Salah satu cara untuk mendeteksi dan mengukur kapasitas seseorang (ilmu, pengalaman maupun kebijaksanaannya) adalah dari bahasa dan ungkapan yang digunakan saat berbicara.
Konsepnya mudah saja, yaitu: orang bodoh bicara tanpa ilmu, kalangan pembelajar bicara rumit dibungkus sedikit ilmu, sedang orang faqih bicaranya sederhana tapi dengan bobot ilmu yang tinggi.
Kekuatan Kesederhanaan
Mari kita lihat kasus untuk menjelaskan kekuatan kesederhanaan dalam berbicara.
Pertama, Al Qur’an diturunkan dengan bahasa yang sederhana. Beberapa konsep yang rumit ditamsilkan secara sederhana, sehingga mudah dipahami oleh orang awam, tapi bisa ditangkap oleh kaum cerdik pandai sesuai tingkatan ilmunya sendiri-sendiri.
Sayyid Quthb sangat terpesona dengan fenomena ini, dan mengarang sebuah kitab khusus, At Tashwirul Fanni fil Qur’an. Contoh mudah adalah cara Al Qur’an menjelaskan tentang tahap dan proses penciptaan manusia. Bandingkan dengan versinya dokter kandungan, pasti lain kan? Tidak perlu heran, karena Al Qur’an diturunkan oleh Allah Yang Maha Berilmu.
Kedua, Hadits disampaikan dengan bahasa sederhana. Rasulullah menjelaskan banyak hal penting dengan cara sederhana dan mudah dipahami. Beberapanya disampaikan dengan bentuk tamsil. Seperti penjelasan beliau tentang posisinya sebagai khotamul anbiya, peran fungsinya agar manusia tidak masuk ke api neraka, perumpamaan atas kondisi orang beriman dll. Tidak perlu heran, karena Rasulullah diberi karunia yang kita kenal sebagai Al Jawami’al Kalim. Sebuah mukjizat yang membuat Rasulullah berbicara sederhana, ringkas, padat tapi berbobot, penuh ilmu dan kebijaksanaan.
Ketiga, Qoul orang shaleh. Kita ambil contoh langsung, yaitu Imam Syafi’i. Beliau digadang-gadang otaknya lebih tajam dari pedang. Dalam majelisnya, beliau berbicara sampai tingkat rumit dan mendetil hingga orang yang baru kenal menganggap Imam Syafi’i hanya menguasai cabang ilmu itu saja (spesialisasi). Padahal, dalam sehari, santrinya datang bergilir: pagi majelis ahli qur’an, dhuha majelis ahli hadits, siang majelis ahli fiqih dan seterusnya. Namun dalam banyak kesempatan, Imam Syafi’i sering merangkai bait syair yg mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Begitulah tabiat orang-orang faqih, bicaranya sederhana dan tidak suka mengumbar dalil, apalagi kopi paste ayat dan hadits. Karena kopi paste ayat dan hadits tidak akan mampu mengubah status orang pandir naik ke maqamnya para ulama.
Sederhanakanlah Bicaramu 😊
Jika suatu saat kita bertemu dengan orang yang bicaranya mutar-muter kesana kemari tapi kosong dari hujjah dan hakikat, maka mudah kita mendeteksi siapa sebenarnya orang itu.
Disini, kita perlu merenungi ucapan Ali bin Abu Thalib ra, bahwa “Diam itu perhiasannya orang faqih dan perisainya orang pandir”. Berbicara dengan sederhana tidak akan menurunkan status dan kehormatan. Sebagaimana tawadhu tidak akan menurunkan derajat. Justru sebaliknya, untuk bisa berbicara dengan sederhana tapi berbobot, prosesnya sangat tidak sederhana. Karena kita harus mengarungi lautan ilmu yang luas serta pahit getir pengalaman hidup agar bisa merangkai ungkapan-ungkapan hikmah.