Putih, hanya putih yang terlihat mendominasi warna pada tiap lorong bangunan ini. Dinding, lantai dan pintu, semua berwarna putih dengan kaca-kaca bening pada tiap jendelanya. Bersih, kesan itulah yang didapatkan saat melihat keadaan dari tiap kamar yang ada di lorong-lorong bangunan ini.
Selain kamar, para pegawai tempat ini juga memakai pakaian serba putih berlalu lalang melewati lorong bersama dengan orang-orang lainnya. Senyum terlukis pada wajah mereka kepada tiap orang yang lewat, terkadang mereka juga khawatir, takut maupun iba pada orang-orang yang ada ditiap kamar setiap kali mereka memasuki kamar tersebut.
Tempat ini adalah rumah sakit, tempat orang-orang mengobati dirinya, tempat orang-orang yang berharap kesehatan dari para pekerja di sana. Selain warna khas dari tempat ini yang putih, bau obat-obatan juga begitu kental tercium dari segala penjuru. Namun orang-orang sepertinya sudah biasa dan tak begitu memikirkan bau yang setiap saat selalu ada di manapun orang berjalan.
Jam 14.35 PM, masih merupakan jam operasional dari rumah sakit, di mana akan banyak orang yang datang dan pergi memasuki ataupun keluar dari ruang kamar setelah mengunjungi keluarga atau pun temannya yang dirawat. Dokter-dokter juga masih banyak yang bertugas, kadang wajah mereka terlihat terburu-buru untuk sampai ke suatu ruangan. Kadang juga mereka terlihat santai setelah keluar dari suatu ruangan. Ada juga beberapa pasien yang dirawat terguling di atas kasur yang di dorong sampai ke ruangan khusus tempat operasi. Banyak kegiatan di rumah sakit yang setiap harinya akan selalu seperti itu.
Hari ini sepertinya sedikit berbeda,ada beberapa orang yang panik sambil mencari sesuatu di lorong rumah sakit yang di atasnya terpampang ruang Kemoterapi. Mereka adalah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang Ayah, Ibu dan seorang anak laki-laki. Wajah panik mereka tak dapat disembunyikan terutama dari sang ibu yang paling khawatir.
“Apa kalian menemukannya?” tanya sang Ibu pada suami dan anaknya.
“Belum oka-san, orang-orang juga mengatakan tidak melihatnya di sekitar lorong ini,” jawab si anak laki-laki.
“Anak itu, kemana dia pergi? Semua orang khawatir padanya dan juga kesehatannya,” ucap sang Ibu yang masih terlihat muda itu.
“Sudah, jangan cemas. Dia tak akan pergi terlalu jauh, jadi lebih baik kita mencarinya lagi.” Sang Ayah yang berusia separuh baya itu mencoba menenangkan istrinya.
“Tapi, kau tahu kan bagaimana kondisinya? Ini salahku, dia pergi pasti karena merasa sangat tertekan saat aku mengekang agardia tetap di kamar perawatannya. Tapi ini demi kebaikannya agar dia segera sembuh.”
“Aku tahu, kau hanya menjalankan kewajibanmu sebagai seorang ibu yang sayang terhadap anaknya dan ingin agar putrinya segera sembuh.”
“Ibu, jangan khawatir! Dia mungkin hanya berjalan-jalan karena bosan terus di kamarnya,” ucap sang anak yang masih mengenakan pakaian SMA-nya.
Setelah percakapan itu mereka melanjutkan pencarian mereka terhadap anaknya yang sudah tak ada di kamar perawatan. Melewati lorong dan terus mencari keberadaan anaknya.
Di tempat lain di rumah sakit
Seorang gadis SMP yang berusia sekitar 13 tahunan sedang melewati tiap kamar yang ada di lorong rumah sakit. Memakai pakaian khas dari para pasien di sana, dia berjalan sambil melihat ke dalam ruangan yang dia lewati.
"Hmmm, aku bosan. Ayah dan Ibu pasti akan marah jika aku pergi dari kamar, tapi tak apalah. Aku ingin berkeliling melihat di sekitar sini."
Gadis itu berjalan sampai dia memasuki lorong yang di bagian samping dindingnya tertulis ruang bagian jantung.
"Eh, nama tempat ini membuatku sedikit merinding."
Meski bicara begitu, si gadis tetap memasuki lorong itu dan melewati setiap kamar yang ada. Sampailah dia pada satu kamar yang hampir mendekati ujung lorong tersebut, dia melihat ke dalam dan ada seseorang di sana. Seorang lelaki seumuran dengannya sedang bersandar pada bantal yang ada di atas kasur miliknya. Wajahnya tampak murung, tak memiliki semangat hanya diam di dalam ruangan itu. Sesekali anak itu melihatkeluar jendela melihat orang-orang yang berjalan dengan pandangan kosong.
"Aku rasa dia cocok untuk menjadi teman bermainku di sini," ucap sang gadis saat menatap anak laki-laki tersebut.
Dia masih memandangnya, anak laki-laki itu tetap memandang ke arah jendela tak memperhatikan dia yang ada di depan pintu.
"Ya, aku akan jadi temannya.Lebih baik sekarang aku pulang agar Ibu tak khawatir."
Gadis itu kemudian pergi dari tempat itu, dia berjalan sambil melompat-lompat kecil dibarengi dengan senyuman manis pada wajahnya.
“Oh iya, apa yang harus aku lakukan agar dia mau berteman denganku?” ucapnya sambil memegang kepala layaknya orang yang sedang berpikir. “Ah, iya. Aku bawakan saja dia manga, anak laki-laki pasti menyukai manga.”
Setelah itu dia kembali berjalan menuju ruangan perawatan miliknya. Namun diperjalanan, dia bertemu dengan Ayah dan juga Ibunya. Melihat mereka ada di sana, gadis itu segera menghampiri mereka. Orang tuanya itu melihatnya dan langsung memeluk erat gadis tersebut.
“Darimana saja kau ini?” tanya sang Ibu pada anaknya tersebut.
“Maaf, Ibu! Aku tadi sedang berjalan-jalan di sekitar sini.”
“Janga seperti ini sayang, kau harusnya bersama Ibu atau kakakmu jika ingin berjalan-jalan,” ucap sang Ibu yang masih memeluk anak gadisnya itu.
“Maafkan aku Ibu!”
Orang tuanya itu memaafkan gadis tersebut, lalu dengan bersama keluarganya gadis tersebut pergi menuju kamarnya. Gadis itu tampak tersenyum gembira hingga membuat sang kakak menjadi penasaran dengan sikap adiknya itu.
“Hei, kenapa kau tersenyum begitu?”
“Tidak ada,” Jawabnya ketus dengan senyuman yang masih terlukis di wajahnya.
“Sangat mencurigakan.”
“Tak ada yang mencurigakan, kakak,” ucapnya mengelak dari perkataan kakaknya. Dia lalu berjalan lebih cepat kemudian berhenti dan berbalik ke arah kakaknya.
“Kak, bisa aku minta sesuatu?”
“Apa? Tak biasanya kau meminta dariku.”
“Aku ingin membaca sesuatu, jadi bisa kau bawakan aku sebuah manga?”
“Manga? Sejak kapan kau suka hal semacam itu?”
“Tolonglah kak, aku hanya igin membacanya saat bosan di kamar.”
“Oke-oke, apa lagi yang kau mau?”
“Emm, tidak ada. Terimakasih, kakak!”
Dia memeluk kakaknya itu saat berjalan, dengan senyuman bahagia yang menunjukan rasa terimakasihnya. Orang tuanya hanya bisa tertawa melihat tingkah dari kedua anaknya tersebut.
“Hati-hati! Jangan seperti itu saat sedang berjalan,” ucap sang ayah pada mereka berdua.
Seminggu kemudian
Gadis itu keluar bersama ibunya yang sedang bicara bersama seorang dokter di dekatnya. Tak begitu jelas apa yang mereka ucapakan karena sang gadis sibuk membaca manga yang ada di tangannya.
“Ibu, apa kita akan langsung pulang?”
“Maaf, tapi masih ada yang perlu Ibu bicarakan bersama dokter jadi akan sedikit lama.”
“Kalau begitu, bolehkan aku berkeliling rumah sakit ini?”
“Maaf sayang, tapi kau tahu keadaan tubuhmu, kan?”
“Jangan khawatir, Ibu! Aku akan baik-baik saja, aku merasa sehat hari ini. jika terjadi sesuatu, perawat di sini pasti akan langsung bertindak.”
Melihat anaknya yang begitu bersemangat dengan senyuman dan mata yang sama indahnya itu, akhirnya dia mengijinkannya.
“Tapi jangan memaksakan diri, Ibu akan menunggu di kamarmu.”
“Terimakasih, Ibu!”
Gadis itu segera berjalan ke tempat anak laki-laki yang dia ingat, dia berjalan melihat ke dalam kamar yang ada.
“Aku harap dia masih di sini.”
Setelah berjalan cukup lama, sampailah dia pada ruangan di ujung lorong yang menjadi tempat dari anak laki-laki tersebut. Anak laki-laki itu masih terlihat murung sambil melihat ke jendela dan tak memperhatikan dia yang ada di depan pintu. Dengan memberanikan dirinya, gadis itu masuk ke ruangan itu mendekati anak laki-laki tersebut dengan senyuman.
Anak laki-laki itu tampak kebingungan setelah melihat gadis itu masuk ke kamarnya.
“Hey! Mau sampai kapan kamu berbaring seperti itu? bangunlah, aku membawakan sesuatu untukmu.”
Gadis itu menyodorkan manga yang sebelumnya dia baca sambil tersenyum pada anak laki-laki itu. Sedangkan, anak laki-laki itu tambah kebingungan melihat gadis tersebut.
“Aku tak tahu, kau suka atau tidak. Ini adalah manga shoujo tentang pangeran dan gadis yang mencintainya. Namun kisah cinta mereka tak pernah bisa terwujud.”
Karena tak ada ketertarikan dari anak laki-laki itu, akhirnya dia mengambil inisiatif membuka tiaap halaman manga tersebut. Anak laki-laki itu hanya diam sambil sesekali melirik manga yang di bawa gadis itu.
“Lihatlah! Pangeran ini begitu baik dan tampan. Tapi, aku tak mengerti kenapa gadis ini tetap menangis. Ah! Aku tak pernah mengerti apa yang dipikirkan oleh orang dewasa. Huft!” ucap gadis itu sambil menggembungkan kedua pipi miliknya.
Setelah hal tersebut, barulah sang anak laki-laki tersenyum karena tindakan yang dilakukan oleh si gadis. Melihatnya tersenyum, gadis itu juga tersenyum manis kepadanya.
“Apa kau menyukainya?” tanya gadis itu sambil menunjuk buku manga itu.
“Eh...kurasa ya.”
“Syukurlah! Ucap gadis itu yang terlihat sangat lega.
Setelah mengucapkan hal tersebut, akhirnya mereka menghabiskan waktu hanya untuk membaca manga tersebut. Tawa riang, senda gurau, terdengar saat mereka membaca dan membahas manga shoujo itu.
Setengah jam, satu jam, dua jam, tanpa terasa waktu cepat berlalu di dalam ruangan itu. Gadis itu segera pamit setelah menyadari dan mengingat Ibunya yang sudah menunggu.
“Maaf, aku harus pulang sekarang, besok aku akan kemari lagi,” ucap gadis tersebut pada si anak laki-laki.
“Sungguh....”
“Ya, tentu saja! aku akan kemari dan membawa banyak manga untukmu.”
Gadis itu kembali ke ruangannya sementara si anak laki-laki diam di kamarnya namun dengan senyum semangat.Suasana murung yang selama ini dirasakannya perlahan memudar dan berganti senyum dan semangat.
Saat langit di luar perlahan berubah menjadi senja, perawat yang biasanya datang untuk memeriksanya datang ke ruangan tersebut. Selama pemeriksaan tampak wajah riang yang ditunjukan oleh si anak laki-laki pada perawat itu.
“Aku tadi melihat seseorang keluar dari kamar ini, apa dia temanmu?” tanya perawat itu padanya.
“Ya, kurasa kami sudah mulai berteman sekarang.”
“Siapa namanya?” tanya perawat itu lagi.
“Hah...a...aku tak tahu.”
Perawat itu hanya tersenyum saat melihat tingkah anak laki-laki yang terlihat kebingungan itu. Anak laki-laki itu hanya tersipu malu, ini adalah pertama kalinya dia bertindak seperti itu.
“Ini pertama kali aku melihat temanmu sejak pertama kau dirawat di sini, kau juga terlihat senang setelah kedatangannya. Emm, bagaimana ibumu? Apa dia akan datang?”
“Ibu akan datang seperti biasa saat makan malam.”
“Sebaiknya dia tahu tentang temanmu, dia gadis yang sangat manis.”
Pipinya memerah mendengar perkataan perawat itu karena memang itu pertama kalinya ada seseorang yang bisa dipanggilnya teman. Hari pun berakhir setelah percakapannya dengan perawat tersebut.
Sejak saat itu, mereka jadi lebih sering bersama menghabiskan waktu di dalam ruangan itu. Gadis itu terus mengunjungi anak laki-laki setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, berganti tahun hingga mereka beranjak remaja.
Saling berkenalan, saling menyapa dengan panggilan satu sama lain, selalu bersama hingga mereka lupa dengan tempat mereka berada. Lupa akan penyakit yang ada pada tubuh mereka yang setiap saatbisa memisahkan kebersamaan mereka. Tak ada yang tahu penyakit masing-masing satu sama lainnya dan tak ada satu pun yang membahas hal itu. Hanya ada kegembiraan dan senyum yang selalu terhias saat bersama di dalam ruang perawatan itu.
Meski begitu, tak ada yang bisa lari dari takdir dan nasib buruk yang akan selalu menghantui keduanya. Perlahan namun pasti, perpisahan akan terjadi dan akan menghilangkan kegembiraan itu dari mereka berdua.
Hal itu sudah ditunjukan dari kondisi tubuh sang gadis. Beberapa kali dia terlihat kelelahan namun meski begitu dia tetap datang ke ruangan itu.Pernah juga anak laki-laki itu melihat darah menetes dari hidung sang gadis yang sering terjadi.
“Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya pada gadis itu yang memegangi hidungnya.
“Tidak apa-apa, ini hanya mimisan biasa.”
Tetapi itu bukanlah mimisan biasa, semakin lama darah yang menetes makin bertambah banyak. Gadis itu menutupinya dengan tisu namun darahnya masih terus menetes dari hidungnya.
“Apa kau yakin? Haruskah aku memanggil dokter untukmu?”
“Tidak, tidak perlu. Aku pergi ke toilet dulu untuk membersihkan darah ini.”
Sudah sering itu terjadi, namun gadis itu tak pernah membahasnya saat mereka bertemu lagi dihari berikutnya. Semenjak kejadian itu, gadis itu terkadang sama sekali tak datang mengunjungi anak laki-laki itu untuk waktu yang cukup lama. Dia hanya beralasan sedikit sibuk atau ada urusan dengan keluarganya.
Namun, hal itu semakin memburuk. Selain darah yang menetes dari hidungnya, gadis itu terlihat benar-benar pucat. Gadis itu hanya mengatakan dia sedikit sakin dan meminta ijin untuk ke toilet. Namun dia tak pernah datang lagi sejak kejadian itu. Anak laki-laki itu tak menyadari bahwa hal itu adalah jurang pemisah diantara mereka berdua.
Ruang perawatan si gadis
Terbaring di atas kasur itu dengan peralatan medis terpasang dengan lengkap di tubuhnya. Regulator oksigen sebagai alat untuk membantu pernapasannya, electrocardiography, dan infus terpasang untuk memantau kondisinya. Dia membuka mata dan melihat keluarganya yang sedang khawatir dengan keadaan tubuhnya yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur.
“Ayah, Ibu.”
Wajah gadis itu masih pucat namun masih terlukis senyum dari bibirnya. Keluarganya yang mendengar panggilan itu langsung mendekati kasurnya.
“Aku ingin bertemu temanku, bolehkah aku pergi sebentar?” ucap gadis itu pada kedua orang tuanya.
“Apa yang kau bicarakan? Apa kau lupa saat terakhir kau mengatakan hal itu. Kau jatuh pingsan saat melangkah ke depan pintu,” balas sang Ibu yang terlihat paling khawatir terhadapnya.
Itu adalah permintaan yang terus diucapkan oleh gadis tersebut secara berulang-ulangsetiap harinya. Meski dalam kondisi yang tak memungkinkan, dia terus meminta ijin untuk bertemu dengan temannya yang pasti sedang menunggunya di kamar itu.
Sudah cukup lama dia tak mengunjungi temannya itu sejak penyakitnya menjadi kronis hingga membuat dia harus tetap terbaring di ruang perawatan miliknya.
“Aku ingin bertemu dengannya, Ibu. Dia akan sendirian di sana, dia akan murung lagi jika aku tak ke sana.”
Entah berapa kali sudah dia mengatakan hal itu pada ibunya namun selalu ditolak. Orang tuanya tak mau kondisi dari sang anak makin memburuk. Gadis itu juga menyadari dengan kondisinya yang tak mungkin bisa bertemu lagi dengan anak laki-laki itu. Dia hanya selalu meminta dan berdoa agar dia bisa bertemu anak laki-laki itu Dn menghabiskan waktu bersama lagi.
Namun hal tersebut hanya menjadi angan belaka, keadaannya semakin bertambah buruk dengan penyakit kronisnya. Dokter di sana menyarankan operasi sumsum tulang belakang padanya namu hal itu cukup berisiko tapi jika berhasil akan mampu mengobati penyakitnya.
Hal itu selalu ditolak oleh gadis itu, daia hanya meminta untuk diijinkan menemui temannya. Orang tuanya juga tak bisa memaksakan anaknya itu untuk dioperasi jadi mereka memilih untuk tetap seperti itu berharap keajaiban akan menghampiri anak mereka.
Bertahan dengan kondisi yang seperti itu, keinginan gadis itu kini menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Waktulah yang telah memisahkannya, takdir telah merenggut impiannya itu. Ajal telah memanggil namanya dan malaikat kematian telah menulis nama itu dalam bukunya.
Sekian tahun menanggung Leukimia pada tubuhnya, menghadapi hari dengan penyakit kronis yang setiap hari menggerogoti tubuhnya dengan senyuman. Kini gadis itu terbaring di dalam peti peristirahatan abadinya.
Bahkan teman yang selalu ingin ditemui gadis itu pun tak mengetahui hal tersebut. Tidak mengetahui kepergiannya untuk selama-lamanya.
Setelah kepergiannya
Di ruang itu ada seorang anak laki-laki duduk bersandar pada bantal miliknya. Dia memandang ke arah pintu kamarnya berharap seseorang akan datang seperti biasanya. Namun hal itu tak pernah terjadi lagi.
Orang yang selalu datang ke kamarnya itu tak pernah mengunjunginya lagi. Bukan karena dia tidak tahu, tapi karena dia terlambat untuk mengetahui kebenarannya. Alasan gadis yang selalu dia tunggu itu tak pernah datang baru dia ketahui tiga bulan lalu saat perawat yang biasa memeriksanya memberitahu semuanya.
Tiga bulan yang lalu, gadis itu berjuang dengan penyakit kronis yang ada pada tubuhnya. Dokter telah berusaha namun hal itu berakhir saat gadis itu menghembuskan napas terakhirnya.
“Maaf aku tak memberitahumu sebelumnya. Tapi saat itu kau juga sedang melakukan pemeriksaan pada jantungmu. Jadi aku menunggu sampai kau terlihat siap untuk mengetahuinya.”
Itulah ucapan dari perawat itu tiga bulan yang lalu. Dia menyadari hal itu untuk kebaikannya. Satu-satunya penyesalannya adalah dia tak pernah menanyakan keadaan sebenarnya dari gadis itu. Dia tak pernah bertanya penyakit seperti apa yang diderita oleh gadis itu. Bahkan dia tak merasakannya saat terakhir kali mereka bertemu, saat kejadian mimisannya yang makin parah.
Leukimia telah merenggut nyawa gadis yang selalu bersamanya, gadis yang disukainya sejak pertama mereka bicara.
“Shin, kekurangan yang kau miliki merupakan kelebihanmu sendiri. Berusahalah untuk mencoba keluar dari garis batasan kesanggupanmu. Lalu, bantulah mereka yang membutuhkanmu mereka yang membutuhkan. Walau keadaan tubuh yang ringkih ini berlawanan arah dengan keinginan untuk menolong sesama. Karena hidup sangat berarti, saat ada yang membutuhkan penanganan dari kita.”
Meski sempat kehilangan harapan dan semangatnya. Kata-kaya terakhir yang diucapkan gadis itu telah memotivasi dirinya untuk melakukan apa pun yang dia bisa. Dia akan memberi bantuan pada mereka yang membutuhkan bantuannya meski hanya bantuan kecil.
Dia memutuskan untuk mengikuti kata-kata gadis itu sebagai jalan hidupnya sebelum penyakit mematikan yang dia derita mengalahkannya. Sebelum dia beristirahat dalam keabadian menyusul sang gadis manis yang telah memberinya cahaya kehidupan.
-----END-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H