Mohon tunggu...
Septian DR
Septian DR Mohon Tunggu... Translator dan Wiraswasta -

TRANSLATOR & KOMIKUS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tuan Bong Chapter II

12 Januari 2015   04:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420986788948932319

[caption id="attachment_390192" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi karya Septian DR"][/caption]

Hari Sabtu siang, tanggal 1 Desember 2012, pesawat Turkish Airlines mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Setelah mengambil barang berupa kopor di bagasi, aku berjalan cepat menuju ruang tunggu. Seseorang berwajah ramah berkepala plontos dengan kemeja putih celana hitam yang menutupi tubuh suburnya melambai-lambaikan tangan padaku. Dialah Bonar Armani, salah satu penjemput khusus Dinas Agensi Rahasia Negara. “Kabar baik, Bang Bong?” sapanya penuh antusias sambil membawakan kopor milikku.

“Tidak, Nar. Kau tahu Nono tewas kemarin.”

Raut muka Bonar langsung berubah dan berkata dengan terbata-bata bernada sedih. “Akan … saya … balas … kalau … bisa.”

Aku menepuk bahu Bonar mencoba menenangkannya. “Itu jadi misiku berikutnya.”

“Bang Bong yakin? Tadi menurut Baginda S, Bang Bong akan bertugas bersama partner baru lho. Apa Bang Bong sudah tahu itu?”

“Belum. Apa-apaan pakai partner segala? Meskipun lahir di Jogja, aku lebih suka bekerja solo. S itu memang atasan yang paling aneh menurutku.”

“Hati-hati kalau bicara begitu lho, Bang Bong. Ada banyak telinga lho di sini.”

“Baik. Naik mobil apa kita?”

“Esemka Saloon Sedan.”

“Wow, ini baru hebat!”

“Bang Bong perlu tahu juga lho, kalau nanti bertugas di misi berikutnya, selain partner baru, ada mobil baru juga sebagai tunggangan dan senjata tentunya lho.”

“Esemka juga?”

“Tentu saja. Jangan mimpi naik Aston Martin Vanquish lho, Bang.”

“Aston Martin, BMW maupun Lotus bukan urusanku, Bon. Esemka sangat cocok untuk kita. Jayalah negeriku, jayalah tanah airku!”

“Apa Bang Bong perlu saya beritahu siapa partner Bang Bong nantinya?”

“Wok atau Wek?”

“Wek, Bang.”

“Si S memang payah. Aku paling anti bila berpasangan dengan Wek. Bukannya bertugas, nanti dia malah sibuk belanja di mal termahal sejagat raya tanah air kita.”

“Wek yang satu ini bukan sembarang Wek lho.”

“Siapa dia, Nar?”

“Sang Quadrant Mistress kita yang baru, Nyonya Quentina Saverina.”

“Aku mendapat partner seorang Nyonya? Amit-amit jabang bayi! Kalau begini caranya, aku tak jauh berbeda dengan John Steed!”

“Siapa itu John Setip, Bang?”

“John Steed, agen rahasia Avengers Inggris.”

“Yang saya tahu lho ya, Avengers itu Iron Man, Captain … America, Thor, Hulk, Dark Widow dan … Legolas.”

“Waduh, Nar. Ngomong sama kamu bikin otakku kacau. Sudah kamu menyetir saja.”

“Nah, lho.”

***

Markas besar Dinas Agensi Rahasia Negara berada di daerah Pejambon, Jakarta Pusat. Aku berpamitan dengan Bonar di pintu masuk tangga mabes karena dia harus bertugas lagi di tempat lain. Sekuriti memberikan salam hormat padaku. “Selamat datang kembali, Agen Bong.”

“Terima kasih, Pak.” kami saling berjabat tangan. “Nanti malam kita lawan Malaysia, Pak?”

“Ya, Agen Bong. Doakan kita supaya menang ya. Sepupu saya ikut main lho.”

“Oh, ya sekarang Dik Tri inti ya karena kemarin kartu merah itu? Wah, pasti saya berdoa dan kita semua berdoa semoga Tuhan memberikan kemenangan bagi kita.”

“Itu pasti, Agen Bong. Silahkan masuk. Baginda S sudah tidak sabar menunggu. Kata beliau tadi, Agen Bong bakal dapat partner baru.”

“Seperti apa dia, Pak?”

Pak Sekuriti mengacungkan dua jempol sambil mendesiskan satu kata. “MANTAP!”

Aku tersenyum melihat keceriaan Pak Sekuriti sambil mengacungkan jempol juga, lalu segera berjalan masuk ke ruangan lobi Dinas Agensi Rahasia Negara yang besar dan luas dengan keseluruhan interior hingga langit-langit yang begitu tinggi dan berwarna berkilau keemasan. Hawa dingin AC serasa menusuk seluruh tulangku saat aku berjalan berpapasan dengan rekan-rekan pegawai kantor di situ. Kami saling mengangguk dan tersenyum sambil menyapa, melambaikan tangan, kadang-kadang berjabatan tangan, atau hanya sekedar menepuk pundak.

Sesampai di depan lift, aku memencet tombol, lift terbuka, aku masuk ke dalam, kutekan tombol lagi beberapa lantai ke bawah, lalu lift pun menutup kembali dan segera berjalan menghentak kedua kakiku hingga sesaat aku merasa terhuyung-huyung dan jatuh tengkurap karena duniaku terasa sedikit berputar. Hentakan lift berhenti dan pintu lift membuka, aku bangkit berdiri dan berjalan keluar lift dan telah sampai di ruangan khusus dan rahasia di mana seluruh pegawai kantor yang saat itu tengah sibuk bekerja sambil duduk menghadap komputer mereka, nyaris semua berpaling menatapku dan mereka semua serempak berkata. “Panjang umur, Jimmy!”

Kuacungkan jempol pada mereka sambil tetap berjalan menuju ruangan khusus Bos Besar S alias Baginda S, begitulah sebutan untuk beliau yang begitu terhormat. Hanya aku seorang yang tidak memanggil S dengan memakai gelar itu karena S adalah kakak sepupuku. Tentu ada hawa nepotisme di Dinas Agensi Rahasia Negara, lalu aku bisa bilang apa?

Kubuka pintu ruangan Bos Besar S dan empat orang yang berada di situ semua menoleh kepadaku sambil mengangguk, tiga pria dan satu wanita. Tiga pria berdiri di sebelah kiri, masing-masing memegang gelas berisi minuman, mungkin teh lemon, ketiganya berwajah tegas dan serius dengan alis mereka terangkat begitu aku berjalan mendekat. Dari kiri ke kanan mereka bertiga adalah Bos Besar S, juru bicara Dinas Rahasia Negara Taufik Hambali, serta Wakil Dinas Rahasia Negara Rahim Jafar, sementara yang wanita tentu saja adalah sekretaris pribadi Bos Besar S yang dulunya mantan partner lapanganku yaitu Evandia Moniaga.

“Selamat pagi, Dobel-O-Zero.” kata Bos Besar S sambil menjabat tanganku dan mengedipkan mata. “Kami gembira menyambut kau kembali dari Istanbul. Sudah mencoba Turkish Bath di sana?”

“Tidak sempat. Mana bisa?”

“Kau belum bisa sedikit bersantai dalam tugasmu, Eh?”

“Eh ya.”

“Lebih baik kita semua duduk.” Bos Besar S memberi kode pada Taufik, Rahim dan Eva untuk keluar ruangan terlebih dulu, lalu aku duduk berhadapan dengan kakak sepupuku yang juga bosku itu di sofa hitam legam yang empuk. Meja kaca yang perak mengkilap membatasi kami dan ada sebotol teh lemon dingin yang tampak sangat segar di antara kami beserta satu gelas yang masih tertelungkup. “Kau minum saja dulu, Dobel-O-Zero. Setelah itu baru kita bicara.”

Aku mengangguk, lalu mengambil gelas itu dan menuanginya dengan teh lemon dingin hingga penuh. Kuminum teh lemon itu yang rasanya manis menyegarkan dan energiku terasa bangkit kembali, siap beraktivitas penuh seperti biasa.

“Eh? Sudah siap bicara, Dobel-O-Zero?”

“Ya, Bos.”

“Panggil aku S seperti biasa, Joni. Tadi Jeni barusan menelponku katanya dia tengah konser di Surabaya. Kariernya semakin sukses, tak jauh beda dengan dirimu. Adik sepupu kembarku ini sama hebatnya, Eh?”

“Aku lupa kalau kau masih memanggilku begitu.”

“Eh, he, he. Kau lebih familiar dengan panggilan Jim begitu? Jimmy? Ah, tidak mengapa. Bukan masalah besar. Mari kita langsung ke topik utama kita yaitu Spy-Call yang jelas berkaitan dengan kematian Robertino.” Bos Besar S sejenak mendongak mengamati langit-langit ruangan. “Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni segala dosanya. Amin. Jadi begitulah, Joni. Robertino terbunuh, tapi dia masih bisa mengamankan data sangat penting di flash disk itu. Data itu sudah aman sekarang. Yang sekarang kumau, Joni, adalah kau telusuri biang keladi kematian Robertino yaitu Spy-Call.”

“Sayang sekali, Bos. Aku tak tahu apa-apa tentang Spy-Call.”

“Bukan hanya kau, Joni. Bahkan kami pun masih meraba dalam kegelapan, tapi kami menemukan satu petunjuk yang mengarah langsung ke lokasi markas besar Spy-Call. Bisa kau tebak di mana, Eh?”

“Jakarta?”

“Salah besar, Joni. Sejauh yang kami temukan, markas besar Spy-Call ada di kota kelahiranmu yang indah dan megah.”

Tak bisa kututupi rasa terkejutku. “Jogja?”

Bos Besar S mengangguk, lalu menjentikkan jari. “Jadi misimu selanjutnya adalah pulang kampung dan beraksi di sana. Kalahkan Spy-Call, Joni. Ini demi keamanan nasional. Kau paham itu, Eh? Nah, untuk itu, kau perlu partner yang sepadan hebatnya denganmu. Kau akan bertemu dia nanti setelah ini. Apa Bonar sudah memberitahumu?”

“Partnerku itu … Wek?”

“Buset, Eh? Memang kau butuh penyegaran. Secara pribadi aku juga tidak terima iika adik sepupuku yang gagah dan tampan seperti kau masih jomblo terus-menerus, tak seperti Jeni yang hobinya gonta-ganti pacar. Kujamin kau bakal mabuk kepayang pada partnermu ini.”

“Partnerku ini … Emma Peel ya?”

“Dengar, Joni. Dia seumuran denganmu dan dia jenius. Emma Peel? Kau sama sekali tidak mirip dengan John Steed. Kami tidak mau berspekulasi membandingkan diri kami dengan serial televisi jadul yang sebetulnya masih keren bila kita tonton sekarang. Partnermu ini, dia seorang teknokrat murni.”

“Quadrant Mistress?”

“Tepat sekali, Joni. Quadrant Mistress alias Rina akan kupasangkan denganmu. Kalian akan bertugas bersama, saling melengkapi dan … melindungi.” Bos Besar S berdiri dan berkacak pinggang. “Temui dia sekarang dan bergegaslah berangkat. Misi ini sangat penting. Prioritas utama kita. Bapak Presiden pun tadi menelponku dan memberiku instruksi begitu jelas untuk merampungkan misi ini sampai tuntas. Selamat bekerja, Dobel-O-Zero.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun