Mohon tunggu...
Septi Setyo Wandani
Septi Setyo Wandani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Univesitas Trunojoyo Madura

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romansa dan Hierarki: Refleksi Perbedaan Gender dalam Pernikahan Asia dan Eropa

11 Desember 2024   09:11 Diperbarui: 11 Desember 2024   09:46 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pernikahan (Sumber: Pinterest)

Pernikahan merupakan institusi sosial yang memegang peran sentral dalam membentuk fondasi masyarakat, baik dari sisi budaya, agama, maupun psikologi. Mengkaji pernikahan menjadi relevan karena di dalamnya terdapat dinamika hubungan yang kompleks, mulai dari komunikasi, kepercayaan, hingga pengelolaan konflik. Di tengah perkembangan zaman, pernikahan dihadapkan pada tantangan-tantangan baru, seperti pergeseran peran gender, tekanan ekonomi, dan pengaruh media sosial, yang semuanya dapat memengaruhi kualitas hubungan antara pasangan.

Budaya pernikahan di Eropa dan Asia yang sarat dengan nilai-nilai patriarki mencerminkan tradisi lama terkait peran gender. Di Asia, patriarki tampak lebih dominan, dengan laki-laki sering mengambil peran sebagai pemimpin keluarga dan pengambil keputusan utama, baik dalam rumah tangga maupun keluarga besar. Perempuan umumnya diarahkan untuk menjalankan peran domestik, seperti mengurus rumah tangga dan mendidik anak, sementara laki-laki bertanggung jawab dalam mencari nafkah. Sebaliknya, di Eropa, meskipun pengaruh patriarki masih terlihat, misalnya melalui tradisi penggunaan nama keluarga suami atau dominasi laki-laki dalam keputusan tertentu, dinamika pernikahan modern semakin mengarah pada pembagian peran yang lebih setara antara pasangan.

Dua tokoh feminis, Nancy Hartsock dan Sandra Harding  menemukan sebuah teori tentang gender, yaitu Standpoint Theory. Teori ini menyatakan bahwa posisi yang berbeda antara tuan dan budak membuat mereka memandang perbudakan secara berbeda, yang artinya kelompok yang terpinggirkan tidak hanya dipaksa untuk mengembangkan sudut pandang mereka sendiri dari posisi yang kurang beruntung, tapi juga dituntut untuk memahami sudut pandang pihak yang lebih berkuasa.

Budaya patriarki di Indonesia masih dominan, dengan laki-laki sering dipandang lebih tinggi dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat. Dalam sistem ini, perempuan dianggap sebagai istri dan ibu, sementara laki-laki berperan sebagai kepala keluarga dan penyedia nafkah. Seperti dalam Standpoint Theory patriarki membatasi kebebasan perempuan, baik dalam pengambilan keputusan maupun mengekspresikan diri. Contohnya, pembagian tugas rumah tangga yang tidak adil dan pandangan negatif terhadap perempuan yang menentang peran tradisional. Meskipun ada upaya untuk mendorong kesetaraan gender, patriarki masih menjadi hambatan besar dalam perkembangan sosial dan budaya Indonesia.

Pernikahan egaliter di Eropa menunjukkan perubahan besar dalam pembagian peran antara suami dan istri, yang didorong oleh kesetaraan gender. Di banyak negara Eropa, pernikahan kini lebih dianggap sebagai kemitraan setara, di mana pasangan berbagi tanggung jawab dalam rumah tangga, pengasuhan anak, dan pencarian nafkah. Kesetaraan ini memberi kebebasan perempuan untuk mengejar karier dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting. Meskipun masih ada tantangan, banyak pasangan Eropa yang menekankan pentingnya komunikasi dan kerja sama dalam membangun hubungan yang saling menghargai.

Dalam konteks komunikasi gender, perbedaan kebudayaan antara Eropa dan Asia mempengaruhi pernikahan dalam kajian komunikasi gender, di mana norma dan peran gender masing-masing budaya membentuk interaksi pasangan. Di Eropa, pernikahan lebih menekankan komunikasi setara, dengan suami dan istri bebas berbagi pendapat dan membuat keputusan bersama, mencerminkan pembagian tanggung jawab yang seimbang. Sebaliknya, di Asia, norma patriarkal mendominasi, dengan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan perempuan lebih terperangkap dalam peran tradisional yang mendorong perempuan untuk "berkorban" demi keluarga. Hal ini menghambat komunikasi gender dalam pernikahan Asia, di mana perempuan sering kali lebih pasif dan kurang terlibat dalam keputusan penting. Perbedaan budaya ini menunjukkan bagaimana peran gender memengaruhi komunikasi dan dinamika hubungan pernikahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun