ilustrasi : pesawat
Serendipity [6]
#Kembali, Untukku?
Apa kabar Macau ? Apa kabar kau disana ? Kepergian yang mendadak itu meninggalkan banyak tanya di benak ku. Hujan di kota ini sudah tak sesering waktu kau masih di sini, di kota ini. Lagaknya musim mulai beralih. Setelah tiga hari melepas kangen dengan orang tuanya, Tisha harus kembali ke rutinitas di kota yang menyesakkan ini.
“Tish…kamu sudah makan?” tanya Lusi melihat Tisha yang duduk dibalkon
“Hemm…nanti aja belum laper aku.”
“Kenapa? Nunggu kabar dari Yudha?”
“Enggak…kalau dia mau ngabari pasti sudah dari enam bulan yang lalu. Apa dia marah ya sama aku?” Lusi hanya mengangkat pundaknya.
Sudah satu musim sejak pagi terakhir Yudha mengantar Tisha ke kantor. Yudha seakan menghilang begitu saja. Sementara Tisha semakin dekat dengan Adrian.
*8*
“Ian gimana ya kabarnya Yudha?” Tisha menerawang pemandangan dari balik jendela mobil.
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya soal dia? “
“Kamu kan temennya.”
“Sejak itu juga aku susah hubungi dia. Aku kan pernah bilang .”
Perjalanan ke kantor pagi itu diiringi suara penyanyi Tulus dari radio mobil Adrian. “Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu”. Sepertinya lagu itu mewakili apa yang dirasakan Adrian saat ini. Tisha membuang pandangannnya keluar. Deretan gedung-gedung tinggi, deretan mobil. Kering. Kebersamaannya dengan Adrian setelah Yudha pergi tak juga mampu membasahi hatinya. Tiga hari yang lalu, ketika mengantar Tisha pulang. Adrian menyatakan perasaannya, akan tetapi Tisha belum memberikan jawaban apa-apa.
Pekerjaan hari itu sungguh seperti ingin menenggelamkan Tisha. Membuatnya susah bernafas, ditambah nama Yudha juga ikut membayang di pikirannya. Tisha menyandarkan badannya di sofa lobby untuk menunggu Adrian datang menjemputnya. Tung Ting. Pesan dari Adrian. “Tish..maaf aku ada meeting dadakan. Kamu pulang sendiri gak apa-apa kan?”. Tisha mengambil langkah keluar seraya membalas pesan dari Adrian.
Taksi biru muda itu berjalan perlahan diantara kemacetan khas kota besar di jam pulang kantor. Tisha mengotak-atik HP di tangannya. “Hah bodoh, pasti gak aktif lah nomornya.” Tisha mendengus menyadari kebodohannya yang berusaha menghubungi nomor Yudha.
*8*
Keesokan harinya, seperti biasa Adrian menjemput Tisha.
“Ian mampir sarapan bubur ayam dulu ya, nanti aku kasih tahu tempatnya.”
“Kamu belum sarapan?” Tisha menggeleng.
Bubur ayam yang dulu setiap pagi disantap Yudha, yang tidak sekali pun dia mau menemaninya makan. Pagi ini rasanya ingin sekali Tisha ke tempat itu. Adrian memesan dua porsi, dia sama sekali tidak tahu ada kenangan tentang Yudha dengan tempat itu. Pagi itu sepi, hanya ada mereka yang beli.
“Ian..soal kemarin itu.” Tisha memandang ke arah Adrian
“Nggak Tish…kamu nggak perlu memberi jawabannya.” Adrian paham ke arah mana pembicaraan itu.
“Maksud kamu?”
“Aku hanya ingin melepaskan beban dan sesak di hati ku Tish, aku lega sudah mengatakan itu sama kamu kemarin. Soal jawabannya, biar itu aku cari tahu sendiri. Aku nggak mau ketika kamu menjawabnya itu mengubah sikapmu ke aku. Biar aku cari dan aku simpulkan sendiri lebih dulu. Boleh kan?” Tisha mengangguk seraya tersenyum.
Tisha menghela napas panjang mendaratkan badannya di kursi ruang kerjanya. Ia lalu teringat secarik note yang pernah Yudha berikan.
“Ah masih aku simpan di tas ternyata.” Tisha tersenyum melihat note itu ia temukan. “apa maksud musim yang akan datang itu Yudh?” Tisha bergumam.
“Tish rencana weekend mau kemana?” Danti datang mengagetkan Tisha
“Hah? Aku belum tahu nih, kamu?”
