Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kangen untuk Rindu

11 Juli 2014   15:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:40 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405042205460913524

Kangen untuk Rindu

“Rin…ide apa ini? Aku jelas tidak akan setuju !”

“Ka’…aku bukan ingin meninggalkanmu. Bukan. Aku ingin merasakan perasaan itu. Kita selalu bersama dan itu sudah berlangsung sejak dari kita SD, sejak kepindahan aku dan orang tuaku ke sini. Aku ingin merasakan perasaan itu Ka’….”

“Aku tetap tidak setuju. Ini ide paling konyol yang pernah aku dengar.”

“Tapi Ka’…kita bisa bertemu lagi setelah waktu yang ditentukan itu selesai.”

“Untuk apa semua itu sayang? Kita sudah bukan saatnya main-main lagi.”

Obrolan sore di teras rumah itu masih jelas di ingatan. Dari sekarang, obrolan itu berlangsung setengah tahun yang lalu. Dan sampai sekarang pun Rin masih kekeuh dengan ide yang menurut Ka itu adalah ide konyol. Menghindar , memutus semua komunikasi, dan entah seperti apa sekarang Rin. Masih manja kah? Masih sering merengek kah kalau keinginanya tidak terpenuhi. Ka benar-benar tidak tahu lagi mengenai Rin. Satu yang ia tahu, Rin hanya ingin merasakan rindu.

***

“Selamat, saudari di terima di perusahaan kami. Selamat bergabung.”

“Terima kasih..terima kasih banyak. Saya akan memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini.”

Rin dinyatakan diterima bekerja di suatu televisi swasta. Ini adalah impian Rin dari dulu, bekerja di dunia media. Rin berjalan dengan langkah ringan keluar dari gedung tinggi itu. Di raihnya handphone di dalam tas. Rin sibuk mencari nama seseorang  di daftar phonebooknya yang detik itu sungguh ingin ia berbagi kabar bahagia itu. Rin menghentikan langkahnya, ia teringat akan sesuatu.

“Kapan kita bertemu Rin?”

“Pasti ada kebetulan yang akan mempertemukan kita Ka’…dan Rin tidak tahu itu kapan.”

Ingatan akan obrolan sore itu menghentikan langkah Rin. “Kebetulan yang akan mempertemukan kita”. Itulah kalimat yang Rin ucapkan sore itu, setengah tahun yang lalu.

“Ka’…kalau kita nanti ketemu banyak cerita yang mau Rin ceritakan. Semoga kamu baik-baik saja disana. Aku rindu kamu Ka’…..” gumam Rin

***

Rin dan Ka memang telah mengenal lama, tepatnya semenjak kepindahan keluarga Rin. Orang tua Rin bersahabat dengan orang tua Ka. Mereka memutuskan untuk tinggal di kawasan yang sama. Rumah mereka hanya berbeda dua blok. Hampir setiap hari Rin dan Ka bertemu, sedari SD hingga SMA mereka satu sekolah. Usia mereka hanya terpaut dua tahun. Ketika memasuki masa kuliah mereka berbeda kampus, akan tetapi hampir setiap hari Ka menjemput atau mengantar Rin ke kampus. Orang tua mereka berdua juga merestui hubungan mereka. Hingga tiba saat itu, Rin memutuskan untuk menghindar dari Ka, tidak mau bertemu dengan Ka, memutus semua komunikasi dengan Ka.

Rin, gadis yang selalu manja dengan Ka. Dia selalu punya ide konyol yang kadang Ka sampai kewalahan untuk memenuhinya. Akan tetapi Ka tidak pernah tidak setuju dengan ide dan permintaan Rin selama ini. Sore itu, Ka datang ke rumah Rin. Rin marah karena Ka seharian sibuk dengan pekerjaannya, Ka bermaksud meminta maaf. Justru Rin mengungkapkan keinginannya. Keinginan yang tidak terduga oleh Ka sebelumnya.  Rin meminta mereka sama sekali tidak berkomunikasi lagi. Menghindar. Tidak bertemu.  Hingga suatu saat nanti mereka kebetulan bertemu. Pertemuan yang direncanakan oleh Tuhan. Seperti itulah Rin menyebutnya.

“Tante…apakah masih lama hukuman untuk Ka dari Rin?”

“Ka’…kamu yang sabar ya, tante juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Rin saat ini. Rin tidak memperbolehkan tante memberitahukanmu dimana dia sekarang. Tante dan Om minta maaf. Yang pasti Rin baik-baik saja.”

“Ini sudah setengah tahun Tante…”

“Iya…tapi Tante percaya, Rin tetap mencintai kamu Ka’.”

***

Rin semakin sibuk dengan pekerjaannya. Dia diberi mandat untuk mengurusi iklan sebuah perusahaan tambang. Hari ini merupakan meeting pertama dengan pihak perusahaan tambang itu. Rin mempersiapkan semua yang diperlukan untuk presentasi hari itu. Ini adalah kesempatan Rin untuk membuktikan kepada atasannya.

Rin segera menuju ke tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Datang lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan, Rin datang dengan dua temannya. Meeting berjalan dengan lancar, Rin berhasil mempresentasikan ide iklannya tanpa hambatan. Pihak perusahaan meminta waktu untuk berdiskusi dengan manager pemasaran yang kebetulan waktu itu tidak bisa datang.

