Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Layang-layang Basah

9 September 2016   09:33 Diperbarui: 10 September 2016   00:52 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : www.eastjavatraveler.com

Tangannya mulai gemetar karena sedari siang tadi perutnya belum terisi makanan. Cuaca dingin menambah perutnya semakin meronta-meronta. Suasana ruangan dimana ia berada kini sudah sepi. Di sudut ruangan hanya ada dua orang temannya yang sedang lembur menyelesaikan desain yang harus dipresentasikan besok.

“Hufft…akhirnya selesai juga.” Dira meregangkan kedua tangan di atas kepalanya.

Pandangannya ia buang jauh ke jendela, pemandangan kota di malam hari dari atas memang selalu menakjubkan. Dira sering berpikir kenapa keindahan kota ini hanya bisa ia nikmati ketika malam hari dan dari atas saja. Kalau siang hari, panas, macet, belum lagi kesemrawutan kota yang membuatnya jengah. Delapan empat puluh lima angka yang tertera ketika Dira menengok jam di pojok bawah monitornya.

Kota ini telah banyak mengubah hidup Dira. Beberapa tahun lalu, tepatnya sembilan tahun lalu Dira merasa dunianya terbalik. Rasanya Tuhan terlalu jahat kepadanya. Hal itu bermula dari kecelakaan yang menimpanya ketika satu sedang menumpangi sebuah angkot untuk menuju sebuah pertandingan taekwondo. Kecelakaan itu membuatnya tidak bisa tampil di final dan yang juga merenggut nyawa ibunya yang ikut mengantarnya. Dunianya begitu cepat Tuhan balikkan. Bahkan sesaat sebelum kejadian itu ia masih melihat ibunya tertawa. Terlebih itu adalah pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di kota ini. Kota yang dengan cepat mengubah hidupnya.

Waktu yang sudah malam membuat Dira menerima tawaran temannya untuk pulang bareng.

“Salut aku sama kamu.” Ardi membuka obrolan ketika mobilnya mulai membelah jalan yang masih ramai.

“Sudah, aku tetap tidak akan membayar untuk tumpangan malam ini.” Tawa Ardi pecah mendengarnya. “Sialan, aku ngomong beneran ini. Kadang aku merasa malu lho sama kamu, semangatmu sepertinya nggak ada habisnya. Memangnya apa sih yang kamu cari Dir?”

“Emm….kalau ditanya apa yang aku cari, aku juga nggak tahu.” Dira mengangkat bahunya

“Terus?”

“Aku sih sekarang lebih ke menggunakan kesempatan yang aku punya sebaik-baiknya. Kan kamu tahu sendiri aku seperti apa?”

Ardi hanya manggut-manggut kembali fokus dengan kemudi dan jalan di depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun