Parantilu adalah nama sebuah kampung yang terletak di Desa Muncang Kecamatan Sodonghilir kabupaten Tasikmalaya. Sebenarnya jarak dari Singaparna Ibu kota kabupaten Tasikmalaya tidak terlalu jauh hanya sekitar 35 km. Namun karen kondisi jalan dengan medan yang cukup curam dan sebagian  jalnnya ruksak, sehingga  jarak tempuhnya kalau pakai roda dua mencapi 1 jam dan 1,5 kalau memakai kendaraan roda empat. Itu kalau tidak musim hujan, sebab kalau musim hujan akan menambah waktu tempuh lebih lama.Â
Walaupun Kp. Parakantilu berada di lembah perbukitan, kondisinya alamnya masih asri terawat dengan baik. Kepedulian/kesadaran  warga dalam menjaga lingkungan masih tinggi. Warga tidak diperbolehkan sembarangan menebang pohon walau ditanah miliknya sendiri. Dan apabila mau menebang pohon harus sepengetahuan sesepuh atau yang dituakan disana. Bahkan ada satu lokasi hutan yang pantang di ganggu dimana tidak diperbolehkan siapapun menebang pohon disana. Bahkan kalau ada pohon yang rubuh karena sudah lapuk, dibiarkan saja tidak boleh diambil.Â
Istilah warga adalah pamali atau tidak boleh dan menurut kepercayaan warga  akan berakibat jelek apabila ada yang berani mengambilnya. Termasuk dalam menjaga kelestarian sungai Cilongan, warga sangat marah bila ada yang mengambil ikan dengan cara memakai racun atau alat setrum. Sehingga kelestarian dan kebersihan sungai terjaga dengan baik. Dan polulasi ikanpun terjaga. Tingginya kesadaran warga dalam menjaga kelestarian alam, kampung Parakantilu pada tahun 2018 mendapat penghargaan ProKlim dari Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Â
Ada kebiasaan yang sangat unik di kampung warga yakni Budaya royong dalam memelihara kebersihan lingkungan . Budaya royong adalah budaya gotong royong seperti halnya di daerah lain. Tapi berbeda caranya dengan daerah lain. Dalam setiap 1 bulan sekali warga diwajibkan melakukan gotong royong membersihkan jalan kampung kurang lebih sepanjang 1,3 km. Prakteknya panjang jalan dibagi dengan jumlah warga/KK, jadi masing-masing warga/KK sudah mempunyai lahan sendiri yang harus dibersihkan yang panjang dan luasnya sama . Dua hari sebelumnya  Punduh atau kepada kampung cukup menancapkan sebilah bambu dengan menempelkan kertas yang bertuliskan nama warga disepanjang jalan yang akan dibersihkan. Dan tanpa harus dikomando lagi warga sudah tahu harus melakukan kegiatan pembersihan/perawatan jalan yang menjadi bagiannya sesuai dengan namanya masing-masing.
Pelaksanaanya sendiri biasanya dilakukan pada hari Jumat dimana sebagian warga libur tidak bekerja ke sawah atau ke kebun. Namun bagi warga yang kebutulan hari Jumat tidak bisa dilaksanakan pada hari berikutnya. Dan bagi warga yang bekerja di luar kota, maka sebagai gantinya membayar orang lain untuk mengerjakannya. Dengan adanya pembagian lokasi  untuk gotong royong tersebut, maka akan ketahuan warga yang belum mengerjakan bagiannya.Â
Cara unik tersebut sangat menarik sekali, hanya dengan secarik kertas bekas, bisa membentuk ketaatan warga dalam melaksanakan kewajibannya. Dan mampu meningkatkan rasa tanggung jawab warga terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Tidak ada warga yang berani menggangu secarik kertas tersebut, bahkan apabila yang jatuhpun warga dengan sadar membetulkannya kembali. Dan kebiasaan tersebut merupakan tradisi yang turun menurun dan sudah berlangsung puluhan tahun. Walaupun tingkat pendidikan warga mayoritas rendah, tetapi kesadarannya dalam melaksanakan keajibannya sangat tinggi dalam menjaga lingkungan., mungkin melebihi mereka yang berpendidikan tinggiÂ
Masih banyak keunikan  dan kebiasaan warga  Kp. Parakantilu yang tidak dimiliki daerah lain. nanti akan kupas lagi oleh penulis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H