Sebagian dari kita tentu sudah mendengar hingar-bingar ambruknya dua bank besar di Amerika Serikat (AS) yaitu Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank. Hanya dalam waktu dua-tiga hari bank yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun tersebut bangkrut. Selang beberapa hari kemudian salah satu bank raksasa berskala global yaitu Credit Suisse mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan, hingga berujung diakuisisi oleh Union Bank of Switzerland (UBS). Banyak yang bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi?
Permasalahan bank di AS saat ini dipandang cukup pelik, karena merupakan side-effect dari kebijakan suku bunga tinggi yang dijalankan oleh The Federal Reserve. Sejak awal tahun 2022, bank sentral AS mengerek suku bunga acuan secara agresif dari 0,25% hingga kini telah mencapai 4,75%. Kebijakan tersebut dilakukan The Fed untuk menangkal inflasi di AS yang meroket hingga 9,1% pada Juni, meski kini sudah melandai ke level 6%.
Secara logika ekonomi, inflasi terjadi ketika uang beredar di masyarakat terlalu banyak (over demand) dibanding suplai produk yang tersedia. Oleh karena itu pemerintah AS berusaha menarik "pulang" US dollar agar harga-harga tidak terus membumbung tinggi. Tentu realitanya tidak sesederhana itu, karena inflasi global ini turut disebabkan melemahnya pasokan barang karena dampak pandemi dan perang Rusia - Ukraina. Jika barangnya sedikit, uang yang tersedia dikurangi maka harga-harga juga akan tetap tinggi bukan?
Di saat para ekonom dan pengusaha sedang bergulat menjinakkan inflasi, efek samping suku bunga tinggi ini membuat sektor perbankan serba salah. Perlu diingat sejak pandemi di tahun 2020, suku bunga acuan di AS hampir menyentuh 0%, sehingga saat itu bank membeli surat berharga pemerintah atau US  treasury bond dengan kupon yang rendah. Ketika tiba-tiba suku bunga melesat, harga US treasury bond yang kuponnya rendah tentu jatuh di pasar sekunder. Secara logika sederhana, pelaku pasar akan lebih tertarik membeli US treasury bond yang kuponnya lebih tinggi dibanding kupon yang rendah.
Pada kasus SVB, bank yang identik dengan sektor digital tersebut cenderung terlalu banyak mengoleksi US treasury bond yang kuponnya rendah. Ketika terjadi penarikan dana cukup besar karena banyak startup dan venture capital yang membutuhkan dana, SVB harus "menjual rugi" bond-nya.Â
Didorong kepanikan para nasabah, SVB tidak lagi mempunyai kas untuk memenuhi penarikan dana (bank run). Terlebih lagi setelah pemeriksaan lebih lanjut, diidentifikasi SVB memiliki manajemen dan pengelolaan bisnis yang buruk. Jadilah bank terbesar ke-16 di AS ini ditutup dan operasionalnya diambil alih oleh pemerintah AS, dalam hal ini Federal Deposit Insurance Corporation (LPS-nya AS) untuk mencegah kekacauan meluas.
Meskipun sudah diambil alih oleh pemerintah AS dengan didirikannya Deposit Insurance National Bank (DINB) of Santa Clara yang memastikan dana nasabah seluruhnya bisa diakses, efek turunnya kepercayaan nasabah pada perbankan menyeret bank lain yaitu Signature Bank dan First Repulic Bank.Â
Sebagai gambaran, SVB ini memiliki aset sekitar USD 211 miliar, itu hampir dua kali lipat total aset Bank Mandiri yang sebesar USD 127 miliar. Well, tidak heran masyarakat AS dan seluruh dunia cukup terkejut dengan ambruknya SVB, apalagi hanya dalam waktu sekitar dua hari saja.
Bisnis Kepercayaan