TIGA
Rekan Jean-Paul bernama Timothy Suroso mengantarkan kami ke kamar Super VIP sambil mengatakan kepada kami supaya tidak khawatir tentang kualitasnya. "Kalau namanya super itu memang super, Bapak dan Ibu."
"Mas, kami hanya menginap sehari semalam saja lho ya." kataku sambil mengedipkan mata kepada istriku yang cemberut menatapku.
"Yang penting bayarannya, Pak." kata Timothy sambil menjentikkan jari. "Kita sudah sampai di kamar Super VIP."
"Terima kasih, Mas." kataku sambil tersenyum pada Timothy yang langsung menyerahkan kartu putih pipih warna jingga kepadaku.
"Selamat menikmati, Bapak dan Ibu. Kalau butuh bantuan, tinggal hubungi Timothy."
Setelah memasuki kamar Super VIP yang AC-nya menyala cukup dingin, istriku langsung melakukan pengecekan pada kamar mandi, sementara aku hanya ternganga sambil menatap lampu lilin penuh gemerlap di tengah langit-langit yang jauh tinggi sekali di atas. Seluruh ruangan warnanya jingga hingga aku memutuskan untuk mengucek mata. Untung aku ingat, cuci tangan dulu dong, Corona masih ada soalnya, meskipun aku yakin kalau Corona ada di depanku pasti akan kubuat mampus. Selain itu ruangan ini wangi sekali dengan bau apel segar. Harum dan wangi pokoknya kayak pelangi. Kenapa aku jadi melantur begini? Bagaimana dengan Om Kaftan? Aku melepaskan maskerku, demikian pula istriku berbuat serupa.
"Kamar mandi empat jempol, Kangmas." Istriku memelukku erat. "Kangmas tidak bilang mau menginap di sini tadi."
"Kejutan untukmu, Diajeng." kataku sambil mengecup bibirnya lembut. "Kita mau kerja ini dan bukan senang-senang."
"Aku tahu, Kangmas."
Tiba-tiba suara denging itu datang, begitu tinggi, begitu mencabik-cabik telinga kami. Suara denging itu berasal dari ... lemari pakaian warna pink yang berada jauh di sudut ruangan sebelah kiri.