Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lagu Terakhir

30 Januari 2015   19:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14225929501400816151

ilustrasi : nada

Baca dulu :

Lelaki Penjaja Nada

Co Card

Danika

Akhirnya ujian pendadaran bisa aku lewati, hari ini aku ke kampus untuk mengurus berkas-berkas untuk bisa mendaftar yudisium. Aku harus mengejar yudisium bulan depan. Pendaftaran terakhir adalah besok.  Hari ini aku akan sibuk mondar-mandir dari satu gedung ke gedung yang lain. Aku harus berangkat lebih pagi.

Pamungkas

Badan masih tidak enak rasanya. Demam dan kepala pusing, tapi apa daya aku harus tetap berangkat mengamen hari ini. Mereka tidak boleh kelaparan. Aku memaksakan badan ini untuk terkena air pagi ini. Dido sudah menunggu di depan rumah. Tidak biasanya dia datang sepagi ini. “Mung, kita nggak bisa libur lagi.” Aku sudah dua hari tidak ngamen, benar kata Dido. Aku segera menenteng gitarku, kami berjalan menyusuri gang sempit. “Did, bentar ada yang ketinggalan, tunggu di depan aja ya.” Aku harus membawa barang itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini dan siapa saja yang akan aku temui hari ini.

Danika

Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, bus yang aku tunggu datang, bus no 15. Aku memilih duduk di baris ketiga dari depan, dekat kaca. Kondisi bus pagi ini tidak terlalu penuh. Masih ada beberapa bangku kosong. Setelah sekitar tiga puluh menit melaju, di lampu merah dekat SMK 2, seperti dugaanku dua orang pengamen itu akan naik. Pengamen yang sama, cukup lama aku tidak mendengar suaranya setelah hampir dua minggu ini aku memilih pakai mobil ke kampus. Lelaki dengan gitarnya, dengan kaos merah, celana jeans hitam ditambah, kali ini dia memakai topi warna coklat tua. Setelah sedikit berbasa-basi dia mulai memetik gitarnya.

Pamungkas

Benar saja, pagi ini aku melihatnya lagi. Perempuan itu, aku melihatnya sekilas ketika bus ini berhenti didepanku. Begitu sampai di dalam bus aku memastikan bahwa itu adalah benar dia. Dan aku tidak salah. Hari ini dia memakai kemeja biru muda bergaris horizontal, jeans warna biru. Rambutnya lagi-lagi digerai, kacamata frame hitam tak lupa menghiasi wajahnya. Cantik dan bertambah cantik ketika wajahnya terkena sinar matahari dari jendela. Beruntung aku berangkat mengamen hari ini, aku bisa melihatnya lagi. Sudah lama rasanya aku tidak melihatnya. Aku pun mulai berjualan suara setelah sebelumnya menyapa penumpang dengan sedikit basa basiku.

Danika

Kali ini dia memilih lagu Letto, sampai nanti sampai mati. Aku pikir, boleh juga selera pengamen ini. Dia pun tidak asal-asalan memetik gitarnya. Suaranya memenuhi bus pagi ini. Aku cukup menikmati suaranya. Tapi dalam pikiranku masih bertanya, kenapa dia tidak mencoba peruntungan dengan ikut audisi pencarian bakat yang sedang marak itu. Siapa tahu bisa jadi jalan untuk mengubah hidupnya. Lamunanku buyar ketika temannya menyodorkan kantong plastik di depanku.

Pamungkas

Aku menyanyikan lagu milik Letto, semoga saja dia menyukainya. Ah mikir apa aku ini. Apa dia tahu aku sengaja memilih lagu ini untuk dia. Sesekali aku melihat ke arahnya, dia justru terlihat melamun. Bahkan dia nampak kaget ketika Dido menyodorkan kantong plastik itu. Pasti dia tidak mendengar nyanyianku kali ini.

Danika

Aku turun di halte depan kampus Filsafat, dan ternyata dua pengamen itu juga sama. Mereka berdua turun setelah aku. Aku langsung menyeberang jalan ketika bus yang ku tumpangi tadi berlalu. Jalan depan kampus filsafat cukup lengang pagi itu, mungkin karena ujian semester sudah selesai minggu lalu. Tidak banyak mahasiswa yang beraktifitas di kampus. Aku memutuskan untuk jalan kaki.

Pamungkas

Aku turun di tempat yang sama dengannya. Aku hanya bisa memandanginya ketika dia menyeberang jalan menuju kampusnya. Dido seperti biasa, begitu turun, dia akan sibuk dengan kantong plastiknya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil sesuatu di dalamnya. Oh iya aku baru ingat, barang ini. Aku harus mengembalikkannya.

Danika

Dari belakang seperti ada yang teriak-teriak, aku menoleh. Pengamen tadi berlari ke arahku, aku menoleh ke kiri dan kanan memastikan apa yang dipanggilnya itu aku atau bukan. Tidak ada orang lain. Aku mengernyitkan dahi, bingung sekaligus takut untuk alasan apa dia memanggilku. Aku mendekap erat tasku.

Pamungkas

Aku berlari mengejarnya. Memanggilnya, dia terlihat bingung melihatku berlari ke arahnya. Jelas saja, pasti dia tidak tahu apa maksudku memanggilnya. Mungkin dia malah mengiraku akan merampok karena dia terlihat mendekap tas coklatnya. Wajar saja sikapnya itu melihat keadaanku yang mungkin terlihat seperti tukang palak. “ Tenang, saya tidak ada niat jahat kok, saya cuma mau ngembaliin ini. Ini punya mbak kan?” aku memberikan kertas warna biru dengan tali warna serupa itu. Perempuan masih terlihat bingung.

Danika

Dengan nafas terengah-engah dia bilang kalau dia tidak ada niat buruk. Dia lalu merogoh kantongnya dan memberikan sebuah kertas warna biru. Co Card ku yang hilang. Kenapa bisa ada sama dia? Aku menerimanya ketika dia memberikan kartu itu. “Oh iya, ini punya saya. Saya sempat mencari-carinya, hampir saja saya nggak bisa ikut acara ini karena kartu ini hilang, tapi sekarang kartu ini sudah nggak penting lagi.”

Pamungkas

Dia menerima dengan senyum, dia juga bilang kalau dia sempat mencari-cari kartu itu. tapi yang membuatku kecewa, ternyata sekarang kartu itu sudah tidak penting lagi baginya. Mungkin seharusnya waktu itu aku tetap mengejar angkot yang dinaikinya dan memberikan kartu itu saat itu juga.

Danika

Walaupun kartu itu sudah tidak ada gunanya lagi. Aku tetap berterima kasih pada lelaki itu. Dia berniat baik dengan mengembalikan kartu itu. Aku pun bergegas ke kampus. Lelaki itu pun kembali ke arah halte, mungkin temannya masih menunggu di sana. Aku merasa tidak enak karena pernah berprasangka buruk dengan mereka. Lima puluh meter dari gerbang kampus, aku mendengar suara klakson panjang, aku menoleh tapi aku tidak melihat ada sesuatu yang terjadi dan aku bergegas melanjutkan langkah kakiku.

Pamungkas

Walaupun sedikit kecewa tapi aku cukup senang. Aku bisa mendengar suaranya, terlebih aku bisa melihatnya tersenyum tadi sewaktu dia mengucapkan terima kasih padaku. Aku kembali ke halte melangkah dengan ringan menuju tempat Dido menghitung hasil jualan suaraku tadi. Tiba-tiba suara bising dari arah kananku, juga suara teriakan beberapa orang. Aku menoleh ke arah kanan ku. Ada benda putih menuju ke arahku. Sekian detik semuanya mendadak gelap. Lamat lamat aku mendengar suara Dido memanggil-manggil namaku.

*8*

Danika

Sore ini aku bersantai dengan nonton berita di Tv, ada sebuah kecelakaan yang disebabkan oleh pengemudi mobil yang mabuk. Korban adalah seorang pria berusia 24 tahun. Alangkah terkejutnya ketika reporter berita itu mewawancarai saksi mata sekaligus teman korban, Dido. Dari situlah aku tahu nama pengamen tadi adalah Pamungkas. Si lelaki penjaja nada. Dan aku tidak bisa lagi mendengar nyanyiannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun