Kehidupan di tanah rantauan yang terkadang penuh dengan tekanan dan kesulitan mendorong adanya sebuah kerinduan akan kampung halaman. Tembang jawa bisa menjadi salah satu obat kerinduan bagi beberapa orang.
Senada dengan petikan lirik Mendung Tanpo Udan ini,
Awak dewe tau nduwe bayangan (Kita punya harapan)
Besok yen wes wayah omah-omahan (Besok jika sudah waktunya berumah tangga)
Aku moco koran sarungan (Aku baca koran pakai sarung)
Kowe blonjo dasteran (Kamu belanja pakai daster)
Hidup damai dengan kesederhanaan menjadi angan-angan "minimum" bagi hampir semua orang daerah yang merantau. Tidak perlu rumah mewah atau mobil mahal, bisa duduk santai sambil membaca koran dengan outfit sarungan, sudah menjadi sebuah kenikmatan.
Sangat kontras dengan tren kehidupan kaum urban saat ini, dimana gaya hidup banyak diukur dari penampilan dan media sosial.
Banyak dari kita yang tidak sadar terbawa arus deras modernitas. Gadget canggih, outfit keren, hingga kopi kekinian seperti menjadi halusinasi standar minimum bertahan hidup di perkotaan.
Masih hangat sindiran satir yang beredar di media sosial tentang lanyard Coach dan flatshoes Tory Burch yang populer dipakai pegawai kantoran di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD).
Padahal, manusia hidup kan sejatinya hanya perlu makan, dan tentu saja perlu bahagia, sebuah kata yang mungkin abstrak bagi sebagian orang.
Setiap orang pasti punya cara bahagianya masing-masing. Kebebasan dalam menentukan definisi bahagia versi diri sendiri adalah sebuah privilege sebagai manusia yang terkadang lupa kita syukuri.
Ada yang merasa bahagia jika bisa tampil classy dan fancy.