Hak memang merupakan sesuatu hal yang gandrung untuk diperbincangkan, mendengar kata Hak saja, mungkin kita langsung mengetahui artinya. Hak, yang menurut pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah benar. Dari hal tersebut, mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa hak sama dengan kebenaran.
Sementara, Pengertian hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang mestinya kita terima atau bisa dikatakan sebagai hal yang selalu kita lakukan dan orang lain tidak boleh merampasnya entah secara paksa atau tidak.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam artikelnya yang berjudul Membangun Budaya Sadar Berkonstitusi untuk Mewujudkan Negara Hukum yang Demokratis (2007), Hak warga negara Indonesia meliputi hak konstitusional dan hak hukum. Hak konstitutional adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), sedangkan hak-hak hukum timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Saya masih ingat, beberapa waktu lalu sempat menghadiri seminar, yang salah satunya membahas mengenai hak. Masyarakat Indonesia mempunyai 40 Hak Konstitusional dalam 14 rumpun, hal itu disampaikan Dahlia Madanih, Aktivis Komnas Perempuan. Dia mengatakan sebagai bangsa yang besar dan cukup demokratis, Hak hanyalah seperti gantungan kunci, selalu menempel namun hanya berfungsi sebagai penghias saja.
Dalam seminar tersebut, disebutkan bahwa kita punya banyak hak sebagai warga Indonesia. Seperti, hak atas kewarganegaraan, hak atas hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak atas kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih, hak atas informasi, hak atas kerja dan penghidupan layak, hak atas kepemilikan dan perumahan, hak atas kesehatan dan lingkungan sehat, hak berkeluarga, hak kepastian hukum dan keadilan, hak bebas dari ancaman, diskriminasi dan kekerasan, hak atas perlindungan, hak memperjuangkan hak, hak atas pemerintah.
Namun praktiknya, dalam konsep bernegara dalam bingkai kebhinekaan, hak ini terkesan berlaku setengah-setengah dijalankan pemerintah.
Nur Winoto, Dosen FISIP Universitas Indonesia, pernah mengatakan, konsep keadilan dalam memperjuangkan Hak warga negara harus dijemput. yang menjemput adalah pemerintah, karena pada mandat konstitusi menjelaskan, negara harus hadir untuk melindungi, memajukan, mencerdaskan bangsa.
Dalam konteks tersebut, kita dapat simpulkan bahwa Negara kita sudah sangat memperhatikan Hak warga Negaranya yang secara legal telah dilegitimasi dalam bentuk perundangan.
Namun, pada praktiknya, Kesamaan Hak antar pribadi dengan pribadi lain tidak berbanding lurus, sama belum berarti rata. Kita coba ambilkan contoh, baru-baru ini saja, ramai dipemberitaan sekumpulan mahasiswa Papua yang bermukim di Jogjakarta yang mendapat perlakuan diskriminatif dari warga sekitar.
Padahal, sebagai warga negara kita mempunyai Hak bebas dari Ancaman, Diskriminasi dan Kekerasan. Belum lagi bila kita ambil contoh-contoh lain yang merusak dan menciderai kebebasan hak tersebut.
Ini menandakan, Bangsa kita sendirilah yang belum memahami konteks kesamaan Hak yang dituliskan dalam peraturan negara kita. Negara pun, sebagai Eksekutor, Legislator dan Yudikator abai dalam menterjemahkan peraturan yang dibuatnya menjadi perilaku baik yang membudaya ditengah bangsa dan bernegara.