Makin bertambah usia, makin saya menyadari bahwa banyak manusia yang belum mencintai dirinya sendiri tanpa mengenal usia. Banyak manusia yang saya temui belum menemukan jalan untuk mencintai dirinya sendiri. Beberapa manusia tersesat dalam pikirannya yang terus membenci diri sendiri. Saya pun pernah ada di posisi mereka. Perjalanan itu sangat panjang. Belum sepenuhnya mencintai diri sendiri, namun sebagian diri saya sudah mulai mencintai diri saya sendiri. Saya terus belajar untuk mencintai diri saya sendiri.
Ketika membaca tentang mencintai diri sendiri, ingatan saya langsung terbawa ketika saya masih duduk di bangku SMP. Saya tidak suka diri saya karena saya merasa jelek. Karena ketidaksukaan saya pada diri sendiri, saya tidak pernah tersenyum. Wajah saya cemberut. Kata-kata yang saya keluarkan sangat kasar dan menyakiti orang lain. Tanpa saya sadari, justru itu yang membuat saya makin jelek. Saya berusaha menjadi orang lain. Mengenakan pakaian yang tidak saya suka agar telihat cantik seperti orang lain. Saya sering menatap diri di cermin dan belajar cara tersenyum, tapi yang saya temukan malah pantulan diri dengan senyum yang aneh. Saya kesal dan sangat membenci cermin. Sebenarnya yang saya benci adalah diri sendiri, tapi saya mengkambinghitamkan cermin.
Nilai saya selalu sempurna ketika SMP. Tiga tahun saya sekolah, tidak ada yang bisa menggeser posisi saya sebagai juara umum. Seharusnya saya bahagia. Tapi, saya terus merasa kurang. Meski punya teman, saya tetap merasa kesepian dan sendiri di dunia yang luas ini. Saya tidak merasa dunia sangat indah.
Hingga suatu hari, saya menonton film Cars (2006). Ada adegan ketika Lightning Mc Queen tidak sengaja menemukan piala yang pernah dimenangkan oleh Doc Hudson Hornet. Lightning Mc Queen sangat kagum melihat piala milik Doc Hudson Hornet, tapi Doc Hudson Hornet malah mengatakan, "Itu hanyalah piala kosong!". Saya terus teringat dengan kata-kata tersebut dan merenunginya. Saya bersusah payah belajar untuk mengejar angka sempurna, tapi sesungguhnya tidak ada yang saya dapat. Kalau boleh meminjam kata-kata Doc Hudson Hornet, itu hanyalah angka kosong dan saya juga kosong. Saya terlalu terpaku pada angka dan memaksa diri saya terlalu keras agar tetap peringkat satu, karena saya ingin dikenal, diingat, dan dihormati. Saya melupakan banyak sekali hal yang penting demi posisi peringkat satu. Meski memperoleh posisi peringkat satu, saya tidak pernah bahagia. Saya tertekan karena rasa takut. Saya takut posisi saya akan direbut orang lain jika lengah. Tidak ada ketenangan batin ketika saya SMP.
Puncaknya, ketika lulus SMP, saya memutuskan untuk memulai hidup yang baru. Saya ingin hidup tanpa mengejar nilai secara berlebihan dan tidak ingin memedulikan peringkat. Saya belajar secukupnya dan mulai mempelajari hal lain. Saya ingin tahu kemampuan apa yang saya miliki selain menghafal titik koma di buku teks pelajaran. Ketika teman seangkatan SMP saya melanjutkan SMA/SMK di kabupaten yang lebih dekat dengan rumah, saya memutuskan melanjutkan SMA di kota. Meski saya lelah karena berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 6 sore. Tidak apa-apa selama saya bisa memulai hidup yang baru tanpa ada yang mengenal saya. Saya bisa membentuk diri saya yang baru.
Saya tidak bisa mengatakan saya bahagia ketika SMA, tapi saya bersyukur bertemu dengan teman yang baik ketika SMA yang berteman dengan saya hingga sekarang. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih banyak untuk teman saya. Dia juga yang menginspirasi saya untuk belajar dan mengembangkan kemampuan menulis. Ada kalanya saya membayangkan jika tidak bertemu dengan teman saya ini, bagaimana saya akan menjadi. Saya tidak menemukan gambarannya, jadi teman saya memang dikirim oleh semesta untuk saya agar menjadi manusia. Dia juga salah satu bagian dari perjalanan saya menemukan cinta untuk diri sendiri. Semoga dia membaca tulisan ini nanti.
Kehidupan SMP dan SMA hanya bagian kecil dari kebencian saya terhadap diri saya sendiri. Kebencian terbesar terhadap diri saya sendiri adalah ketika saya berusia 22 tahun. Saya sedang menyusun skripsi saat itu. Saya kehilangan minat dan motivasi terhadap hidup. Saya merasa sedih tanpa tahu alasannya. Saya takut dengan ketidakpastian dari masa depan saya. Saya menjadi malas untuk mengerjakan apa pun, tapi saya benci dengan diri saya yang malas. Saya merasa bersalah dengan orang tua saya dan diri saya. Saat itu benar-benar gelap dan saya benci dengan diri saya sendiri. Pikiran saya hanya ingin menghilangkan diri saya dari muka bumi dan saya hampir melakukannya. Ketika saya batal menghilangkan diri saya dari muka bumi, saya menemukan diri saya sendiri. Hari itu, saya menangis sekencangnya dan memeluk diri saya dengan erat. Saya tidak ingin kehilangan diri saya lagi dan saya ingin belajar mencintai diri saya sendiri.
Sekarang, saya ada pada tahap sedang belajar mencintai diri saya sendiri. Perjalanan saya sangat panjang, tapi saya tidak akan menyerah untuk menemukan lebih banyak cinta untuk diri saya sendiri. Banyak hal yang saya sadari ketika saya mencintai diri saya sendiri, ternyata saya dapat memberikan kebahagiaan untuk diri saya dan orang lain. Saya tidak perlu lagi belajar tersenyum di depan cermin. Senyum itu akan keluar dengan sendirinya ketika saya sedang ingin tersenyum.
Inilah perjalanan saya menemukan cinta untuk diri sendiri. Hingga sekarang saya terus belajar untuk mencintai diri sendiri. Meski kadang saya kembali tenggelam dalam kegelapan, saya berusaha menggapai cahaya. Perjalanan saya masih panjang. Ini hanya sebagian kecil yang bisa saya ceritakan. Saya akan kembali lagi suatu hari nanti untuk menceritakan cinta yang saya temukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H