Siang itu Mbah Subarkah, atau lebih sering dipanggil Mbah Subar lewat dekat rumah. Sambil mengendarai sepeda dengan keranjang di belakang, penglihatan Mbah subar masih”awas” untuk membedakan mana kelapa yang sudah tua dan yang belum. Ya, lelaki itu bekerja sebagai pemetik kelapa. Lelaki dengan satu orang cucu itu pernah berganti-ganti profesi. Mulai dari buka bengkel sepeda, usaha penggergajian kayu, sampai akhirnya sekarang menjadi pemetik kelapa. jika dihitung, mungkin sudah sekitar 15 tahunan Mbah Subar menekuni pekerjaan ini.
Setelah ngobrol sebentar dengan bapak yang kebetulan sedang di depan rumah, Mbah Subar bersama satu orang temannya (saya lupa tanya nama bapaknya) segera memanjat naik pohon kelapa. Banyaknya kelapa yang didapat tentu tergantung banyaknya pohon kelapa di satu lokasi yang didatanginya. Siang itu ada enam pohon kelapa yang dipanjat Mbah Subar dan temannya. Rata-rata tinggi pohon kelapa di daerah saya antara 6-7 meter.
Setelah semua kelapa yang sudah tua dipetik dan dikumpulkan, kelapa dikupas dari kulitnya atau kalau di daerah saya disebut dengan “dislumbat” dengan menggunakan linggis. Pada pengupasan ini, ada satu bagian kulit yang disisakan, karena dengan begitu akan lebih mudah untuk memegang/mengambil kelapanya.
Sekarang keranjangnya hanya berisi linggis dan “arit” (sabit) saja. Setiap dua atau tiga hari sekali ada tengkulak yang datang ke rumahnya untuk mengambil kelapa yang sudah terkumpul. Kelapa itu nantinya akan diangkut dan dijual ke Solo, Klaten dan sekitarnya.
Biasanya nanti Mbah Subar akan balik lagi sekitar satu sampai satu setengah bulan untuk mencari apakah ada kelapa yang sudah tua atau belum. Dalam satu hari Mbah Subar bisa berpindah ke empat sampai lima lokasi. Dari memetik kelapa dan menjualnya kembali inilah dapur Mbah Subar terus "ngebul".
Kota Istimewa 27062016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H