catatan :ini adalah post pertama saya. hehehehe..
tapi malah nyadur dari blog tetangga. tapi karena asyik, ya saya posting aja.
mudah-mudahan tidak kena pelanggaran hak cipta dan teman saya itu tidak pula  mengadukannya ke departmen pertambangan dan energi dan KPK ( apa hubungannya ya..? ). jangan  bingung mikirnya, karena saya sendiri juga tidak tahu.
</dilarang tersinggung>
mode on;
* Ogah Asing Apa Demen...?
Para ‘nasionalis’ sontoloyo katanya ogah dengan kebijakan yang pro asing yang di bawa oleh so-called neo-liberal group. Kebijakan ekonomi katanya harus berbasis kerakyatan, dengan memberi prioritas pada pelaku ekonomi dalam negeri khususnya keterlibatan negara demi kepentingan orang banyak.
Sebetulnya, saya tidak mengerti betul apa yang dimaksudkan oleh para begundal ini dengan neoliberal, kenapa tidak liberal saja. Gelinya ada yang mengaitkan kebijakan neoliberal ini dengan kegagalan ekonomi AS. Jarene, katanya, krisis ekonomi AS adalah karena kebijakan neo liberal dari pemerintahan Bush. Bush mungkin bingung kalau dia dikaitkan dengan kelompok liberal yang jelas musuh bebuyutannya.
Sebuah tulisan semrawutan di sebuah blog-blogan mengkritisi kebijakan para ekonom Jenderal Suharto alias Mafia Berkeley, dan membandingkan dengan kebijakan ekonomi Insinyur Sukarno. Tanpa menyadari – politics aside — kebijakan para ekonom di bawah jenderal Suharto adalah yang tersukses dalam sejarah Indonesia, bahkan dengan impact Krismon 97 sekalipun. Dan tentu semua tahu, kebijakan ekonomi terpimpin Sukarno adalah yang paling amburadul.
Lalu, banyak yang membandingkan kemajuan negara-negara seperti Korea, Taiwan, Malaysia, China, dll. Tanpa menyadarinya melejitnya perekonomian di negara ini karena mereka beralih pada sistem ekonomi pasar. Quick turnaround ekonomi RRC jelas karena dia beralih dari sistem ekonomi terpusat dan terencana (kerabatnya ‘ekonomi kerakyatan’) pada ekonomi pasar. Relatif mandengnya perekonomian Malaysia satu dekade terakhir karena mereka menjadi kurang bersahabat terhadap pasar dan pemodal asing.
Kemudian, ada juga yang memuji kebijakan nasionalistik di negara-negara Latin America, tanpa menyadari stagnantnya ekonomi negara-negara Amerika Latin dalam beberapa dekade terakhir termasuk karena kebijakan nasionalisis-populis yang crap itu. Tanpa menyadari melejitnya perekonomian Chile — dan Brazil beberapa tahun belakangan, di tengah semrawutnya pereknomian negara-negara Amerika Latin, karena mereka mengadopsi kebijakan ekonomi yang beriorentasi pasar dan friendly terhadap entrepenur, asing mau pun lokal.