Sudah 70 tahun Indonesia terbebas dari penjajahan, namun diusia yang sudah melebihi setengah abad ini Indonesia masih belum bisa terlepas oleh permasalahan-permasalahan mulai dari permasalahan yang muncul dari golongan elit politik seperti yang selalu diperbincangkan masyarakat, yaitu korupsi. Korupsi memang selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan dan tidak ada habisnya untuk mengakhiri perbincangan. Bukan hanya dari golongan elit politik yang mengalami permasalahan, masyarakat kelas menengah kebawah pun juga mengalaminya. Permasalahan di kalangan masyarakat menengah kebawah ini juga tak kalah hangatnya dengan masalah para elit politik. Namun, permasalahan dikalangan masyarakat menengah kebawah ini jauh lebih komplek daripada masalah yang dialami oleh para elit politik. Mengapa demikian? Karena bukan hanya satu permasalahan saja yang dialami oleh masyarakat kelas menengah kebawah, namun ada beberapa permasalahan seperti kemiskinan, anak jalan yang seiring bertambahnya usia Indonesia semakin banyak, gelandangan dan pengemis, pemukiman kumuh di bantaran sungai, kekerasan wanita dan anak, kekerasan dala rumah tangga dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya.
Berangkat dari banyaknya permasalahan yang dialami oleh masyarakat kelas menengah kebawah, oleh karena itu peran seorang pekerja sosial sangatlah penting. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu tangan saja yaitu tangan pemerintah. Tangan-tangan lain juga perlu turun untuk ikut serta membantu menyelesaikan permasalahan ini agar Indonesia terbebas dari permasalahan-permasalahan yang secara tidak langsung menjajah kemakmuran. Tangan LSM contohnya, yang memuat banyak para pekerja sosial. Peluang menjadi seorang pekerja sosial sangatlah besar di negeri ini, akan tetapi minat serta kesiapan untuk meraih peluang itu sangatlah terbatas. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh Prof. Adi Fahrudin, Ph. D dalam sebuah surat kabar online Pikiran Rakyat, yang menyatakan bahwa peluang pekerja sosial di Indonesia tidak diminati oleh sebagian masyarakat Indonesia. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Muhammad Noor Romadhon, M Hum seorang sekretaris Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) Kota Yogyakarta menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan peluang pekerja sosial di Indonesia kurang diminati adalah karena masyarakat Indonesia era sekarang mayoritas menyukai ilmu-ilmu yang eksis dan jelas. Jelas disini dalam arti jelas seperti contoh lulusan seorang sarjana akuntansi akan bekerja sebagai akuntan, seorang sarjana hukum akan menjadi hakim. Sedangkan untuk pekerjaan sosial sendiri membutuhkan lulusan dari sarjana sosial yang lebih tepatnya lulusan jurusan kesejahteraan sosial. Seorang lulusan jurusan kesejahteraan sosial memang samar-samar. Samar-samar dalam artian “mau jadi apa kedepannya?”. Berawal dari masalah inilah yang menjadikan seorang lulusan kesejahteraan sosial tidak eksis dan pekerjaan sosial pun menjadi tidak eksis.
Faktor yang lain adalah tidak adanya hukum yang mengatur tentang pekerja sosial. Disini pemerintah seharusnya turun tangan, karena UU tentang pekerja sosial sangat penting, terutama UU tentang kesejahteraan para pekerja sosial. Pemerintah baru mencanangkan UU tentang sertifikasi pekerja sosial. Sertifikasi ini dirasa sangat diperlukan mengingat terpenuhinya aspek standar dan akuntanbilitas dari sebuah profesi agar dapat bersaing dengan profesi lain dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Bukan dari segi hukum saja, namun pemerintah juga harus meninjau dari segi pendidikan. Pendidikan di Indonesia tentang pekerja sosial masih sangat minim, hal ini terbukti dengan tidak ada kurikulum ataupun mata pelajaran yang membahas tentang pekerja sosial ditingkat SD, SMP dan SMA. Sekolah-sekolah pekerja sosial di Indonesia masih sangat terbatas, di Indonesia hanya ada 34 perguruan tinggi yang memiliki jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, didalam jurusan ini mempelajari dengan dalam tentang pekerjaan sosial. 34 adalah angka yang masih sangat rendah untuk Indonesia yang luas dan padat penduduk. Sekiranya perguruan tinggi lainnya baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa perlu mengembangkan ilmu ini.
Masih berbicara tentang kebijakan pemerintah, Muhammad Noor Romadhon, M Hum menyatakan bahwa Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) Kota Yogyakarta anggotanya mayoritas orang – orang yang berusia pensiun dan generasi mudanya sedikit sekali, hal ini disebabkan karena kurangnya publikasi dari pihak – pihak kecamatan, kelurahan, serta RW tentang pekerja sosial. Sekiranya pihak – pihak kecamatan, keluarahan, serta RW perlu mempublikasikannya dengan gencar dengan cara mengadakan sosialisasi kepada warganya, memilih kader – kader muda pekerja sosial yang mau dan mampu, mengadakan pelatihan tata cara menjadi seorang pekerja sosial. Masalah selanjutnya yang menyebabkan pekerja sosial kurang eksisadalah timbul dari masyarakatnya sendiri. Mayoritas masyarakat Indonesia mempunyai mindseat“mau jadi apa seorang pekerja sosial”, pikiran seperti ini adalah pikiran yang salah. Dengan mindseat seperti ini berarti masyarakat masih memikirkan pekerjaan hanya dilihat secara materi duniawi yang didapatkan. Padahal bekerja sebagai pekerja sosial bukan hanya materi yang didapat melainkan bekal untuk akhirat pun juga didapat. Di Amerika Serikat gaji seorang pekerja sosial mencapai $40,000 tergantung pada pengalaman dan prestasi mereka. Berbicara masalah pekerja sosial memang menyangkut keikhlasan dan ketulusan, hanya orang – orang yang hebat berhati baja yang mau menjalankan pekerjaan ini, karena di Indonesia sebagian pekerja sosial memang tidak mendapatkan upah. Oleh karena itu pekerja sosial kurang diminati oleh masyarakat.
Sering kali orang membingungkan tentang praktik pekerjaan sosial. Banyak orang mengira pekerjaan sosial hanya memberikan bantuan amal untuk orang-orang yang membutuhkan. Perkiraan yang seperti ini adalah perkiraan yang salah. Dalam praktiknya pekerjaan sosial mirip dengan profesi dokter. Praktik pekerjaan sosial tunduk kepada kode etik dan dibawah pengawasan lembaga atau organisasi tempat ia praktik. Ketrampilan profesi pekerjaan sosial mencakup asesmen dan intervensi yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang berasal dari pengetahuan dan penelitian atau riset. Ketrampilan intervensi profesi pekerjaan sosial adalah melakukan perubahan pada tingkat mikro dan makro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H