Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... Lainnya - buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Gen Z, Sebatas Pekerja Politik di Pilkada, Minimnya Keberpihakan Calon

23 Oktober 2024   06:46 Diperbarui: 23 Oktober 2024   06:53 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Gen Z adalah merupakan pemilih potensial di pilkada serentak 2024 ini. Bahkan jumlah pemilih dari kelompok Gen Z hampir di tiap wilayah mendominasi.  Di Pemilu 2024 lalu jumlah pemilih Gen Z  tercatat sekitar 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85  % dibawah pemilih Milineal 66.822.389 atau 33,60 persen  %. Dan jumlah itu tidak akan jauh berbeda di Pilkada serentak 20204 sekarang. Sehingga wajar bila para pasangan calon kepala daerah saling berebut suara  di kelompok generasi muda Milineal dan Gen Z dengan berbagai cara. Namun sayang cara-cara yang digunakan oleh para paslon kepala daerah di pilkada belum menyentuh kepada pendidikan politik langsung serta belum terlihat melibatkan mereka sebagai subyek tetapi lebih mengarah kepada obyek politik saja. 

Para Paslon Kepala Daerah lebih banyak mengangkat isu-isu infrastruktur, Kesehatan,dan  pendidikan secara umum dalam materi kampanyenya   termasuk dalam materi Debatnya. Bahkan dalam materi debat kampanye paslon, banyak paslon yang mempertontonkan  perilaku politiknya yang kurang beretika dan menjadi contoh tidak baik bagi Gen Z.   Isu-isu yang berkenaan dengan generasi muda dengan semua persoalannya hampir tidak nampak, kalaupun ada sangat minim sekali atau hanya sebatas basa - basi politik saja. Kompleksitas persoalan yang dihadapi Gen Z sekarang ini seperti, minimnya akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak khususnya  di daerah terpencil , susahnya   lapangan kerja, kurangnya ruang untuk berekspresi/pengembangan bakat , Narkoba, sek bebas, geng motor dan banyak lagi. 

Hampir tidak ada adanya upaya penggalian potensi  dan melibatkan langsung generasi muda khususnya Gen Z yang dilakukan oleh para calon di pilkada. Bisa terlihat kurangnya para calon melakukan atau membuka ruang diskusi khusus dengan generasi muda. Kalaupun  ada paling hanya menghadiri kegiatan event ala Agustusan  yang dilakukan generasi muda seperti  menghadiri pertandingan olah raga, pentas seni dan lainnya. 

Begitu juga keterlibatan generasi muda  baik itu milineal maupun Gen Z dalam tim sukses calon sangat minim jumlahnya, kalaupun ada yang dilibatkan hanya sebatas pekerja saja dibidang pengelolaan IT dan pembuat konten sekaligus pengelola medsos saja yang isinya juga tidak berhubungan langsung dengan Gen Z tetapi lebih kepada penyajian kegiatan umum calon. Bahkan di desa-desa keterlibatan Gen Z paling hanya sebatas tukang pasang Baligho/spanduk calon saja dengan upah alakadarnya.   Pilkada hanya menjadi lapangan kerja musiman bagi sebagian generasi muda, itu juga yang mempunyai hubungan kedekatan dengan calon atau tim suksesnya. Hal ini berdampak  terhadap minat generasi muda khususnya Gen Z terhadap konten kampanye calon di medsos sangat kurang menarik perhatian mereka. 

Maka wajar bila pemilih Gen Z menjadi pemilih yang masih mengambang belum mempunyai pilihannya di pilkada. Bahkan akibat kuranya keberpihakan para calon tersebut terutama tidak melibatkan generasi muda khususnya Gen Z sebagai subyek di pilkada telah menjadikan sikap apatis dan skeptis di kalangan Gen Z yang mengakibatkan turunnya kepercayaan mereka terhadap politik dan mereka lebih memposisikan diri sebagai pemilih pragmatis. Hal ini jelas merugikan sekali bagi kehidupan demokrasi dan pendidikan politik generasi muda kita. 

Jadi kita melihat Pilkada masih jauh dari nilai nilai pendidikan politik sehat untuk generasi muda baik itu kaum milineal maupun Gen Z. Sehingga wajar kesadaran berdemokrasi dan berpolitik sekarang masih rendah khususnya  di kalangan Gen Z. Apabila hal itu terus menjadi pembiaran oleh semua pihak khususnya para pelaku politik, maka akan menjadikan generasi muda sebatas obyek politik bukan sebagai generasi muda yang melek politik. 

Dan satu lagi, generasi muda milineal dan Gen Z yang masih kestabilan jiwanya masih mudah goyah dan tingkat emosionalnya yang mudah tersulut atau istilah penulis generasi sumbu pendek, sering dijadikan alat komplit politik  oleh para pelaku politik untuk menyerang lawan politiknya terutama ketika tidak mau menerima kekalahan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun