"Suara apa itu, Kangmas?" tanya istriku khawatir.
"Mari kita selidiki." kataku sambil berjalan cepat menuju lemari. "Kau bersantai dulu saja di sofa, Diajeng."
Pintu lemari pakaian yang jaraknya hanya tiga meter dariku mendadak terbuka lebar. Aku menghentikan langkahku, sementara istriku berdiri siaga.
Si Jubah Hitam keluar dari lemari sambil tertawa meremehkan, lalu berkacak pinggang. "Datang juga kau berdua!" suaranya menggelegar menakutkan mirip Darth Vader, meskipun dari penampilan mirip dengan sang pembunuh dari film-film giallo Italia karya Mario Bava dan Dario Argento. "Kau berdua takkan keluar dari sini hidup-hidup! Calon korbanku ke-101 dan 102!"
"Calon korban?" tanyaku tidak paham sementara kedua kepalan tanganku mengeras siap bertarung apapun yang terjadi.
"Kau berdua mau kubunuh sekarang atau nanti?" Si Jubah Hitam memberikan penawaran sambil tertawa lagi. "Jangan harap bisa kabur. Hotel ini milikku. Semua karyawanku di sini siap membantuku menghabisi kau berdua."
"Aku hanya tidak paham dengan angka yang kau sebutkan tadi. 101 dan 102?"
"Kau berdua semestinya mendengarkan ceramahku dulu sebelum kubunuh ya? Sebuah pengecualian yang manis rupanya. Silahkan duduk dulu di sofa kalau begitu. Istrimu itu cantik juga rupanya."
"Tidak perlu memuji istriku." Aku memberi isyarat kepada istriku supaya duduk di sofa, sementara aku berjalan menyusulnya.
Setelah kami berdua duduk di sofa, Si Jubah Hitam duduk bersila di hadapan kami. Jarak kami bertiga kini sekitar lima meter. Sekali lagi Si Jubah Hitam tertawa sambil menepuk-nepuk lantai. "Ini isyarat bagi seluruh karyawanku agar mereka bersiaga sepenuhnya. Sekali lagi kutegaskan bahwa kau berdua takkan bisa kabur. Tidak bosan-bosannya aku berkata begitu. Seratus orang korbanku sebelumnya juga kubunuh seluruhnya di tempat ini. Paham?"
Aku dan istriku menggeleng pelan. Kami seperti terhipnotis omongan Si Jubah Hitam. Jadi begini rasanya tidak berdaya. Baru kali ini kami merasakan hal yang seperti ini semenjak pandemi Covid-19 melanda awal tahun 2020 lalu.