***

“Bagaimana meeting hari ini dengan pihak televisi?”

“Lancar pak, ide yang ditawarkan menarik.  Bapak bisa lihat di proposalnya.”

“Tidak perlu, kamu atur saja kapan kita bisa bertemu untuk final decisionnya.”

“saya menjadwalkan lusa pak, jam 10.”

“Kamu atur saja semua.”

***

Hari ini adalah meeting kedua sekaligus penentuan apakah ide Rin dipakai oleh perusahaan tambang itu atau tidak. Tim Rin akan bertemu dengan manager pemasaran perusahaan itu. Tim sudah siap di tempat yang ditentukan, dua pihak perusahaan juga sudah datang. Masih menunggu manager pemasaran yang belum juga datang.

Hati Rin tidak tenang, jantung berdegup lebih cepat. Ada apakah dengan ini? Apa hanya karena nervous saja? Rin berusaha menenangkan diri dengan sesekali menghela nafas panjang. Hingga seorang lelaki dengan kemeja biru langit datang.

“Nah, manager kami sudah datang.”

Rin menoleh. DEGG…diam. Dia tidak mempercayai apa yang dilihatnya sekarang. Lelaki ini.

“Perkenalkan, beliau manager pemasaran kami, bapak Aji.”

“Pak ini ketua tim nya, saudari Ririn.”

Rin hanya terdiam ketika manager pemasaran itu mengajaknya bersalaman. Hingga seorang temannya menyenggol pundaknya.

“Eh..maaf.. saya Rin.”

“Aji…senang bertemu dengan anda.”

Kini tiba waktunya Rin mempresentasikan idenya di depan manager pemasaran itu. Tangan Rin dingin, berkeringat, degup jantungnya pun lebih cepat. Nervous. Bingung. Rin tampak pucat sewaktu presentasi.

“Saudari Rin kurang enak badan?” tanya salah seorang dari pihak perusahaan tambang

“Ah tidak apa-apa. Saya lanjutkan presentasinya.”

Akhirnya Rin bisa menyelesaikan presentasi itu, setelah beberapa mengajukan pertanyaan dan dijawab sempurna oleh Rin dan timnya, perusahaan setuju dengan ide yang diajukan. Meeting itu akhirnya selesai, pihak perusahaan tambang pergi terlebih dulu. Rin merasa lega, menyenderkan badannya sebentar di kursi, sebelum dia teringat akan sesuatu yang harus dia lakukan. Rin buru-buru membereskan semua, menyuruh teman-temannya kembali ke kantor terlebih dulu.

Rin berlari keluar dari ruangan, menoleh kanan kiri. Apa yang dicarinya tidak dilihatnya. Rin kembali berlari. Tetap tidak ada. Akhirnya Rin berjalan keluar dari gedung perusahaan itu dengan nafas tersengal. Kakinya terasa lemas, Rin memutuskan untuk duduk di taman dekat air mancur yang letaknya tepat di depan kantor itu.

“Minum ini…” seorang lelaki tiba-tiba berkemeja biru langit memberinya sebotol air mineral

Rin menoleh, dilihatnya sosok lelaki yang membuatnya tidak tenang selama presentasi tadi. Membuat badannya berkeringat dingin dan bingung.

“hah…terima kasih.”

“Anda hebat, ide anda benar-benar menarik dan cemerlang. Oh iya boleh kita berkenalan lagi?”

“ehh..iya..”

“Saya Kangen…Kangen Prasetya Aji. Di sini orang-orang memanggil Aji.”

“Saya Rindu…Rindu Melita Sari. Teman kantor saya memanggil saya Ririn.”

Tetiba suasana menjadi canggung, aneh. Rin hanya menunduk.

“Apa pertemuan seperti ini yang kamu inginkan dari dulu Rin?”

Rin memandang lelaki yang berdiri di depannya itu dengan mata berkaca-kaca. Lelaki yang sudah mengisi hidupnya bertahun-tahun.

“Ka’….maafin Rin. Selama ini Rin selalu memaksakan keinginan Rin. Hingga ide konyol ini. Jujur selama kita tidak bertemu, itu begitu menyiksa.”

“Lalu..yang kamu cari? Sudah kamu dapatkan?”

Rin menggeleng

“Rin salah Ka’ selama ini. Rin sudah mendapatkannya, dari dulu malah.  tapi Rin malah mengacaukan semua dengan ide Rin sendiri. Ka’ Rin kangen.”

“Rin…Ka rindu juga. Amat rindu.”

Ka’ memegang erat tangan Rin. Seakan tidak mau melepasnya lagi. Rin memandang wajah Ka dengan senyuman. Rin mengerti, idenya selama ini untuk menghindari lelaki yang duduk di sampingnya hanya untuk merasakan kerinduan ini justru melukainya. Juga lelaki itu.

“Ka’…Rin ada ide..”

Seketika juga mendengar ucapan Rin, Ka menoleh.

“Tidak!! Sekarang giliranku. Aku menolak semua idemu.”

“Hufft…aku kan belum bilang Ka’..” Rin memanyunkan bibirnya.”

Ka tertawa melihat ekspresi Rin yang tidak berubah dari dulu.

ilustrasi : ini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun