Ringkasan Buku Hukum Perkawinan di Indonesia -- Masalah-Masalah Krusial oleh Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H
(Septiana Putri Ambar Sari)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstract:
Sesuai dengan judul bukunya, penulis meringkas buku ini karena adanya pembahasan tentang masalah-masalah krusial dalam hukum perkawinan di Indonesia, dengan tujuan melihat perspektif pengarang buku tentang keadaan hukum perkawinan dan kekeluargaan di Indonesia dan bagaimana hukum tersebut diaplikasikan dan beberapa masalah yang biasa ditemui di masyarakat. Masyarakat muslim Indonesia juga memiliki banyak masalah dalam penafsiran hukum pada kasus-kasus yang berbeda. Buku ini mencakup beberapa pembahasan, yaitu masalah perkawinan, masalah perceraian, masalah poligami, sengketa pemeliharaan anak, kedudukan hukum anak angkat, dan harta bersama. Penulis menemukan bahwa buku ini dibuat pengarang untuk membedah kasus-kasus yang terdapat dan krusial bagi kalangan akademik, masyarakat muslim secara umum dan penegak hukum agar dapat dipahami dengan satu persepsi, satu pemahaman yang sama untuk menjadi acuan hukum yang baik dan tidak menimbulkan banyak kebingungan karena kontradiksi.
Keywords: Perkawinan; Hukum; Fikih; Undang-Undang.
Introduction
Perkawinan di Indonesia adalah hal yang cukup kompleks, karena jika kita kembali melihat esensi dari perkawinan, perkawinan ini tidak hanya menyatukan dua insan tapi juga menyatukan dua keluarga. Bisa saja keduanya berasal dari latarbelakang yang berbeda-beda juga. Jika melihat dari perspektif Islam, maka akan ada banyak masalah yang kadang ditemui sebagai masyarakat, dimulai dari perkawinan itu sendiri, persoalan anak, harta warisan hingga harta bersama yang bahkan tidak ada catatan tertulisnya langsung pada dasar hukum agama Islam. Penelitian dan ringkasan untuk buku ini ditulis dengan tujuan mempermudah pemahaman hukum tentang banyaknya masalah-masalah krusial tentang hukum perkawinan di Indonesia dalam satu tulisan artikel.
Result and Discussion
Bab Satu -- Pendahuluan
Aqidah, Syari'ah, dan Akhlak. Pengaktualisasian ajaran Islam dari korelasi antara ketiganya menjadikan seorang muslim yang kaffah, mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat secara luas. Syari'ah sebagai kaidah ibadah, mengatur hubungan manusia dan penciptanya, alam, dan makhluk. Sebagaimana pada QS. An-Nisa' [4]: 59, Allah menegaskan untuk taat kepada Allah, Rasul, dan kepada pemimpin, Syari'at Islam tidak memisahkan urusan agama dan negara. Dari perspektif bernegara, setidaknya pada komunitas muslim ada tiga kategori hukumnya, yaitu syari'ah, hukum fikih, dan siyasah as-syar'iyah.
Syari'ah terdiri dari norma yang wajib, baik ibadah maupun muamalah yang terdiri dari norma moral, etika, dan hukum. Sifatnya lebih global, universal dan tidak berubah, serta tidak tersusun sistematis seperti kitab undang-undang. Dalam hal ini Al-Qur'an dan Hadis Nabi sebagai hukum dan norma dasar yang kemudian memerlukan ijtihad untuk meneliti dan mengkaji teks nash-nya yang kemudian bisa dirumuskan secara sistematis untuk diterapkan sebagai hukum positif.Fikih secara semantik diartikan dengan pemahaman, upaya memahami dan menafsirkan kandungan nilai dan garis hukum pada teks syari'ah. Fikih bukan syari'at, fikih adalah penjelasan syari'at dan nilai-nilainya yang lalu menjadi produk hukum. Penafsiran ini membuatnya rentan akan perubahan tergantung pada tuntutan atau masalah manusia dari masa ke masa.
Siyasah Syari'ah bentuknya adalah peraturan perundang-undangan, yang dibuat oleh lembaga kenegaraan yang tidak berlawanan dengan jiwa yang menentang syari'ah. Indonesia adalah negara hukum yang punya status cukup tinggi dalam menentukan ketatanegaran. Maka dari itu, kitab dari agama dan hukum yang berlaku menjadi pengawas terhadap perusak fasilitas, juga menjadi pencegah timbulnya tidak main hakim sendiri dalam masyarakat. Indonesia juga bukan negara negara yang berdasar pada agama tertentu secara langsung tapi juga bukan negara yang meniadakan faktor-faktor agama juga.
Dalam islam, hukum yang dibuat oleh penguasa daerah melalui budaya yang ada, dapat dianggap sebagai suatu dasar hukum selama tidak kontradiksi dengan pola pikir syar'iyah. Maka, tidak layak seorang muslim atau sekawanan muslim menolak peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan produk syari'ah. Negara bahkan menjamin kehidupan beragama tersebut pun melalui Undang-undang dan sejalan dengan syari'ah. Hukum Islam normatif yang kita kenal selama ini tidak akan menjadi aturan dan hukum negara jika tidak diupayakan menjadi hukum terapan, lalu kemudian menjadi hukum formal yang bentuknya peraturan perundang-undangan.
Bab Dua -- Masalah Perkawinan
Faktor Penentu Suatu Perkawinan
Hukum perkawinan adalah salah satu bagian dari hukum yang diadakan negara dan tidak menentang aqidah maupun akhlak. Ketentuan di dalamnya memang mengikat bagi setiap muslim dan setiap muslim perlu menyadari bahwa banyak hal dalam perkawinan yang mengandung nilai ubudiyah.
Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang perwakinan sudah dimunculkan sejak tahun 1974, yang mana mengandung hal-hal yang biasa dan ternyata mengandung hukum munakahat dari Al-Qur'an, hadis, dan kitab-kitab fikih kontemporer ataupun klasik dari hukum normatif menjadi tertulis. Sahnya perkawinan terdera pada pasal 2 dari UU No.1/1974, yaitu pada ayat (1) yang menetapkan bahwa sahnya perkawinan adalah jika dilakukan sesuai ketentuan dari agama kedua mempelai, atau tidak ada perkawinan diluar hukukm masing-masing agama calon mempelai. Adapun ayat (2) dari undang-undang ini mengatur tentang pencatatan perkawinan, yan artinya harus dicatat menurut peraturan yang berlaku.
Pencatatan Perkawinan
Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah untuk mempermudah jalur administrasi perkawinan dan untuk menjamin hak dan kewajiban pasangan suami istri dengan cara penertiban melalui bukti-bukti sah pernikahan. Yang disayangkan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan hal ini, dimana masih banyak praktik nikah sirri yang jelas-jelas tidak melakukan pencatatan.
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang arahan pencatatan perkawinan diarahkan kepada WNI yang sedang di dalam maupun luar negeri.
Pencatatan ini juga berlaku bagi WNI yang beragama Islam, hanya saja pencatatannya melalui KUA Kecamatan, sedangkan yang nonmuslim pencatatannya melalui Kantor Catatan Sipil. Ketentuan ini tidak berasal dari Hukum Perdata Belanda atau Hukum Barat, tapi berdasarkan kepada ketentuan Allah SWT pada surah al-Baqarah ayat 282. Perkawinan secara pencatatan bersifat transaksional/akad yang sarat akan hak dan kewajiban, serta perjanjian perkawinan.
A. Gani Abdullah menyatakan bahwa perbuatan seperti perkawinan baru dikategorikan perbuatan hukum jika dilakukan menurut ketentuan hukum positif. Dilanjut dengan penegasannya bahwa tindakan yang dilakukan tidak menurut pada aturan hukum, maka tidak dinyatakan sebagai sebuah perbuatan hukum, sekalipun hal tersebut belum pasti melawan hukum yang berlaku.
Maka dari itu, sahnya pernikahan secara akad dan secara pencatatan itu penting agar perkawinan selain sah, juga dapat pengakuan dan dilindungi secara hukum. Akta nikah adalah bukti asli yang diperlukan dalam hal administratif serta legalitas secara hukum negara.
Masalah Nikah Sirri
H. Wildan Suyuti Mustofa membagi nikah sirri menjadi dua kategori, pertama adalah akad nikah yang dilakukan seorang pria dan wanita tanpa hadirnya wali si wanita, dan hanya ditambah dua orang saksi serta guru atau ulama yang akan menikahkan. Kedua adalah yang benar-benar memenuhi akad termasuk wali yang sah, tapi tidak dilakukan pencatatan sesuai Undang-Undang perkawinan.
A. Gani Abdullah menyebutkan ada tiga indikator untuk menilai sebuah pernikahan itu sirri atau bukan. Pertama, subjek hukum akad yaitu calon suami istri, dan wali nikah yang memang memiliki hak dan dua orang saksi. Kedua, apakah Pegawai Pencatat Nikah hadir pada akad nikah dilaksanakan, dan ketiga, walimatul 'arusy atau kondisi yang sengaja dibuat diantara calon suami istri sudah resmi menjadi suami istri. Maka dari itu, istilah perkawinan di bawah tangan tetap termasuk nikah sirri.
Jika dilihat dari aspek politis dan sosiologis, nikah sirri kategori kedua memiliki beberapa dampak, yaitu masyarakat muslim akan dianggap tidak begitu mempedulikan legalitas administratif dan tidak taat dalam bernegara, mudahnya ditemui perkawinan di bawah tangan, dan mudahnya terjadi hal-hal yang seharusnya bisa dilindungi hukum negara, dapat terjadi seenaknya karena tidak ada catatan legal.
Nikah Sirri dan Isbat Nikah
Isbat Nikah dapat diartikan sebagai permohonan pengesahanan pernikahan. Pada beberapa kasus, isbat pernikahan akan diperlukan, misalnya yang melakukan pernikahan sebelum diundangkannya UU Nomor 1 tahun 1974. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 7 Ayat (2) disebutkan bahwa jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, isbat dapat diajukan ke Pengadilan Agama, dan pengajuannya terbatas mengenai hal-hal tentang penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, keraguan akan sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, perkawinan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dan perkawinan yang dilakukan yan tidak punya halangan perkawinan menurut Undang-Undang.
Ketentuan-ketentuan dari KHI mengenai isbat nikah ada yang kontradiktif dengan ketentuan pada UU, maka jika mengacu pada doktrin ilmu hukum, ketentuan-ketentuan tersebut yang kontra dengan UU tidak dapat dijalankan.
Akibat Nikah Sirri
Pencatatan pada pernikahan memiliki tingkat urgensi yang tinggi, karena akan memberi pengaruh yuridis yang besar tentang keberadaan atau legalitas perkawinan tersebut. Konsekuensinya, perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan adalah sebagai berikut:
Dianggap tidak taat hukum, maka permohonan yang berkaitan dengan harta perkawinan akan sulit untuk diurus karena tidak adanya bukti legalitas atau pencatatan perkawinan
Tidak adanya konsekuensi hukum tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak suami dan pihak istri, hak dan kewajiban terhadap anak, dan tentu saja untuk mendapatkan hak-hak sipil di layanan publik.
Perkawinan Antar Agama
Dalam hukum keluarga di Indonesia, pernikahan ini disebut dengan pernikahan campuran. Jika mengacu pada Pasal 7 Ayat (2) GHR, perbedaan agama, bangsa, atau tanah asal bukanlah halangan perkawinan.
Setelah terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran berubah arti menjadi sebatas perbedaan kewarganegaraan saja, sekaligus mematikan ketentuan yang ada pada GHR tentang perkawinan beda agama, yang kemudian lebih ditegaskan oleh KHI pada Pasal 40 c dan Pasal 44, dimana pasa 40 c mengatur larangan perkawinan pria muslim dengan wanita nonmuslim. Pasal 44 mengatur sebaliknya. Yang artinya, pernikahan antar agama seperti ini tidak dapat dicatat di Capil maupun KUA, yang berarti tidak mendapatkan pengakuan dan dilindungi oleh hukum.
Nikah Hamil
Kompilasi Hukum Islam membuka kemungkinan untuk anak yang lahir akibat perkawinan hamil tetap termasuk ke kategori anak sah, karena itu KHI merumuskan suatu cara untuk menghindari adanya anak di luar kawin dengan ketentuan Pasal 53. Pasal ini menetapkan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah bisa dinikahi dengan laki-laki yang menghamilinya.
Adapun untuk laki-laki yang tidak menghamilinya, KHI tidak mengaturnya. Maka dari itu, penting untuk melihat pendapat para ulama. Untuk yang termasuk paling logis dan rasional adalah Imam Muhammad as-Syaibani bahwa sah-sah saja, tetapi tidak boleh melakukan hubungan badan sebelum anak lahir dan anak tersebut juga tidak memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang menikahi ibunya.
Bab Tiga -- Masalah Perceraian
Talak Tiga Sekaligus
Berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229, talak yang dapat dirujuk hanyalah dua kali, yang artinya talak dijatuhkan satu demi satu, jika ditinjau secara filosofis. Persoalan segi benar atau tidaknya penjatuhan talak, para ulama mengkategorikannya sebagai dua macam:
Talak sunni, talak yang sesuai ketentuan dan petunjuk dalam syari'at.
Talak bid'I, talak menyimpang dari tuntutan dan tidak diakui oleh syari'at.
Adapun talak tiga sekaligus juga dibagi beberapa pendapat:
Tidak berarti jatuh talak karena termasuk talak bid'i
Termasuk talak bain, maka tetap jatuh talak seperti pada QS al-Baqarah ayat 230.
Menurut ulama Zhahiriyyah mengkategorikannya sebagai talak satu dalam kategori talak sunni.
Menurut Ibnu Abbas, jika dijatuhkan ba'da dukhul maka jatuh talak tiga. Jika sebelum dukhul makan jatuh talak satu.
Menurut kesimpulan penulis adalah sebagai berikut:
Setelah berlakunya UU Perkawinan, talak tiga tidak menuruti aturan hukum, melanggar kehendak agama dan mengabaikan peraturan negara.
Pengadilam agama berwajib untuk tidak mengijinkan talak tiga sekaligus.
Jika dijatuhkan sekaligus, maka yang sah menurut hukum hanya satu talak.
Hakim wajib berijtihad untuk menhasilkan maslahat bagi keluarga dan pertumbuhan bangsa.
Perceraian Harus di Depan Sidang Pengadilan
Urgensi perceraian harus di depan sidang pengadilan jelas untuk jaminan akan hak-hak suami istri secara merata, bertimbal balik, dan disaksikan secara jelas serta usaha untuk meminimalisir kerugian masing-masing, juga untuk tercapai cata perceraian sebagaimana dikehendaki oleh QS al-Baqarah ayat 229. Sebelum tahun 1974, proses cerai ataupun talak masih berpedoman pada ketentuan pada kitab-kitab fikih klasik, yang lebih diskriminatif karena jadi hak penuh seorang suami, dan istri tidak memiliki banyak kesempatan untuk membela diri, maka perlu diingat kembali bahwa hukum bertugas untuk memastikan setiap orang mendapatkan hak dan kewajibannya, setiap sengketa apapun itu harus diselesaikan melalui proses hukum yang berlaku.
Bab Empat -- Masalah Poligami
Poligami Legal
Islam melaksanakan praktik poligami dengan berbagai perbaikan, dicantumkan dalam QS An-Nisa ayat 3, 24, 25 dan Sunnah. Perlu diingat bahwa asbabun nuzul dari ayat tentang poligami adalah sikap Ghilan yang ingin menikahi anak-anak yatim cantik dan kaya tanpa mahar. Ketentuan ini jelas berat dan menitikberatkan ke satu kata: adil.
Hukum perkawinan nasional di Indonesia cenderung menganut monogami, mengacu pada Pasal 3 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, tapi tetap memberikan kemungkinan untuk melakukan poligami dengan izin kepada pengadilan. Banyaknya ketentuan-ketentuan legalitas jelas menunjukkan bahwa persyaratan untuk melakukan poligami itu berat, karena selain berlaku adil, para istri juga harus setuju terlebih dahulu. Poligami tidak boleh lagi dipandang sebagai urusan pribadi untuk memuaskan keinginan individual belaka.
Poligami Liar
Poligami Liar tidaklah dilindungi oleh hukum jika dilihat dari Undang-Undang Pernikahan. Adapun yang termasuk dalam poligami liar adalah
Poligami dalam Masa Iddah
Poligami Akibat Berkhalwat (Mesum tanpa ikatan perkawinan)
Poligami Ilegal
Dalam Islam memang tidak ada persyaratan khusus selain perintah berlaku adiln untuk melakukan poligami, dan sifatnya masih terlalu umum. Maka dari itu pakar Hukum Islam di negara ini melakukan ijtihad yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta KHI.
Ketentuan-ketentuannya meliputi ijin kepada istri, wajib melakukan permohonan pada pengadilan di domisili tempat tinggal, pemenuhan kewajiban istri, kekurangan pada istri, dan jaminan keadilan serta sebab-sebab lainnya yang dirasa perlu sebelum melakukan poligami.
Jika ada suami yang melakukan poligami tidak tunduk pada ketentuan yang telah diatur, maka dianggap tidak patuh pada hukum yang adam dan tidak tercatat serta perkawinannya dianggap tidak ada. Kedudukannya sama dengan perkawinan sirri.
Bab Lima -- Sengketa Pemeliharaan Anak
Dalam istilah fikih, ini disebut sebagai hadhanah, yang artinya mengasuh anak kecil yang belum bisa mandiri dengan memenuhi kebutuhan hidup, menjaga dari marabahaya, memberikan pendidikan fisik dan mental, serta mengembangkan kemampuan kognitif untuk tanggungjawab kepada dirinya sendiri dan hidupnya kelak. Hadhanah ini difokuskan hanya untuk permasalahan setelah perpecahan sebuah keluarga.
Mengacu pada salah satu Hadis Abdillah ibn Umar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi tentang sebuah kisah seorang wanita yang mengadu ke Rasulullah saw, yang dijadikan para ulama sebagai dasar, kalau hak hadhanah kembali ke pihak ibu melalui skala prioritas. Maksudnya, jika sang ibu tidak memiliki kemampuan yang baik sebagai penjaga maka diarahkan ke kerabat dari pihak ibu, dan jika masih kurang kemampuan menjaganya juga, barulah jatuh ke pihak ayah dengan sifat skala prioritas yang sama.
Hal ini juga harus dipertimbangkan kembali kepada sifat dari pihak ayah maupun ibu, mana yang lebih baik untuk masa depan anaknya.
Anak Diasuh Ibu, Nafkah Tanggungan Bapak
Dalam ketentuan KHI, KHI jelas mengacu pada kekerabatan bilateral sesuai kehendak al-Qur'an. Diatur pada Pasal 105, yang mengutamakan prioritas utama kepada sang ibu sampai anaknya berusia 12 tahun, lalu anak akan memilih sendiri setelahnya. Adapun kewajiban menafkahi tetap berada pada ayahnya. Maka dari itu, kesempatan bagi ayah untuk bertemu juga harus tetap diberikan dan tidak boleh dihalang-halangi.
Sementara Mahkamah Agung RI mengutamakan anak dibawah umur 12 tahun sebaiknya pemeliharaannya diserahkan kepada orang terdekat, ayah ataupun ibunya. Hal ini juga perlu dicatat diadakan karena relevansi dengan zaman dan alasannya adalah untuk masa depan sang anak juga.
Bab Enam -- Kedudukan Hukum Anak Angkat
Hubungan Hukum Anak Angkat dengan Orang Tua Angkat
Mengacu pada QS Al-Ahzab ayat 4-5, ada empat prinsip yang perlu dicatat:
Pengangkatan seorang anak tidak memunculkan hubungan hukum apapun antara orang tua dan anak angkat tersebut kecuali memlihara, mengasuh dan memberikan kebutuhan demi kemaslahatan sang anak.
Hubungan hukum perdata orang tua kandung anak yang diangkat masih tetap ada dan tidak terputus.
Panggilan untuk anak adalah atas nama orangtua kandungnya.
Jika orangtua kandungnya tidak diketahui identitasnya, maka dipanggil sebagai saudara seagama.
Pengangkatan anak dalam Islam tidak dilarang, justru dianjurkan jika melihat dari prinsip solidaritas sosial yang mengutamakan rasa tulus untuk bertanggungjawab akan masa depan anak-anak yang tidak terpenuhi haknya. MUI sendiri mengeluarkan surat fatwa pada tahun 1982 yang kurang lebih berisi:
Adopsi dibolehkan jika untuk memelihara, memberikan bantuan dan hal-hal lain untuk kepentingan anak angkat tersebut.
Anak yang beragama Islam lebih baik diasuh oleh orangtua angkat yang beragama islam juga agar keislamannya tetap terjaga.
Adanya status sebagai anak angkat tidak memutuskan urusan perdata dengan orangtua kandungnya, dan tidak muncul hak waris kepada orangtua angkatnya. Maka dari itu, pemberian kepada anak angkat diarahkan berupah hibah saja, bukan warisan.
Pengangkatan anak dilarang untuk yang berbeda agama.
Pengangkatan Anak bagi Umat Islam, Kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyah
Perkara permohonan adopsi bagi muslim diajukan ke Pengadilan Agama, karena mereka berwenang mutlak memeriksa dan mengadili untuk masyarakat muslim dan diselesaikan menurut hukum Islam.
Wali Nikah Anak Angkat
Karena secara nasab, sang anak angkat tidak putus dengan orangtua kandungnya maka orangtua angkatnya tidak berwenang untuk menjadi wali. Dalam KHI, kasus ini biasanya akan menggunakan Wali Hakim jika orangtua kandungnya tidak ada atau wali yang seharusnya bisa menjadi wali tidak bisa mengikuti prosesi.
Hak Waris Anak Angkat
Staatsblad menyatakan bahwa anak angkat sama kedudukannya dengan anak kandung dan keperdataannya putus dengan orangtua kandungnya, maka ia berhak dapat warisan. Akan tetapi, tidak dengan ajaran Islam.
Ada empat hal yang menyebabkan seseorang bisa menjadi ahli waris:
Hubungan darah
Hubungan perkawinan
Hubungan wala' atau kedekatan karena memerdekakan budak
Hubungan sesama Islam, yang artinya jika tidak punya ahli waris maka harta warisannya diserahkan ke baitul mal.
Seperti yang tampak, anak angkat tidak termasuk sebagai pewaris. Akan tetapi, para ulama tetap mencari solusi, yaitu melalui jalan hibah atau wasiat, bukan warisan. Pada KHI Pasal 209, ketentuannya menghendaki tidak saling mewarisi akant tetapi saling mendapatkan wasiat wajibah, karena pada akhirnya anak angkat tidak mendapat status sebagai ahli waris.
Bab Tujuh -- Harta Bersama
Dasar Pemikiran Tentang Adanya Harta Bersama
Harta bersama tidak ditemukan aturannya dalam al-Qur'an maupun Hadits Nabi, juga pada kitab fikih klasik. Ini terjadi karena sistem kekeluargaan di Arab tidak menganut yang namanya harta bersama. Setidaknya ada dua pola pandangan tentang harta yang diperoleh dalam masa perkawinan.
Memisahkan hak milik suami istri, tidak ada harta bersama. Pencaharian suami adalah milik suami dan juga sebaliknya. Dalam ketentuan ini hak dan kewajiban dibagi atas persetujuan bersama.
Mencampurkan harta suami dan istri, yang mengandung akad syirkah atau kongsi. Semua harta yang diperoleh selama sudah menikah adalah harta bersama. Tidak peduli soal siapa yang lebih banyak pemasukannya. Ini termasuk Syirkah Muwafadhah.
Ruang Lingkup Harta Bersama
Pada Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama dan harta bawaan masing-masing adalah dibawah penguasaan masing-masing.
Diperjelas oleh M. Yahya Harahap bahwa harta yang dibeli selama perkawinan adalah milik bersama, kecuali uang pembeli barangnya berasal dari hasil penjualan barang bawaan masing-masing sebelum perkawinan.
Pada Pasal 86 dan 87 KHI diatur, bahwa tidak ada percampuran harta suami maupun istri dalam perkawinan, yang artinya harta bawaan masing-masing tidaklah secara langsung menjadi harta bersama.
Melakukan Transaksi Terhadap Harta Bersama Harus Atas Persetujuan Bersama Suami Istri
Jika mengacu pada UU Perkawinan, maka tidak boleh menjual harta bersama tanpa persetujuan bersama dari pihak suami dan istri, termasuk menyewakan, menggadaikan, menghibahkan, dan mengagunkan ke bank juga demiikian. Jika transaksi dilakukan, hal tersebut boleh dibatalkan atau ke pengadilan.
Adapun soal hutang piutang, mengacu pada pasal 93 KHI maka pertanggungjawaban hutang suami atau istri ada pada harta masing-masing, jika kepentungan keluarga maka tanggungjawab bersama, dan jika tidak mencukupi dibebankan kepada suami serta jika tidak bisa, maka dibebankan pada istri.
Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami
Hal ini cukup pelik dan rumit. Jika melihat pada pasal 94 KHI, maka harta bersama terpisah dan berdiri sendiri, mulai dihitung dari saat berlangsungnya pernikahan setelah pernikahan pertama. Mahkamah Agung kemudian memperkuat untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak istri yang pertama atau yang terdahulu oleh suami. Mahkamah Agung berkehendak pemisahan yang tegas antara harta bersama jika suami akan melakukan poligami, agar tidak ada percampuran harta dengan istri pertama dan seterusnya.
Kasus Lainnya
1. Harta Bersama Dijadikan Agunan Kredit Bank
Pasal 93 KHI mengatur bahwa harta bersama yang bersivat passiva dibebankan pada harta bersama untuk pelunasan. Jika tidak cukup, maka dibebankan ke suami dan diteruskan ke istri jika masih tidak cukup. Masalah ini juga akan dikembalikan ke pengadilan mana yang lebih kompeten, apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
2. Kredit yang Belum Lunas Pembayarannya
Tindakan ini termasuk ke perbuatan berhutang terutama kepada benda kepentingan rumah tangga. Penyelesaiannya harus kembali mengacu kepada KHI Pasal 93 ayat (2), (3) dan (4).
3. Uang Santunan Akibat Kecelakaan Salah Satu Pihak.
Salah satu kasus yang jadi contoh dalam buku ini menjelaskan bahwa uang santunan salah satunya tidak dianggap sebagai harta bersama dan tidak termasuk harta warisan, tapi termasuk hibah.
4. Harta Bersama dan Harta Warisan
Apabila seorang suami atau istri meninggal dunia, maka harta bersamanya dibagi dua. Seperdua untuk pewaris dan seperdua untuk pasangan yang hidup terlama. Pembagian harta bersama menjadi dua bagian haruslah dilakukan sebelum pembagian warisan karena bagaimanapun itu, hartanya tetaplah harta bersama.
Istri yang Nusyuz Tidak Terhalang atas Harta Bersama
Nusyuz adalah tindakan diluar kepatutan yang berarti tidak melaksanakan kewajiban sebagai peran di rumah tangga. Pada suami dapat berarti meninggalkan istri, tidak memberi nafkah, dan lain-lain sedangkan pada istri dapat berarti pergi tanpa ijin, mencaci maki dan sebagainya. Jika melihat KHI, kewajiban suami gugur jika istri berbuat nusyuz.
Pada Pasal 34 Ayat (1) UU Perkawinan menegaskan bahwa tanggungjawab memenuhi kebutuhan rumah tangga adalah suami. Akan tetapi ketika keduanya memiliki usaha maka hasilnya adalah harta bersama. Perlu dicatat bahwa nusyuz dan gagal dalam melakukan usaha itu berbeda. Nusyuz cenderung ke kelalaian secara sengaja.
Conclusion
Kesimpulan yang dapat dicapai dalam merangkum buku Hukum Perkawinan Di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial karya Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H. adalah bagaimana hukum perkawinan di Indonesia memiliki banyak problema yang kemudian dapat diselesaikan melalui beberapa perspektif. Dimulai dari dasar hukum agama dan negara, ijtihad, dan kemudian beberapa aturan seperti KHI dan UU Perkawinan, serta melihat contoh dari beberapa kasus yang sudah diamati langsung oleh penulis buku ini. Banyaknya masalah perkawinan juga dapat ditampilkan di buku ini dan banyak juga cara menyelesaikan kasus jika konteksnya berbeda sedikit saja.
Bibliography
Mk, M. Anshary. (2010). Hukum perkawinan di Indonesia: masalah-masalah krusial..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H