Mohon tunggu...
septiya
septiya Mohon Tunggu... Administrasi - jarang nulis lebih sering mengkhayal

Penggemar pisang goreng ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FKK] Lelaki Sok Tahu

13 Juni 2014   17:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:54 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Septi Yaning No. 16

Memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari dan pergi ke luar kota menjadi keputusanku kali ini. Yogyakarta. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mengunjungi kota ini, enam bulan yang lalu aku juga ke kota istimewa ini untuk liburan akhir tahun. Entah ada magnet apa yang membuatku ingin kembali lagi ke kota ini. Aku merasakan nyaman dan setiap aku ke kota ini aku merasa seperti pulang ke rumah.

Kereta yang membawaku dari Jakarta sudah berhenti di stasiun Yogyakarta. Itu artinya aku harus segera turun.

“Cuma ini bawaanmu?” tanya lelaki yang duduk di sampingku semenjak dari Jakarta.

Lelaki itu menurunkan tas hitam milikku. Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Sungguh aku tidak mengenalnya. Kami hanya berbincang sesekali. Di perjalanan dia sempat cerita kalau dia asli Jogja. Dan dia tahu tempat-tempat yang menarik yang belum banyak orang luar Jogja tahu.

“Kamu menginap dimana ? “

“di Dagen”

“Oh deket lah, aku bisa jadi guide mu kalau kamu mau. Aku tahu tempat yang menarik buat orang yang sedang patah hati sepertimu.”

Aku terdiam. Tunggu, dari mana dia tahu aku sedang patah hati. Tidak secuil cerita pun aku katakan pada lelaki berambut ikal, berkulit sawo matang dengan topi hitam di kepalanya ini. Apakah lelaki ini bisa membaca pikiran orang? Atau jangan-jangan dia cenayang?

“Patah hati? Sok tahu kamu.”

Dia terkekeh mendengar jawabanku. Sial, apakah sikapku begitu menunjukkan kalau aku sedang patah hati sehingga dia bisa menebaknya. Aku dan lelaki itu berpisah di jalan keluar stasiun. Aku memilih untuk naik becak untuk menuju hotelku. Sedangkan dia, entah dia menuju kemana, yang jelas aku melihat dia menuju shelter trans Jogja.

***

Pagi ini aku ingin pergi menuju tempat yang belum pernah aku kunjungi. Aku masih kurang minat untuk menyusuri kota, aku ingin tempat yang sepi dan damai. Tiba-tiba aku teringat ucapan lelaki itu. “besok aku tunggu di depan hotel jam 9.” Apa pula maksudnya, bahkan aku tidak pernah menyetujui tawarannya agar dia jadi guide ku selama di kota ini. Siapa nama lelaki itupun aku bahkan tidak tahu. Jam sembilan kurang aku sudah keluar dari hotel, aku melihat seorang lelaki duduk di atas motor di seberang jalan sedang memandangku dan tersenyum. Lelaki itu, benar dia menungguku.

“Ngapain kamu di sini?”

“Seperti yang aku bilang kemarin, aku tahu tempat menarik yang cocok buat orang yang sedang patah hati sepertimu, aku siap jadi guide mu.”

Aku mendelik mendengar ucapannya. Belum sempat aku menimpali kata-katanya, dia menyodorkan sebuah helm padaku.

“Kamu pikir aku setuju dan mau pergi dengan orang yang baru saja aku kenal. Bahkan namamu saja aku tidak tahu.”

“Rio..” lelaki di depanku ini menyodorkan tangannya. Aku hanya terdiam melihat tingkahnya.

“Bisa berangkat sekarang? Kamu sudah tahu namaku kan? Jangan khawatir, tidak ada tampang penjahat yang sekeren aku”

Entah apa yang membuatku percaya dengan lelaki ini hingga akhirnya aku menerima ajakannya. Kami pergi naik motor. Dia hanya memberi petunjuk bahwa kita akan pergi menuju kabupaten paling barat di Yogyakarta. Kulon Progo. Hampir dua jam perjalanan kami, hingga akhirnya kami sampai di sebuah waduk buatan yang bernama “Waduk Sermo”. Untuk sampai di waduk ini, kami melewati jalan yang berliku-liku, naik turun akan tetapi sepertinya waktu dua jam perjalanan terbayar. Pemandangan di waduk ini indah, udara nya juga segar, pohon-pohon rindang berjejer mengelilingi tepian waduk.

“Benar kan? Tempat ini cocok buatmu?”

Aku hanya menoleh ke arahnya tanpa menjawab. Kenapa dia tahu tempat seperti ini yang aku butuhkan saat ini. Ini sudah yang kedua kalinya dia bisa menebak pikiranku.

“Asal kamu tahu ya, untuk membangun waduk ini 100 lebih kepala keluarga harus ditransmigrasikan ke Sumatera waktu itu.”

“Kenapa mereka mau?” timpalku

“Ini proyek pemerintah, siapa yang bisa membangkang waktu itu. Butuh waktu dua tahun delapan bulan untuk menyelesaikan pembangunan waduk ini. Waduk ini begitu penting untuk irigasi karena mayoritas penduduk di sini adalah petani dan sebagai sumber air bersih oleh PDAM setempat. Diresmikan November 1996 oleh Presiden Soeharto”

Aku tersenyum mendengar penjelasannya, dia melakukan hal itu sudah mirip seperti guide professional. Aku berjalan menyusuri tepian waduk terlihat beberapa orang asik memancing. Waduk ini terkenal dengan ikan nilanya karena itulah banyak pemancing berdatangan, bahkan ada tayang bermalam di sini juga. Menurut mitos, ada satu jenis ikan yang dijuluki ikan setan merah, warnanya seperti ikan mas akan tetapi ikan ini memangsa ikan jenis lain. Hal itu menyebabkan produksi ikan sempat menurun karena meningkatnya jumlah ikan predator ini.  Selain itu bentuk dari waduk buatan ini jika di foto dari atas seperti berbentuk monster semakin menambah mitos horor waduk ini. Penjelasan dari dia membuatku mengangguk-angguk dan akhirnya membuat dia tersenyum melihat ekspresiku itu.

Aku masih menikmati keindahan waduk ini, sementara di belakangku lelaki itu sedang asik dengan kamera DSLR nya, jepret sana jepret sini. Ternyata tas yang dibawanya tadi berisi kamera.

“Ehh..ngapain kamu foto aku, tanpa permisi pula? “ tanyaku ketus.

“Ga usah GeEr ya non, siapa juga yang mau foto wanita berwajah masam sepertimu, tuh aku foto pemancing di belakangmu, itu lebih menarik.”

Wanita berwajah masam katanya. Apa seperti itu wajahku sekarang, aku menghela nafas pendek. Sepertinya benar lelaki ini, aku seperti lupa cara untuk tersenyum. Kematian Odi seperti mengubah duniaku menjadi suram. Walaupun kejadian itu sudah satu tahun lamanya tapi aku masih belum bisa melupakannya. Bagaimana bisa aku melupakan dia, dia meninggal tepat satu minggu sebelum pertunangan. Aku bisa berdiri sampai sekarang pun itu aku belum percaya. Aku pergi ke kota ini setelah memperingati satu tahun kematiannya, setelah ziarah ke makamnya aku langsung menuju stasiun dan sampailah aku di kota ini dan bertemu lelaki aneh yang dari kemarin berhasil menebak pikiranku.

“Makan yuk..lapar aku.” ajak dia sambil merapikan kameranya ke dalam tas punggung hitamnya.

“Kamu orang aneh..”

Dia tertawa mendengar ucapanku. Melihat dia tertawa seperti itu dalam hati aku tersenyum. Tawanya seperti menyiratkan ketulusan, kesederhanaan dan kehangatan. Perasaan apa ini?

“Kamu baru kenal aku, tidak tahu namaku, kamu langsung ajak aku ke sini. Aneh kan?”

