Mohon tunggu...
septiambar
septiambar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja Sosial

Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragis: Cerita Yuyun, Feby dan Ibu Dosen (Tamparan untuk Dunia Pendidikan Indonesia)

3 Mei 2016   23:53 Diperbarui: 3 Mei 2016   23:56 4152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tragisnya pelaku setelah menghabisi nyawa Feby masih dengan santainya masuk kerja seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan teman sekerjanya pun beberapa kali ketemu dengan pelaku mengaku jika tidak ada hal yang mencurigakan terlihat. Hanya teman kerjanya itu bercerita kalo si pelaku itu berpesan untuk tidak membuka toilet yang ada jasad Feby didalamnya. Mengerikan seperrti berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin.

Pukulan berikutnya untuk dunia pendidikan kita, kasus Feby ini terjadi di dalam lembaga pendidikan. sebuah perguruan tinggi yang secara kualitas tergolong baik dan mumpuni. Bukan salah perguruan tingginya, tetapi salah dari sistem pendidikannya kenapa hanya karena kepepet tidak punya uang pelaku tega dan sangat sadis menghabisi nyawa korban hanya untuk mengambil barang milik korban. Coba kita urai, bagaimana sistem pendidikan kita?? Bandingkan dengan sistem pendidikan di negara lain. 

Saya soroti untuk pendidikan anak usia dini, dinegara lain seperti finlandia, jepang, irlandia, Singapura, Australia usia dini dijadikan sebagai fase untuk mendidik moral dan tingkah laku serta kebiasaan anak-anak. Mereka membentuk karakter sejak dini, sistem pendidikan di beberapa negara tersebut juga bisa mengakomodasi dan mengimplementasikan dengan baik dalam menanamkan karakter bagi anak-anak. Kurikulum banyak yang mengcover dan fokus pada tataran pembentukan perilaku, kebiasaan, serta kedisiplinan dalam berkehidupan. 

Mereka tidak menuntut anak untuk pandai menghitung, menulis, atau menguasai ilmu tertentu, tetapi mereka sungguh-sungguh dididik untuk menjadi generasi yang berbudaya dan berkarakter. Berbeda dengan kita sedari dini kita ketakutan saat anak kita tidak bisa baca dan tulis tetapi kita tidak takut dengan perkembangan kejiwaannya. Tuntutan kurikulum dan sistem pendidikan kita rasa-rasanya terlalu mempush otak anak, sehingga memberi dampak buruk untuk perkembagan jiwanya, banyak orang pintar secara keilmuan tetapi sangat sedikit yang mumpuni dalam akhlak dan perilaku baik.

Cerita Ibu Dosen Dan Mahasiswanya

Dosen dibunuh mahasiswanya karena dendam pribadi. Kasus ini terjadi hampir bersamaan waktunya dengan dua cerita di atas. Seorang dosen dari kampus wilayah Medan harus meregang nyawa di tempat kerjanya dengan cara dibunuh. Pelaku tak lain bukan adalah mahasiswanya sendiri yang baru berusia sekitar 20an tahun. Sadisnya lagi pembunuhan ini sudah direncanakan pelaku terbukti dari hasil keterangan polisi bahwa pelaku sudah menyiapkan pisau dari rumah untuk menghabisi nyawa korban. Bukan hanya itu saja waktu kejadiannya pun pelaku sudah mempersiapkan dengan matang, dimana pelaku menunggu korban dari toilet segera setelah korban keluar pelaku menyerangnya dengan membabi buta sampai korban kehabisan darah. Menurut berita yang beredar setelah tim medis mengotopsi korban terdapat 10 luka tusukan hingga mengakibatkan korban banyak kehilangan darah dan meninggal.

Mengerikan sekali bukan? Hubungan dosen dan mahasiswa seharusnya adalah hubungan yang baik dan saling memberi. Dosen adalah pendidik, dosen adalah guru bagi mahasiswa, dosen juga bisa berperan sebagai orang tua untuk anak didiknya. Menjadi tidak masuk akal ketika dalam kasus ini mahasiswa yang notabene adalah anak didik berani dan nekad melakukan tindakan yang brutal, menyerang dosen yang seharusnya dihormatinya. Pun penyerangan yang dilakukan terjadi di kampus sebgai tempat belajar bagi mahasiswa.

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Kasus terakhir ini sangat memprihatinkan dari korban, pelaku dan tempat kejadian semuanya dalam satu lingkup pendidikan. Kampus sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran seharusnya menjadi lingkungan yang nyaman dan aman untuk belajar. hubungan antar warga kampus pun seharusnya lebih baik dan mendidik. Berkaca dari kasus ini kita bisa menyimpulkan bahwa perilaku masyarakat Indonesia sudah mulai bergeser dari yang menjunjung tinggi budaya ketimuran sekarang menjadi budaya anarkis dan kejam. tidak terkecuali fenomena ini menjangkiti para pelaku pendidikan.

Ketiga cerita memberikan tamparan keras untuk Indonesia, ditengah hangatnya peringatan hari pendidikan kita harus menelan pil pahit dengan rentetan kejadian yang memprihatinkan khususnya untuk dunia pendidikan. Semua terjadi seolah menegur para pimpinan untuk lebih fokus dan peduli terhadap nasib bangsa ini. Pendidikan kita sedang butuh buaian, butuh pelukan dan butuh formula tepat untuk mengobati bobroknya produk pendidikan sekarang. Pendidikan bukan semata-mata tentang pembelajaran di kelas, tetapi pendidikan adalah tentang perbaikan pola tingkah laku masyarakatnya untuk menjadi masyarakat yang berpendidikan, berkarakter, berakhlak, religius, berperikemanusiaan dan menjunjung nilai-nilai kebaikan.

Mari berdoa dan berusaha untuk Indonesia

Salam hangat

Septi Ambar

Pendidik Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun