Mohon tunggu...
Septian Nugroho
Septian Nugroho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penuntut Ilmu, alumni SMAN 8 Jakarta, S1-Ilmu Hukum FHUI, dan S2-Magister Kenotariatan FHUI. Follow @ian_indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masih Menyalahkan Orang Lain jika Anak Tidak Bersikap Dewasa?

25 Februari 2014   00:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya. Dikisahkan, suatu hari ia bertugas mengawas pelaksanaan try out Ujian Nasional SMP di sebuah bimbingan belajar. Para siswa peserta try out sangat antusias dan berusaha menjawab semua pertanyaan dengan baik. Baru sekitar satu jam, tiba-tiba ada siswa yang sudah selesai dan mengumpulkan LJK kepadanya. Siswa lainnya tak mau kalah, merekapun segera mengumpulkan LJK. Namun ada seorang siswa yang mengumpulkan LJK dalam keadaan belum dilingkari penuh dengan pensil 2B. Siswa tersebut hanya memberi tanda coretan pada jawaban yang dipilih. Sontak ia menahan dan memerintahkan siswa tadi untuk menghitamkan LJK. Sang siswa justru kesal dan mengatakan, “Itu kan tugas Kakak. Kakak ngapain cuma berdiri saja”.

Meskipun kaget luar biasa, pengawas try out mencoba tenang dan kembali memerintahkan siswa tersebut hingga ia mau mengarsir. Tak lama berselang, seorang ibu datang ke kelas tersebut. Sekonyong-konyong dengan nada tinggi, sang ibu berkata kepada siswa satu-satunya yang masih ada di dalam kelas, “Kamu gimana sih? Ngerjain gitu saja lama banget. Malu tuh, semua teman kamu saja sudah selesai”.

Sang anak berusaha membela diri, “Ini sudah selesai Ma. Tinggal menghitamkan jawaban saja”.

Si ibu kembali berceloteh, “Kok nggak nyuruh kakak pengawasnya saja?”.

Serasa tersambar geledek, teman saya pun membatin, “pantas saja kelakuan anaknya begitu, lha wong ibunya saja demikian”. Ia kemudian berusaha menjelaskan pada sang ibu bahwa dalam Ujian Nasional yang sesungguhnya siswa harus mengumpulkan LJK dalam keadaan dihitamkan penuh pada jawaban. Jika tidak, jawaban pada LJK tidak akan terbaca scanner dan anak dipastikan tidak akan lulus Ujian Nasional.

***

Ibu anak dalam cerita teman saya di atas memang belum mampu menjadi sosok ibu ideal. Padahal ada ungkapan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Sebuah ungkapan indah yang menggambarkan eksistensi seorang perempuan yang berperan ganda dalam kehidupannya. Sebagai ibu bagi anaknya dan sebagai istri bagi suaminya. Bahkan banyak sosok ibu yang kini berperan pula sebagai pekerja atau pemimpin di perusahaan.

Dengan dalih mengimbangi laju lokomotif ekonomi atau sekedar mengurangi beban suami, banyak perempuan kini bekerja penuh, meniti karir, bersimbah peluh menjalani berbagai profesi. Bersama sang suami, perempuan “terpaksa” membanting tulang sejak pagi hingga malam. Saat pagi menyapa, rutinitasnya mengantar anak ke sekolah sekaligus berangkat ke kantor. Selepas pulang kantor ia sempatkan diri untuk menjemput anak di tempat bimbingan belajar. Tentu dengan sisa tenaga yang tersedia.

Sementara ada pula perempuan yang memutuskan untuk bekerja penuh hingga larut malam, hingga tak sempat lagi mengurus keluarga. Dan untuk mengobati rasa bersalahnya, ia manjakan anak dengan berbagai kemewahan fasilitas tanpa pengawasan. Sejak kecil anak diasuh pembantu, yang -maaf- pendidikannya tidak setinggi pendidikan sang ibu. Anak dibiasakan untuk memerintah pembantu dalam segala urusan. Pantas saja jika kemudian anak tidak tumbuh dewasa. Secara fisik bertambah besar, tapi pikiran masih saja kekanak-kanakan.

Sekolah Bukan Lembaga Penitipan Anak

Selain terbiasa memanjakan anak dengan berbagai fasilitas mewah, kesalahan lain yang kerap dilakukan orang tua adalah mencukupkan pendidikan anak di sekolah. Orang tua merasa tanggung jawabnya sudah dilaksanakan manakala sang anak sudah disekolahkan. Padahal pendidikan yang utama berada pada pundak kedua orang tua.

Mendidik anak adalah kewajiban yang paling utama, tanggung jawab yang paling besar, amanah yang paling berat, dan perjuangan yang tidak boleh berhenti. Prosesnya sangat panjang dan berat sehingga membutuhkan banyak pengorbanan. Tidak bisa hanya dijadikan pekerjaan sambilan. Seperti halnya tanaman, pasti ada yang menanam. Seperti itu pula anak yang baik, sejak dini harus sudah dididik.

Peran Ibu dalam Pendidikan Anak Sangat Luar Biasa

Perempuan karir mungkin tidak salah, jika tetap mampu memprioritaskan waktu untuk anak-anaknya. Memperhatikan perkembangan pendidikan sang anak, ikut aktif mencerdaskan mereka, tidak hanya sebatas kecerdasan artifisial tapi juga kecerdasan hati. Tidak hanya anak yang melek angka dan literasi, tapi juga anak yang berakhlak mulia dan peduli.

Sekalipun bukan kepala rumah tangga, perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan suami. Kekuatannya ada pada tangan yang dingin, hati yang tulus, pikiran yang optimis, serta untaian-untaian doa yang mengalir dari mulutnya, yang seringkali disertai air mata penuh pengharapan pada Sang Pencipta. Ibu yang bijaksana lebih senang disibukkan mengurusi anak-anaknya, daripada mengurusi urusan orang lain. Kehadiran dan percakapannya dengan sang anak bernilai lebih dari ribuan hadiah. Dengan kerendahan hati, ia akan berusaha menjadi teladan yang baik bagi sang anak. Karena pendidik yang baik menyadari bahwa anak mungkin mudah melupakan apa yang ia ucapkan, tapi mereka selalu ingat dengan keteladanan dan pengalaman yang menyentuh hati.

Terima kasih Para Ibu, terima kasih para orang tua.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun