LIMA
Hari Selasa pagi tanggal 26 Oktober 2021, tepat pukul setengah sebelas di kantorku Indira Jaya Perkasa, penerbit buku nomor satu tanah air, setidaknya begitulah aku optimis. Sebagai pimpinan tertinggi perusahaan, bos besar demikian sebutan dari semua orang, aku bebas melakukan apa saja yang aku mau tentunya, tapi aku tetap memakai pakaian standar kantor yang sopan dan rapi. Selain bekerja memantau semua pekerjaan, pasti aku menyempatkan diri membaca buku. Nah, buku yang tengah kubaca ini adalah To Kill A Mockingbird karya Harper Lee, kiriman dari Bos Besar Penguin di London sana. Memang aku lebih menyukai membaca karya asli daripada karya terjemahannya. Mungkin hal itu berkaitan dengan kemampuan poliglot yang aku punya. Aku menguasai tujuh bahasa asing selain Bahasa Indonesia tentu saja. Salah satu bahasa asing yang aku kuasai bahkan sejak aku kecil adalah Bahasa Prancis karena almarhumah ibuku Desi Sitoresmi alias Daisy Sylvain Barthez merupakan orang Prancis asli dari kota Nice.
Masih PPKM level dua sehingga aku tetap memakai masker. Begitu asyiknya membaca perjuangan sang penegak hukum tangguh Atticus Finch sampai aku tidak menyadari ada ketukan di pintu. Aku meletakkan buku di mejaku lalu berkata tegas. "Masuk!"
Sekretarisku Mila Hanita anggun melangkah mendekati mejaku lalu berkata dengan lembut dan sopan. "Selamat pagi, Pak Roni. Ada tamu untuk Bapak."
"Setahuku tidak ada janji apapun hari ini, Mila."
"Betul, Pak. Namun tamu ini meminta dengan sangat untuk bertemu Bapak. Nama beliau Martin Garoni, manajer utama Hotel Micronium."
Mendengar nama hotel itu, aku segera mengangguk. "Bawa dia masuk, Mila."
"Siap sedia, Pak Roni."
Dua menit kemudian, Martin Garoni masuk ke ruanganku. Wajahnya yang klimis bersih mengingatkanku pada Francesco Toldo, mantan kiper tim nasional Italia di Piala Eropa 2000. Tinggi Martin sekitar 196 sentimeter kalau tidak salah, dengan berat badan yang kupikir proporsional. Tegap dan atletis, begitulah Martin. Dia berpakaian sopan dan rapi, memakai jas dan celana panjang dengan warna senada yaitu khaki. Sepatu coklatnya tampak berkilat.
"Buongiorno, Signor." kataku menyapa Martin dengan bahasa Italia yang juga kukuasai. "Selamat pagi, Pak Martin."
"Mi Scusi, Bapak ... Roni ... Werkudoro." Martin tampak salah tingkah menatapku. Dia membawa tas plastik besar warna putih. "Saya bisa bahasa."