“Aku tadi sudah perkenalkan namaku, kamu diam saja. Aku tidak bisa paksa kamu buat sebutin namamu juga kan, siapa tahu kamu malu dengan namamu…hahaha”

“Amel…aku amel.” Aku jawab dengan sedikit ketus

Dia hanya menanggapi dengan senyuman. Kami menuju motor dan bergegas mencari makanan. Dia mengajakku untuk mencari makanan khas Kulon Progo. Apa itu aku sendiri belum tahu. Setelah kurang lebih empat puluh menit perjalanan, kami sampai di sebuah warung kecil di dekat rel kereta api. Warung ini sangat sederhana, hanya seperti seperti gubuk dengan terpal biru sebagai atap. Di warung itu ada seorang ibu separuh baya sibuk dengan wajan lumayan besar dengan kompor yang menyala. Hanya ada satu meja dan satu kursi panjang.

Aku melihat ibu itu sedang menggoreng suatu makanan berwarna putih yang berbentuk seperti cincin yang bergandeng-gandeng. Aku belum pernah melihat makanan itu sebelumnya. Aku mengernyitkan dahi dan menengok kearah lelaki itu.

“Geblek itu namanya..” tanpa aku tanya sepertinya dia sudah tahu dengan ekspresiku.

“Geblek? Bodoh maksudnya? “

“hahaha…jangan salah ucap, hampir mirip memang tulisannya tapi pengucapannya beda.”

“Mbaknya asli mana?” tanya ibu penjual yang sedang sibuk menggoreng

“ Ehh..saya dari Jakarta bu, belum pernah lihat makanan ini.”

“Ini namanya geblek, makanan khas sini (Kulon Progo). Dibuat dari singkong yang diparut terus parutan itu diperas menggunakan kain, air perasan itu didiamkan sampai  mengendap. Endapan sari pati itulah yang nantinya jadi bahan dasar geblek. Pati itu diuleni dengan bumbu garam dan bawang putih. Setelah adonan jadi dibentuk seperti angka 8 lalu digoreng.”

Tanpa aku minta penjelasan, dia menjelaskan panjang lebar tentang makanan ini. Aku sempatkan memfoto ibu penjual geblek yang sedang sibuk membentuk adonan sambil sesekali membalik gorengannya. Tidak berselang lama ibu penjual itu mengangkat gorengan geblek, ditaruhnya di sebuah “tampah” untuk meniriskan minyaknya. Waktu diangkat geblek itu seperti bergerombol, lalu ibu penjula dengan cekatan memisah-misahnya menjadi lebih kecil.

“Monggo mbak dicoba, mumpung masih panas.” Dengan senyum ibu penjual menyodoriku geblek hasil gorengannya barusan.

Aku menoleh kepada lelaki itu, lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya aku mengicipi makanan yang berwarna putih bersih itu.

“Hemm..gurih ya bu..agak kenyal juga.”

“Geblek enak dimakan waktu hangat mbak, kalau sudah dingin malah berubah jadi keras. “jelas ibu penjual

Selagi aku menikmati geblek yang diberikan ibu penjual tadi, dia malah asik menikmati makanan lain yang berwarna agak kehitaman. Entah makanan apa lagi itu. Ibu penjual mengambilnya dari sebuah panci besar disebelahnya.

“kalau yang ini namanya tempe benguk, makanan yang cocok sebagai pasangan geblek. Mau coba?”

Aku hanya mengangguk, penasaran dengan rasa makanan yang bentuknya seperti tempe kedelai itu hanya warnanya hitam. Aku mencoba juga tempe benguk itu, rasa gurih santan begitu terasa, bumbunya juga pas. Perpaduan yang pas memang. Belum lagi warna geblek yang putih bersih disandingkan dengan warna tempe benguk yang hitam seperti mencerminkan sebuah kebajikan dan keburukan. Walaupun makanan ini sederhana dan ini adalah kali pertama aku mencicipinya akan tetapi ini sepertinya ini bakal jadi makanan yang harus aku nikmati kelak jika aku kembali ke Jogja lagi tepatnya ke Kulon Progo.

***

“Makasih ya hari ini sudah mengajak aku jalan-jalan dan makan geblek.”

“Cuma hari ini saja.”

“Maksudmu? “ aku mengernyitkan dahi tidak mengerti maksud kata-katanya.

“iya..aku besok sudah balik ke Jakarta. Jadi cuma hari saja aku bisa jadi guide kamu.”

Glekkk…Cuma hari ini? Aku sempat berpikir dia bakal menemaniku sampai dua tiga hari ke depan. Kenapa pula dengan perasaanku ini. Aku seperti merasa akan kehilangan. Hari ini setelah satu tahun lamanya tidak terlintas kenangan soal Odi di pikiranku. Lalu sekarang dia sudah harus kembali ke Jakarta.

“Kenapa secepat itu?” pertanyaan itu mulus meluncur dari mulutku seakan aku tidak menginginkan perpisahan ini.

“Kenapa? Masih pengen jalan-jalan lagi denganku ya?” dia merendahkan tubuhnya memandang wajahku yang tertunduk.

“Tidak..aku bisa jalan-jalan sendiri.” Padahal bukan kalimat itu yang ingin aku ucapkan.

“Yakin? Atau nanti jangan-jangan ada perempuan yang menangis sendiri di pinggir jalan meratapi sakit hati nya?”

“Aku tidak suka ya kamu sok tahu dengan masalahku. Gak usah sok urusin apa aku sedang patah hati atau tidak. Kamu tidak kenal aku. Jadi jangan sok tahu!” aku langsung masuk ke hotel tanpa menoleh lagi.

***

Ini hari terakhirku di kota yang dijuluki kota pendidikan ini, ketika aku check out dari hotel pegawai hotel memberiku secarik kertas. Ada pesan untukku.

Mel aku minta maaf kalau aku soal kemarin, aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Sejak di kereta aku perhatikan kamu jarang sekali tersenyum.Aku hanya menebak kamu sedang ada masalah. Seberat apapun masalahmu pasti kamu bisa melewatinya.  Sayang kan kalau wajah manis itu tidak bisa senyum. Sekali lagi aku minta maaf. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Itu pun kalau kamu mau bertemu dengan orang aneh tapi tampan ini.

Rio

Sepertinya kata-kataku kemarin agak sedikit keterlaluan. Hufft…aku menyesal sudah mengatakan itu pada dia yang sudah berbaik hati mengajakku jalan-jalan. Kenapa juga aku tidak sempat meminta nomor HP atau alamat tempat tinggalnya di Jakarta. Aku berhutang budi dengannya.

***

Rutinitas kerja siap dimulai, pagi ini aku kesiangan. Tepat satu bulan semenjak aku pulang dari Jogja. Ketika di perjalanan menuju kantor dan melihat kereta, aku teringat sosok lelaki aneh yang menemaniku seharian di Jogja. Apa kabar dia sekarang? Aku masih menyimpan rasa sesal karena sempat berkata agak kasar padanya. Aku berharap suatu saat entah kapan bisa bertemu dengannya untuk meminta maaf.

Melihat jam di tangan, sepuluh menit lagi aku harus sudah sampai di kantor karena ada meeting dengan kepala bagian. Begitu pintu lift terbuka aku langsung bergegas keluar setangah lari.

BRUUKKKK…..Aku tidak sengaja menabrak seseorang karena saking terburu-burunya.

“Maaf..maaf…saya tidak sengaja ..saya buru-buru.” Aku membungkukkan badanku untuk meminta maaf.

Lelaki itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sadar aku tidak mendapat respon apapun dari orang yang aku tabrak, aku memandang lelaki di depanku. Dia tersenyum sambil merapikan kemejanya.

“Kamu?”

“Hei wanita berwajah masam..kamu tidak apa-apa?”

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun