama kelahiran anak pertama. Dimana sang laki-laki/suami wajib mencuci semua pakaian istrinya yang dipakai saat lahiran  , dan itu berlangsung sampai satu minggu. Dalam menjalankan tradisi ini, si suami tidak boleh dibantu oleh orang lain mutlak harus dikerjakan sendiri.
Awalnya jujur selain kaget dengan tradisi tersebut juga ada rasa jijik harus mencuci semua kotoran darah bekas istri melahirkan. Tetapi karena sudah menjadi ketentuan dikeluarga istri dan istilah orang sunda pamali kalau tidak dilaksanakan.  Selain itu diwajibkan pula mencuci semua pakaian bayi. Dan di kampung kami, perempuan yang baru melahirkan  termasuk  bayinya  sebelum habis masa nifas tidak boleh memakai pembalut bayi atau pampers.. Maka dengan terpaksa penulis mengerjakan tugas pertama sebagai seorang ayah. Dan yang menambah berat lagi adalah mencucinya harus di kali tidak boleh di rumah.
Hari pertama dijalani dengan penuh berat hati, dalam hati berkecambuk  gerutuan yang tidak karuan seakan merebut kebahagian atas kelahiran buah hati.  kotoran darah yang masih menggumpal nempel di kain dibersihkan dengan tangan sendiri tanpa alat bantu. Karena adatnya tidak boleh menggunakan alat bantu seperti sikat.  Bisa dikatakan hari pertama hari jauh dari rasa Ikhlas dalam menjalankan sebuah tugas sebagai seorang suami sekaligus ayah. Gumpalan-gumpalan darah yang menempel  dikain dengan bau amisnya menjadikan bertambah beratnya hari pertama menjadi ayah. Seharian tidak kuasa untuk makan bahkan bau amis darah terasa masih menempel di tangan.  Satu-satunya yang membuat kuat bertahan menjalankan tradisi tersebut adalah buah hati yang lucu mungil menjadi penghibur pelepas lelah.
Sampai dua minggu tradisi tersebut dijalani dengan penuh berat dan mampu menurunkan berat badan. Selama dua minggu nafsu makan belum bisa pulih. Sebuah rutinitas yang membosankan dan juga menjengkelkan sehingga sempat terucap dalam hati " kenapa harus ada sebuah tradisi yang menyiksa suami ? " Namun itu tidak kuasa dikatakan kepada siapapun termasuk ke mertua yang sangat kolot pikirannya dan teguh memegang tradisi.
Akhirnya memasuki minggu ketiga, usai menjalankan rutinitas tradisi lahiran, memberanikan diri untuk curhat sekaligus bertanya kepada paraji atau dukun beranak. Karena tradisi dikeluarga istri lahiran itu wajib dibantu oleh paraji selain oleh bidan. Kepada Ema Paraji  tua berusia 80 tahun yang kini sudah Almarhumah, bertanya apa maksud tradisi suami harus mencuci pakaian bekas lahiran dan pakaian istri serta anak selama masa nifas dan kenapa tidak boleh dilakukan oleh orang lain atau menyuruh memberi upah kepada tukang cuci ?. Dengan datar dijawab oleh Ema Paraji, bahwa tradisi itu adalah sebagai bentuk menyatukan rasa dan tanggung jawab " sama pahit sama manisnya suami istri dalam rumah tangga " Agar suami bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangaan istri dalam merawat dan melahirkan benis kahis sayang. Darah istri adalah darah suami yang berwujud menjadi seorang anak.Â
Suami paling hanya cape dan jijik dalam mencuci pakian penuh darah bekas istri melahirkan, tetapi tahukah bahwa darah itu perjuangan hidup matinya seorang istri dalam melahirkan. Sakitnya melahirkan tidak akan terasakan oleh seorang suami. Dan sakitnya saat lahiran adalah sakit yang paling sakit selain dicabut nyawa. Demikian kata Ema Paraji yang membuat penulis saat itu terdiam dan merenung sekaligus tersadarkan. Bahwa perjuangan istri sangatlah berat dan penuh tanggung jawab dalam merawat benis kasih sayang. Kenapa harus jijik membersihkan kotorang darah istri sendiri yang pada haketnya itu adalah darah berdua juga.
Setelah tahu dan tersadarkan oleh ucapan Ema Paraji, tugas yang semula dianggap berat dan menjengkelkan itu, selanjutnya dilakukan dengan penuh kesadaran dan kebahagian. Dari mulai mencuci di waktu pagi, menjemur sampai, menyediakan air hangat untuk mandi istri dan bayi, menjadi sebuah rutinitas yang lepas dari keluhan. Sebuah tradisi yang sangat baik, selain menumbuhkan rasa saling merasakan manis pahitnya perjuangan bersama istri dalam membangun rumah tangga juga meningkatkan sebuah kesadaran tanggung jawab suami sebagai pelindung keluarga.Â
Dan ketika kelahiran anak ke dua, ketiga dan ke empat, suasana Daddy Blues sudah tidak ada lagi. yang adalah adalah suasana semakin erat hubungan keluerga dengan rasa kasih sayang yang kuat. Â Awalnya Daddy Blues oleh tardisi, akhirnya menjadikan "Daddy Happy".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H