Sudahkah kita menggunakan beasiswa yang kita terima dengan bijak?
sebelumnya saya mohon maaf apabila ada yang terganggu dengan postingan saya satu ini, hanya ingin memaparkan apa yang baru saja saya terima dan saya rasa ini bermanfaat.
Di UNAIR terdapat program beasiswa dari PGN (Perusahaan Gas Negara). Beasiswa ini merupakan beasiswa selama 3 tahun (dari semester 3 hingga semester 8) dan ditujukan bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang relatif pas-pasan. Kenapa saya bilang pas-pasan? karena kenyataannya saat saya hadir di acara tadi rata2 yang hadir bukanlah mahasiswa2 yang “ngetoki” kalo mereka kurang mampu, just on average rate. Ya, biasa saja. termasuk saya.
Pak Deni Yasmara, koordinator bidang minat, bakat, dan prestatif DITMAWA UNAIR menjadi seorang pembicara dalam agenda pembinaan program beasiswa tersebut. Para aktivis ormawa dan UKM di UNAIR pasti tidak asing dengan bapak satu ini.
Hal yang menarik dari pemaparan materi adalah, judul dari topik yang dibawakan, “Beasiswa: Be an extraordinary student or criminal?” awalnya saya nggak ngeh sama judulnya, kok ada kata “criminal”? oke kita liat sebentar lagi. Di awal, Pak Deni memaparkan tentang 5 kebutuhan mendasar dari manusia, dan yang lucu itu di bawah kebutuhan mendasar itu tertulis “WIFI AND BATTERY” ya, menurut beliau kebutuhan manusia skg sudah bergeser, manusia seolah-olah tidak bisa hidup tanpa internet connection. Beliau membandingkan ini dengan pada saat zamannya mengikuti pelatihan di Tretes, “kalo dulu ya mahasiswa dateng ke hotel buat pelatihan, trs dateng ke resepsionis, pasti yang ditanyakan pertama itu, kiblatnya kemana ya. Tp skg udah enggak lagi, yang ditanyakan itu ‘password wifi disini apa ya?'” saya sontak tertawa, karena memang benar itu yang saya alami. Saya juga sering begitu kok.
Selanjutnya beliau mengutip artikel dari kompasiana, kira2 begini “apa mereka menggunakan beasiswa tersebut dengan semestinya? Tidak. Kebanyakan dari mereka menggunakannya untuk foya-foya dan membeli barang yang mereka inginkan. Kalau kenyataanya seperti itu, bagaimana nasib mereka yang benar-benar membutuhkan dana tersebut. Haruskah posisi mereka tergeser oleh kalangan bermodal. Bagaimana dengan mereka? Apa mereka harus putus kuliah hanya karena tidak bisa melunasi biaya semester. Sungguh ironis sekali cara berfikir mereka. Harusnya mereka lebih perduli dengan kondisi teman-teman mereka yang benar-benar membutuhkan.” *dikutip dari kompasiana
belum selesai, Pak Deni meminta kami untuk mengeluarkan HP kami masing-masing dan meletakkannya dalam sebuah kotak kardus. Seluruh mahasiswa di dalam ruangan mulai terlihat cemas dan enggan melakukan apa yang diminta oleh Pak Deni, apalagi yang hapenya bagus dengan harga 4 jutaan ke atas *eh *ini bener terjadi* setelah semua mahasiswa menyerahkan HPnya, kotak tersebut dibawa ke depan dan pak Deni mengambil salah satu HP. wuss yang diambil tidak tangggung2. Sebuah iPhone 5. Beliau bertanya, “siapa yang punya hp ini?” ada seorang mahasiswa yang mengangkat tangannya dengan sedikit ragu2, “saya pak” “oh ini hapemu ya? wus iphone piro iki? 5? 5s? harganya berapa ya? 3 juta? enggak lah kayaknya ini kalo baru 5 juta, eh mungkin 6 juta.
Kamu beli pake uang apa mas? uang beasiswamu? uang beasiswamu kan cuma 3,6 juta persemester, butuh berapa semester ini buat kamu beli hp ini?” “itu saya dapat dari hadiah pak” “oh hadiah… hm.. saya disini sering menghadapi anak2 yang dapet beasiswa, kalo saya mendapati hal semacam ini, saya sudah hafal jawabannya ‘lho itu saya beli sebelum saya dapat beasiswa pak’ sudah hafal saya. Lantas kalau begitu, buat apa kamu mengajukan beasiswa? Jika kamu mampu membeli iphone dan hal2 konsumtif lainnya atau kamu akan berpikir untuk menggunakan uangmu untuk beli hape, buat apa ngajuin beasiswa? kan lebih baik buat yang kurang mampu diluar sana.”
Mendengar hal itu sebenarnya saya juga agak sedikit tersindir. Karena tidak dipungkiri juga, saya sering menggunakan uang beasiswa saya untuk kegiatan yang konsumtif, ya meski tidak sampai membeli hp baru seperti untuk beli tiket nonton bioskop, atau mungkin buat nongkrong di kafe kekinian.
Para mahasiswa di ruangan terdiam dengan sedikit suara tertawa kecil dari para kasubag kemahasiswaan dari tiap fakultas yang ada di UNAIR.
Pak Deni melanjutkan materinya, masih sama, kali ini beliau mengutip artikel lain dari kompasiana “Bukankah masih banyak anak-anak terlantar yang membutuhkan bantuan kita. Masih banyak mahasiswa yang putus kuliah hanya karena tidak sanggup membayar biaya semester yang semakin mahal. Bagaimana nasib masa depan mereka? Apa harus dibiarkan hancur ditengah jalan?. Sungguh tragis sekali nasib bangsa ini. Masih banyak orang yang tak seberuntung kita, yang tidak bisa menikmati bangku sekolah dan tidak bisa merasakan bagaimana suka dukanya bersekolah. Akan lebih baik jika mereka juga merasakan apa yang kita rasakan. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas yang tidak tertipu oleh siapapun.”