Milenial, kaum muda yang identik dengan gadget canggih, media sosial, dan highly educated. Tidak banyak yang menyadari bahwa di Indonesia, milenial tidak seindah yang kita bayangkan.
Menurut penelitian Wittgenstein Center for Demography and Global Human Capital, hanya 14,4 persen generasi milenial di Indonesia yang memiliki pendidikan hingga perguruan tinggi.
Lalu data dari BPS tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan milenial di Indonesia sekitar Rp2 s.d. 2,3 juta. Dari kondisi tersebut, kita bisa berkaca bahwa milenial di Indonesia masih dalam kondisi yang bisa dibilang pas-pasan.
Mungkin hanya sebagian kecil dari kita yang bisa menikmati gaya hidup latte sipping dan tech savvy.
Di sekitar kita, nyatanya banyak milenial yang tidak memiliki privileged untuk mengakses pendidikan yang layak, meningkatkan keterampilan, hingga mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar generasi muda ini hidup dengan kondisi "yang penting bisa beli pulsa dan makan".
Industrialisasi
Selama ini milenial selalu menarik perhatian media dengan inovasi yang menarik dan gaya hidup eksentrik. Namun realitanya masih banyak generasi milenial yang harus ekstra keras dalam bekerja.
Berdasarkan data BPS, sekitar 20% milenial merupakan blue collar workers, seperti pekerja (kuli) konstruksi, buruh pabrik, petugas kebersihan. Sedangkan 25% lainnya bekerja di sektor pemasaran dan jasa.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu, negara-negara industrialis seperti Korea Selatan, misalnya, sangat menikmati bonus demografi di era 1980-an.
Banyaknya angkatan muda dengan cepat diserap oleh industrialisasi dan penyerapan teknologi. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang, Korea Selatan mampu menjadi salah satu raksasa industri di dunia.
Di Indonesia, sayangnya gelombang milenial ini tidak memiliki iklim industri yang sama. Beberapa ekonom bahkan menyebut Indonesia terancam memasuki premature deindustrialization, dimana dunia industri memasuki titik stagnan sehingga pemuda-pemuda produktif tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.
Pemerintah, di sisi lain, sepertinya melihat kondisi ini lalu mati-matian berusaha menggenjot industri dengan proyek-proyek infrastruktur dan menggalang pabrik manufaktur. Ditambah upaya meningkatkan skill milenial melalui program kartu pra-kerja, bahkan hingga mengangkat staf khusus milenial.