Mohon tunggu...
Septian Bayu Kristanto
Septian Bayu Kristanto Mohon Tunggu... Dosen - Educator

Saya bukan ahli, hanya ingin berbagi. Bukan pula ilmuwan, hanya seorang relawan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Loper Koran itu Kini Jadi Pengajar Universitas

17 Oktober 2016   14:59 Diperbarui: 17 Oktober 2016   15:21 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan tidak menentukan karir anda,
Passion tidak akan menghasilkan uang untuk anda,
Namun pekerjaan yang didasari dengan passion akan membahagiakan anda.
Berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, “What are you supposed to be?”
Tanpa ada keraguan, saya menjawab “I want to help people Sir”.
And story is begin..

Keinginan membantu orang lain sudah tertanam dalam pikiran saya. Sejak SD, dengan pengetahuan yang terbatas, saya menetapkan ingin jadi dokter. Setidaknya itu yang bisa saya lihat. Sebuah profesi yang bisa membantu banyak orang.

Terjunlah saya kedalam kegiatan dokter kecil dan pramuka. Membantu di UKS, kantor PMI, dan Puskesmas jadi kesenangan saya kala itu. Jenis-jenis obat generik mulai kuhafalkan satu per satu.

Masuk ke usia anak SMP, kegemaran itu mulai luntur. Dengan tidak adanya program Dokter Kecil di SMP, membuat aku sangat terbatas dalam beraktivitas. Hanya sebatas Pramuka. Namun, disinilah aku berubah. Setiap ikut ke sekolah Ibu, aku merasa Guru menjadi profesi yang bisa membantu orang banyak. Dukungan orang tua pun mengalir. Setiap hari aku rajin membaca buku, membantu di SD Ibu, “nongkrong” di tukang koran hehehe...

Sampai pada akhirnya, toko koran yang biasa aku datangi (Erana Book) menawarkan “Mas, mau gak jadi loper koran sore?”

Hanya berfikir sedetik, saya terima pekerjaan itu. Lumayan buat nambah uang jajan.

Jadilah “LOPER KORAN” pekerjaan pertama saya. Dengan gaji Rp. 200,- per koran yang diantar. Maklum, koran Kedaulatan Rakyat  bukan koran yang populer kala itu.

Jadilah saya keluar bersepeda, mengantar 10-20 koran setiap jam 4 sore.

Ke masa-masa anak SMA, keinginan menjadi guru masih saja No.1 hehehehe...

Saya membantu sebagai Guru bantu, profesi kedua saya. Disini saya tidak dibayar sepeserpun, namun saya diangkat menjadi relawan dalam Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA). Sekolah yang saya bantu bukanlah sekolah biasa. Sekolah ini, adalah sekolah adik saya yang paling kecil. Menjadi guru disini tidak mudah, karena ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB). Satu-satunya sekolah berkebutuhan khusus di kota saya. Disini saya menjadi guru sampai masa kuliah memanggil saya.

Di masa SMA ini juga saya menjalani pekerjaan ketiga saya, sebagai seorang pengamen. Berbekal kemampuan musik gereja yang pas-pasan, saya beranikan diri membawa gitar ke bus-bus, dan kota-kota terdekat. Profesi ini bukanlah tujuan saya, hanya sekedar mengisi waktu.

Namun, dari profesi inilah saya bisa mengamen sampai ke Surabaya dan Bali, tentunya tanpa modal. Cukup naik-turun bus luar kota arah Surabaya, kemudian ke Banyuwangi, sebelum menyeberang ke Gilimanuk. Perjalanan ini saya lakukan selama 5 hari. Bali adalah destinasi saya. Dan saya pulang kembali dengan menggunakan uang hasil mengamen.

Banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dari mengamen. Begaul dengan anak punk, teman-teman yang mengkonsumsi narkoba, sampai ditolak di Gereja karena pakaian lusuh. Ternyata Masjid lebih bisa menerima siapapun dan dari agama manapun. Tapi ya itu hanyalah bangunan dan sekelumit aturannya.

Kuliah, masa indah untuk dikenang. Profesi ketiga saya lanjutkan disini, sembari mengisi tabungan masa kuliah. Mengamen dengan cara yang lebih cool, yaitu di kafe. Setiap malam minggu, saya habiskan mengamen di  Kafe, dengan bayaran Rp. 50.000,- per manggung. Hasil yang lumayan kala itu.

Tapi musisi jalanan ini juga mengais rejeki dari bermain musik di Gereja. GBI, GIA, GpdI, dan GKJ jadi tujuan saya. Tiap bermain musik pun saya dibayar Rp. 50.000,- tiap ibadah. Sungguh malu rasanya, diberi talenta tapi masih dibayar juga.. Bertobatlah saya segera..

Profesi keempat yang saya jalani juga selama masa kuliah, sebagai Auditor dan Peneliti. Lembaga Pemerintah yang menjadi jaminan dalam berprofesi. Menjadi auditor saya anggap bisa membantu perusahaan dan orang lain yang ingin tahu informasi perusahaan. Maklumlah, jurusan Akuntansi.

Profesi ini saya jalani sampai kuliah selesai. Bayarannya pun tidak tentu, per Project.

Kuliah membuat saya melakukan profesi saya kelima, Pengajar. Disini saya menjadi asisten dosen, dibayar per pertemuan, dengan tujuan mulia: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Hahahaha....

Di profesi inilah saya ingin menambatkan diri dan profesi. Sampai akhirnya saya bertemu dosa di profesi keenam, yaitu GHOST WRITER. Inilah profesi yang menjamin uang kuliah saya, uang jajan saya, uang saya pacaran, dan lain-lain hahahaha, Setiap pengerjaan laporan, dibayar Rp. 6.000.000,- merupakan nominal gila saat itu (sebagai mahasiswa ngekos). Sesuai dengan prinsip ekonomi, High Risk High Return, profesi ini juga menyediakan risiko tinggi bila tertangkap. Drop Out mengintai saudara-saudara.

Sampai pada akhirnya, lulus kuliah membawa sedikit pencerahan kepada saya. Dalam pengerjaan skripsi yang terseok-seok (anomali bagi seorang Ghost Writer), saya memutuskan ingin menjadi Dosen.

Menurut Analisis Saya (kata Butet K.), Dosen bisa membantu siapa saja, dan profesi apa saja. Saya belajar banyak dari dosen-dosen saya. Mereka bukanlah mahluk tercerdas dan termulia, tapi mereka sanggup menginspirasi siapa saja. Akhirnya saya putuskan menjadi DOSEN, Pengajar di Universitas.

Saya rasa inilah profesi ketujuh dan terakhir saya.. Memang passion saya ingin menolong orang. Tapi sebelum saya menolong orang, saya tolong diri saya terlebih dahulu.

Menjadi Dosen bukanlah profesi yang diharapkan Ayah saya, yang terbukti dengan penolakannya. Namun, Ibu saya yang seorang guru, pasti akan menerima jika beliau masih sempat melihat anaknya berkarya.

Sebagai pengajar, saya bisa menyentuh hati, dan membuka pikiran orang akan pengetahuan.

Jika seseorang menganggap “Life begin at Forty”.. Buat saya “Life begin at Twenty-Three”, since I choose this profession...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun