Bangsa yang besar adalah bangsa yang berpendidikan, keberhasilan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa majunya pendidikan bangsa tersebut. Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai gerak hidup suatu bangsa.
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Tak heran jika Indonesia sebagai salah satu negara yang besar di dunia, mulai menerapkan ujian akhir nasional atau yang lebih dikenal dengan UAN dalam kurun 5 tahun belakangan ini. Dalam UAN tersebut pemerintah selalu menentukan standard kelulusan yang harus dicapai oleh para peserta didik di sekolah menengah. Tentu saja dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa, agar bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya.
Seharusnya sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan berperan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sistematis oleh karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap bersinambungan (prosedural) dan sitemik oleh karena berlangsung dalam semua situasi kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan ramah, sekolah, dan masyarakat).
Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa oleh mereka yang sudah dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa atau usaha sendiri. Bagi mereka yang sudah dewasa tetap dituntut adanya pengembangan diri agar kualitas kepribadian meningkat serempak dengan meningkatnya tantangan hidup yang selalu berubah. Dalam hubungan ini dikenal apa yang disebut pendidikan sepanjang hidup. Pembentukan pribadi mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotor) yang sejalan dengan pengembangan fisik.
Anehnya dalam proses ujian akhir yang diselenggarakan pemerintah tersebut selalu terdapat kecurangan-kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah baik di pusat maupun daerah. Kecurangan tersebut mulai dari bocornya soal sebelum hari pelaksanaan ujian, sampai ulah guru yang sengaja memberikan kunci jawaban kepada murid-muridnya. Hal ini sering mewarnai di saat berlangsungnya ujian tersebut. Kecurangan tersebut dilakukan oleh beberapa oknum guru dikarenakan ketidaksiapan para guru dalam menghadapi ujian tersebut, takut para siswanya tidak berhasil atau lulus dalam ujian tersebut.
Akhir-akhir ini kecurangan seolah-olah dilakukan oleh pemerintah, bagaimana tidak banyak nilai-nilai yang tidak muncul dalam pengumuman kelulusan siswa. Dengan berbagai alasan yang dipaparkan.
Belum lagi kebiasaan menyontek yang timbul dikalangan para pelajar atau peserta didik kita dalam menghadapi setiap tugas maupun ujian yang diberikan oleh para gurunya. Celakanya hal ini seperti membudaya dalam dunia pendidikan kita, bahkan ada yang berpendapat bahwa menyontek itu sah-sah aja. Yang terpenting nilai yang dicapai bisa sangat memuaskan. Ironi memang ketika yang menjadi acuan adalah hasil yang mana proses yang ditempuh tidak baik. Padahal dalam ajaran agama perbuatan menyontek itu adalah perbuatan curang dan hukumya adalah dosa. Kebiasaan menyontek ini tak berhenti samapi disitu saja, karena hingga duduk di bangku perkuliahan ternyata kebiasaan ini semakin merajalela. Bagi sebagian besar orang perbuatan ini dianggap biasa-biasa saja, terbukti dengan tidak adanya pengawasan atau hukuman yang berarti buat para penyontek tersebut.
Dari sini dapat dilihat pendidikan Indonesia belum mampu membentuk kepribadian yang baik bagi pendidik maupun peserta didik itu sendiri. Perlunya pembangunan mental dan moral dalam dunia pendidikan kita sangat penting dalam proses peningkatan kualitas mutu pendidikan kita. Apasih arti sebuah nilai yang baik jika cara utuk memperolehnya tidak baik? Seharusnya pemerintah kita juga mengawasi proses kegiatan belajar mengajar disekolah, dan mengantisipasi bagaimana agar kecurangan-kecurangan yang membudaya itu tidak terjadi lagi. Baik di pihak sang pendidik maupun peserta didik. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap UAN itu sendiri, apa perlu diteruskan atau tidak. Karena keberadaan UAN itu sendiri dilihat dari tujuan pendidikan sangat tidak sesuai. UAN hanya menilai kemampuan siswa melalui ranah kognitif saja, sedangakan afektif dan psikomotor tidak. Dan kualitas lulusan yang dihasilkan masih meragukan.
Masyarakat masa depan dengan ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kesempatan menerima arus informasi yang padat dan cepat, dan sebagainya, tentulah memerlukan warga yang mau dan mampu menghadapi segala permasalahan serta siap meneyesuaikan diri dengan situasi baru tersebut. Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Keberhasilan antisipasi masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia yang dihasilkan oleh pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H