Seminggu kemudian di awal bulan November 2021 pukul sepuluh pagi, aku sedang mengadakan rapat dengan para jajaran direksi di kantor saat sebuah ledakan dahsyat terdengar di luar gedung. Dengan segera, aku meminta mereka semua untuk turun ke bawah. Aku juga memerintahkan seluruh karyawanku tetap tenang lalu bersama istriku yang senantiasa mendampingiku, kami segera berlari menuju luar kantor. Para sekuriti berlarian mendekatiku. "Ledakan asalnya dari RS Medika Permata Hijau, Pak Roni." kata salah seorang sekuriti dengan muka pucat.
"Jaga kantor ya. Kami akan ke sana." kataku pada para sekuriti sambil menggandeng istriku lalu berjalan cepat menyusuri Jalan Kebayoran Lama.
Orang-orang berlarian menjauhi RS Medika Permata Hijau yang jaraknya sekitar seratus lima puluh meter di seberang jalan, sementara belasan mobil dan motor berhenti di jalan. Kepulan asap berwarna hijau limau membuat kami kaget, apalagi kemudian terdengar suara tawa menggelegar sehingga membuat para pengendara mobil dan pemotor berlomba-lomba lari menjauh karena takut.
"Ada TERORIS, Pak!" jerit salah satu pengemudi mobil, seorang wanita muda ekspatriat dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih, berupaya menarik kerah bajuku supaya ikut berlari menjauh.
"Lari saja. Biar kami hadapi." begitu kata istriku berupaya menenangkan sang ekspatriat.
Begitu semua orang berlarian menyelamatkan diri dan suasana mendadak sepi, apalagi dengan sejumlah mobil dan motor yang berhenti karena ditinggalkan pemiliknya, suara tawa menggelegar itu berhenti, terus asap hijau mendadak hilang, berganti dengan sosok tubuh misterius berjubah serba hijau dengan muka tertutup topeng, tampaknya topeng itu berasal dari stoking, terus topi lebar, sarung tangan tebal, serta sepatu bot, semuanya berwarna hijau. Dia memainkan nunchaku dengan begitu lihai.
"Kita bertemu lagi, Bapak Roni." kata si topeng hijau itu dengan suara bariton. "Tentu Pak Roni tahu siapa aku."
"Kau hanya perlu mengincarku, tak perlu mengorbankan orang lain yang tak bersalah."
"Masalahnya, Bapak Roni," suara si topeng hijau itu agak lunak sekarang. "Semua orang itu bersalah, jadi sah-sah saja jika mereka jadi korban. Paham itu, Bapak Roni?"
"Kau bukan Bapakku." balasku tegas. "Copot topengmu!"
"Ini permainan Giallo, Bapak Roni." si topeng hijau kembali tertawa menggelegar. "Tahu tidak apa itu Giallo, Bapak Roni?"