Saat bersamaan dengan kejadian Edwin dan Elsa beraksi di Jalan Malioboro, di Dongkelan, Bantul, sebuah taksi putih berhenti di depan rumah mewah berpagar putih di pinggir Jalan Bantul. Sopir taksi keluar lalu menekan bel di samping pintu pagar. Setelah menunggu beberapa menit, pagar putih itu terbuka dan muncullah Mbah Gundul yang telah berusia 66 tahun tapi masih gagah dan bugar. Tubuhnya tinggi dan beratnya proporsional dengan tinggi tubuhnya. Kulitnya coklat bersih dan klimis, alisnya tebal, rambutnya sudah terpangkas habis alias gundul atau botak, licin tandas pokoknya. Alis boleh memutih, tetapi Mbah Gundul tak memakai kacamata karena pandangan matanya masih sangat bagus. Gigi Mbah Gundul juga terawat baik dan tak memakai gigi palsu sedikit pun. Mbah Gundul memakai jam tangan Rolex di pergelangan tangan kanannya. Selain itu beliau juga memakai tuksedo warna putih, dasi kupu-kupu hitam serta hiasan bunga mawar di dada kirinya. Celananya eksekutif hitam, kaus kakinya hitam begitu juga sepatunya yang hitam licin berkilat. Mbah Gundul tersenyum melihat supir taksi menjemput tepat waktu. "Pak Sopir manteb tenan ki. Pas banget wektune lho."
Sopir taksi membukakan pintu depan sebelah kiri untuk Mbah Gundul. "Sumonggo mlebet, Simbah."
"Suwun, Pak Sopir. Langsung neng Stasiun yo?"
"Inggih, Bapak. Lempuyangan utawi Tugu?"
"Yo jelas Tugu to. Wong trilyuner koyo aku ki kudu kelase eksektutif. Ekonomi? Cuih!"
"Inggih, Simbah." kata sopir taksi menutup pintu, lalu bergegas menuju pintu depan satunya dan menjalankan taksi menuju stasiun Tugu.
Sepanjang perjalanan menuju Stasiun Tugu, Mbah Gundul mengajak mengobrol sopir taksi yang berwajah ganteng mirip bintang film Hollywood Keanu Reeves ini.
"Wis suwe kowe nyetir taksi?"
"Sampun setahun, Simbah."
"Kuwi jenenge durung suwe. Sedhelok banget lo. Kowe ngerti ra aku ndhisik pas awal kerjo neng Jakarta dadi sopir taksi juga. Aku ki lengganane bintang-bintang film tanah air lho."
"Inggih to, Simbah? Sinten mawon?"