Beberapa minggu terakhir, masyarakat global dihebohkan dengan rencana Saudi Arabian Oil Company (Aramco) yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam waktu dekat. Korporasi minyak milik negara Arab Saudi ini mengumumkan bahwa mereka berencana menjual 1,5% saham perusahaan di Desember 2019.
Perkiraan dana yang diperoleh dari IPO Aramco mencapai US$ 25,6 miliar atau Rp258,4 triliun, berpotensi memecahkan rekor IPO dunia ketika Alibaba melantai di bursa New York pada tahun 2014 yang meraup US$25 miliar.
Aramco adalah perusahaan minyak kebanggan Arab Saudi yang telah berdiri sejak 1988 dan menjadi tonggak utama perekonomian negara. Bisa dibayangkan total kapitalisasi pasar korporasi  tersebut, jika 1,5% nya saja Rp258,4 triliun maka nilai kapitalisasi raksasa minyak timur tengah itu kurang lebih Rp25.840 triliun (US$ 1,7 triliun), menyebutkan angkanya saja susah bukan.
Sebagai perbandingan, saingan terdekat Aramco adalah Exxon Mobil yang memiliki kapitalisasi pasar sekitar US$ 300 miliar dan Chevron yang bernilai US$ 229 miliar.
Lantas, mengapa Aramco harus melakukan IPO?
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, yang kini memegang kendali di Kerajaan ingin merombak struktur ekonomi negara dari ketergantungan terhadap harga minyak. Mengutip Reuters, pada tahun 2018, defisit anggaran Saudi sekitar US$ 36 miliar, dan diperkirakan melebar hingga US$ 50 miliar pada 2020.
Apakah tujuan Kerajaan Saudi hanya untuk memperoleh dana segar dan menutup defisit anggaran negara? sepertinya tidak sesederhana itu.
Sejak memegang kendali Kerajaan, Putra Mahkota menggaungkan program Vision 2030, sebuah rencana diversifikasi ekonomi melalui pengurangan ketergantungan dari minyak, dan pengembangan sektor teknologi, infrastruktur, dan pariwisata.
Saudi Vision 2030 sejatinya telah dicanangkan sejak 2016, termasuk rencana IPO Aramco, namun sempat menguap cukup lama karena kasus besar yang terjadi di tahun 2018 yaitu pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khassogi, dan penyerangan drone di kawasan minyak Aramco pada tahun 2019 lalu. Dampaknya, arus modal dan investasi di Arab Saudi tersendat, baru di akhir 2019 ini Kerajaan kembali menggaungkan Visi tersebut saat pasar modal sudah relatif stabil.