No. 31 Septi yaning
“Mbakyu harus ambil keputusan segera. Orang-orang itu akan datang lagi besok.”
Marwati melihat sekeliling ruangan, rasa sesak memenuhi dadanya mengingat kenangan akan tempat itu. Kenangan masa kecilnya bersama ayahnya. Apakah dia harus merelakan tempat ini di ambil alih oleh orang lain? Sementara di sisi lain dia sangat membutuhkan dana guna kelangsungan usaha konveksinya.
“Rin, ayo pulang. Aku harus ke produksi.”
Marwati dan Ririn keluar meninggalkan bangunan yang tampak kurang terawat itu. Bangunan itu adalah tempat para pelakon kelompok Ketoprak Ayom Bawono berlatih. Kesenian yang bapak kenalkan pada Marwati sejak ia masih berumur lima tahun. Keadaan usaha konveksinya yang sedang terpuruk ditambah semakin jarangnya kelompok Ketopraknya tampil membuat Marwati kesulitan untuk merenovasi tempat itu.
Sesampainya di tempat produksi usaha konveksinya Marwati bertemu dengan Pak Jono, orang yang dipercaya Marwati sebagai koordinator 20 pegawainya. Usaha konveksi Marwati memang tidak terlalu besar.
“Gimana pak? Ada kabar apa hari ini?”
“Bu, pegawai bisa memaklumi keadaan ibu, tapi kalau gajian ditunda lagi sepertinya tidak mungkin.”
“Saya tahu hal itu pak. Saya sedang mencari jalan keluarnya. Dari customer yang itu juga tidak ada kabar?”
Pak Jono menggeleng. Empat bulan yang lalu, Marwati mendapat orderan untuk membuat baju seragam dari seorang calon bupati. 100 buah. Tentu itu menjadi berkah sendiri bagi Marwati. Namun sayang, calon bupati pemesan itu gagal dalam pemilihan. Orderan yang baru dibayar sepertiga itu pun sisanya tak kunjung dibayar. Orangnya pun entah pergi kemana. Hal itu membuat Marwati yang awalnya mengharap untung namun justru buntung yang didapat. Gaji pegawai sudah dua bulan belum dibayarkan. Order jahitan sepi, padahal usaha konveksi itu ikut menyokong kelangsungan kelompok Ketopraknya.
_
“Coba mbak pikirkan, kalau kita jadi jual tempat itu, nanti uangnya bisa untuk menggaji pegawai. Sisanya bisa untuk mengembangkan usaha mbak biar lebih besar lagi.” Ririn menyajikan secangkir teh untuk kakak perempuannya itu.
“Mbak tahu, tapi itu kan warisan bapak Rin, sebagian hidup mbak juga di situ.”
Dulu suami Marwati juga seorang pemain Ketoprak, dari bermain Ketoprak juga lah ia bertemu suaminya. Sering bermain bersama dalam satu lakon, tumbuhlah benih-benih cinta itu. Banyak kenangan akan almarhum ayah dan suaminya. Ketoprak adalah sebagian dari hidupnya.
_
Marwati mengumpulkan para pemain Ketoprak di rumahnya sore itu. Dia tidak ingin semuanya salah paham akan keputusan yang akan diambilnya nanti. Merembug bersama persoalan yang sedang dihadapinya.
“Mbakyu, Pak Lik, Mas semuanya, saya sudah mengambil keputusan, ini sudah saya pikirkan beberapa kali. Bukan keputusan yang saya ambil secara gegabah. Mohon Mbakyu dan Mas semua berkenan.”
“Dek, kami semua di sini paham keadaan dek Wati. Kita juga tahu, Ketoprak kita akhir-akhir ini sepi yang nanggap. Tapi itu bukan alasan untuk kita berhenti melestarikan ini, ya to? Tempat itu juga sudah menjadi bagian dari hidup kita, bahkan bisa dibilang separuh hidup kita kita curahkan untuk Ketoprak , lalu sekarang apakah akan ditutup begitu saja? Apa tidak sayang, Dek?” jelas
Semua mengangguk setuju. Marwati paham betul keinginan mereka yang tetap ingin mempertahankan tempat itu. Dia pun ingin mempertahankan semuanya. Usaha konveksinya dan juga Ketoprak Ayom Bawono.
_
Malam Selasa, setelah selesai melakukan latihan rutin Ketoprak Ayom Bawono
“Mungkin malam ini menjadi malam terakhir kita latihan di sini.”
“Jadi Dek Wati sudah yakin akan menjual tempat ini ?”
“Saya tidak punya pilihan lain Pak Lik.”
Besok pagi adalah hari dimana pembeli tempat itu akan datang. Pembayaran dan serah terima akan terjadi besok. Marwati tidak bisa memejamkan matanya. Semua kenangan masa lalu menyeruak dalam pikirannya satu sisi di sisi lain nasib karyawan dan usaha nya pun tak luput dalam ikut memenuhi.
“Pak, apakah keputusanku ini sudah benar?” Marwati bergumam memandang foto bapaknya di ruangan tamu.
_
Tiga hari setelahnya,
“Dek, maaf sebelumnya kami sempat tidak mempercayaimu.”
“Tidak apa Pak Lik, sekarang yang terpenting semua sudah kembali seperti semula, meskipun ada hilang.”
“Tidak Dek, tidak ada yang hilang. Itu hanyalah tempat seperti katamu kemarin, yang terpenting adalah semangat kita untuk tetap melestarikan Ketoprak, dengan atau tanpa tempat itu. Toh kita bisa latihan dimana saja.”
“Benar Pak Lik, Ayom Bawono adalah kita, yang ada di sini. Bukan tempat itu. Terima kasih untuk kalian.”
Senyum terkembang di bibir Marwati. Keputusan untuk tetap menjual tempat latihan itu tidak mengubah kecintaannya akan Ketoprak. Kesenian sudah menjadi bagian hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H