“Bikin acara yuk, ajak divisi lain juga. Gimana menurutmu?”
“Boleh sih, atur aja deh. Aku ikut-ikut aja.”
*8*
“Intinya mbak masih nggak suka sama dia, apapun alasannya.” Lusi tegas menyatakan ketidaksukaannya melihat kedekatan Tisha dengan Adrian.
“Tapi kan mbak, aku sudah jelasin tentang kejadian itu. Dia sudah minta maaf.”
“Iya, tapi mbak nggak suka.”
Debat dengan kakaknya membuat pikiran Tisha semakin kalut. Beberapa bulan ini Lusi hanya diam melihat kedekatan Tisha dan Adrian. Menanggapi dengan biasa setiap Adrian datang untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Dia tidak menyangka Lusi segitu tidak menyukai Adrian.
Tisha teringat ajakan Danti untuk weekend ini. Penasaran dengan acara apa yang akan diadakan.
“Hallo, Dan..gimana jadinya ? apa acaranya?”
“Gagal Tish..pada sibuk sendiri.” Tisha manyun mendengar jawaban Danti.
Tisha menghamburkan badannya ke tempat tidur setelah mengakhiri telponnya dengan Danti. Diraihnya kalender di meja kecil dekat tempat tidur.
“Sudah lebih dari semusim Yudh, kamu baik-baikah di sana?” Tisha pun berusaha memejamkan matanya. Meletakkan sementara apa yang menyesakkan hati. Menenggelamkan diri dalam mimpi, membuat indah seperti yang diinginkan.
*Di sebuah kantor di Macau
Yudha baru saja selesai dengan gambarnya. Ia memandang jauh dari kaca jendela ruang kerjanya. Pemandangan kota malam hari dari ketinggian, siapapun akan terpukau. Waktu di Macau 1 jam lebih cepat dibanding waktu Indonesia bagian barat.
“Tish..maaf aku belum berani menghubungimu. Note itu, sudahkah kau membacanya ?” Yudha hanya mampu memandang foto Tisha di HPnya.
Yudha memilih untuk tidak menghubungi Tisha, sebenarnya selama di Macau Yudha sempat beberapa kali menghubungi Pak Nomo. Yudha melarang Pak Nomo memberi tahu apapun kepada Tisha. Yudha tahu Tisha semakin dekat dengan Adrian dari cerita pak Nomo yang mengatakan kalau Adrian mengantar jemput Tisha. HP Yudha tiba-tiba berdering. Ternyata dari rekan kantor di Indonesia
“Hallo..”
“…..”
“Lusa? Kok tiba-tiba gini. Baik lah”
Yudha merapikan meja kerjanya. Berkemas menuju appartemennya. Senyum mengembang dari bibirnya setelah mendapat telpon dari rekannya itu.
*8*
Pagi ini Tisha memilih diantar Pak Nomo. Hal itu tentu membuat Adrian tidak datang menjemputnya.
“Pak nanti mampir makan bubur ayam dulu ya.”
“Baik.”
Entah sudah ke berapa kali nya Tisha ke tempat itu. Hingga akhirnya penjual bubur ayam itu hafal dengan Tisha.
“Sendirian aja Neng.” sapa penjual bubur ayam begitu melihat Tisha duduk
“Iya pak, satu ya pak.”
“Kemarin temennya yang dulu datang juga. Lama saya nggak liat ehh..kok kemarin tiba-tiba ke sini lagi.”
Tisha mengernyitkan dahi mendengar ucapan penjual bubur itu.
“Siapa pak? Kan baru kemarin lusa saya ke sini sama temen saya itu. Adrian namanya Pak.”
“Ohh bukan yang itu Neng, yang dulu suka pake mobil item.”
DEGGG…..
Tisha sedikit terkejut. Ya jelas dia tahu siapa yang dimaksud penjual bubur itu. Adrian pasti bukan. Mobil Adrian silver.
“Mobil hitam? Mungkinkah?” Buru-buru dia mengambil Hp di tasnya. Mencari nama Yudha di phonebooknya. Tulalit. Nomer itu tidak bisa dihubungi. Tisha mencobanya beberapa kali. Sama saja. Akhirnya Tisha segera meninggalkan tempat itu setelah menghabiskan sarapannya.
Lima menit berselang, sebuah mobil CRV hitam berhenti. Sapaan ramah penjual bubur ayam begitu melihat seorang lelaki duduk di kursi plastiknya.
“Lohh..baru saja temennya dari sini Mas.”
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H