Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kemarau Eria

15 Oktober 2014   20:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : daun

Kemarau Eria

Bulan ini ada lima, kertas dengan berbagai desain dan warna itu Eria tumpuk di meja kecil dekat tempat tidurnya. Tadi sore, salah seorang teman SMA nya datang mengantar dua dari lima kertas itu. Tubuhnya dia rebahkan, menatap tumpukan kertas yang disinari lampu kamar. Menatap kertas semacam itu masih menjadi hal yang sangat biasa untukknya, ya sangat biasa dua tiga tahun yang lalu. Menyenangkan, itu artinya bertemu dan nberkumpul dengan teman lama yang memang hanya bisa berkumpul jika ada acara seperti itu.

Eria meraih handphone di dekat kertas-kertas itu. Dicarinya nama Arimbi di phone booknya.

“halo Rim, ke tempat  Ima besok kamu datang?”

“Aku gak bisa Er, keluar kota aku tanggal itu. Kamu?”

“Aku juga gak bisa, gak bisa ijin juga aku, itu kan hari kerja. Besok lunch bareng yuk.”

“Bisa..di Calathea ya?”

“Sipp..”

Setelah menutup telephonnya Eria bergegas mematikan lampu. Tidur. Hal itu paling mujarab untuk menghindarkannya dari memikirkan hal-hal yang membuatnya hanya bisa dia jawab dengan senyuman. Berharap malam cepat berganti pagi.

*8*

“Aku tau Rim…kamu pasti akan bilang seperti yang lain.”

“Apa yang kamu tunggu Er? Kamu lihat ? berapa undanan yang kamu terima bulan ini?”

“Banyak.”

“Itulah jawaban kalau kamu juga harus segera menikah.”

“Apa kabarnya little Niz?”

“Err..” suara Arimbi sedikit meninggi.

“Rim..kamu tahu aku kan? Siapa yang tidak mau menikah? Wanita seumuran ku, seumuran kita, pasti ingin cepat menikah Rim. Aku juga menginginkan hal itu. Dan kamu tahu itu. Tapi apa aku harus mengemis cinta kepada setiap lelaki yang aku kenal?”

“Grandis ? Kamu sedang dengannya kan?”

“Ya, hanya sekedar dekat. Aku nggak tahu perasaan dia seperti apa denganku. Hanya memang aku nya nyaman selama ini dengannya.”

Grandis, lelaki yang Eria kenal setahun ini. Selama ini Eria menganggap Grandis sebagai teman. Grandis dan Eria sering bertukar cerita, curhat masalah kerjaan, masalah pribadi dan lainnya. Tapi mereka tidak pernah menyinggung masalah cinta. Itulah yang membuat Eria ragu dengan Grandis.

“Aku sendiri tidak tahu dengan perasaanku padanya Rim.”

Eria menyeruput moccachino di depannya.

“lalu sampai kapan kamu seperti ini?”

Eria menggeleng. Menatap keluar, lalu lalang kendaraan di jalan.

“Rim..bukankah ini bukan salahku? Juga bukan salah kalian. Aku hanya menunggu waktuku tiba.”

Eria masih menatap ke arah jalan.

“Sebaiknya kamu perjelas hubunganmu dengan Grandis. Jangan kamu habiskan waktumu dengan ketidak pastian Er.”

“Aku ?”

Arimbi mengangguk sambil tersenyum.

*8*

Eria masih duduk di café itu, Arimbi sudah kembali ke tempat kerjanya sepuluh menit yang lalu. Memikirkan apa yang dikatakan oleh Arimbi sahabatnya. Suara musik dan ramai nya café tidak mampu mengusir sepi Eria. Sepi. Kering. Kemarau. Eria menghela nafas panjang, memutuskan untuk kembali ke kantor. Ketik keluar dari café, Eria menengadah. Mendung. Satu tetes air langit jatuh di dahinya.

“Kemarau sudah pulang rupanya. Apakah juga dengan kemarau di hatiku?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun