Aku mulai mendekatinya, ketika ku dapati dia duduk sendiri di ruang rapat. Yap! Sudah ku duga, ia sudah datang dan yang paling awal.
Aku semakin mendekat. Ku tarik kursi di sebelahnya, dan memberinya salam sapaan. Ku fikir, itu sebuah awal yang baik untuk “memulai kembali”. Yah.. memulai kembali sebuah hubungan. Cukup lama, kami tidak menjalin komunikasi. Bisa dibilang hilang kontak. Tapi bukan berarti hubungan kami rusak.
“Lagi sibuk apa? Kok aku dari tadi duduk di samping kamu, malah di cuekin?” setengah sadar, entah salah atau benar aku menegurnya untuk mulai berbicara.
Ia tak menjawab teguranku, malah sibuk sendiri. Ia sedang sibuk dengan buku sampul silvernya, yang dulu pernah ku bawa pulang dan sempat pula ku baca isinya.
“Tidakah kau dengar? Aku selalu berusaha mengajak mu untuk berbicara… Tapi kamu selalu diam.” Katanya, yang sekejap membuatku tercengang, membaca apa maksud dari perkataanya.
“Aku….. tidak mendengar bibir mu berucap.” Jawabku, dengan heran.
Dia malah tersenyum dan masih saja membuka lembaran – lembaran bukunya. Hingga perlahan, ia menundukan kepalanya dan menutup wajahnya dengan buku itu. Entah apa yang telah terjadi.
Aku mulai menafsirkan setiap momen yang ku lakukan dari tadi. Adakah yang salah dari diri ku? Kurasa tidak. Dari sejak awal aku masuk ruang ini, aku tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan, dari tadi pun ruangan ini tidak ada sebersik suara. Hanya aku, dia, dan ruangan yang begitu dingin dan senyap.
Ruang ini kembali senyap dan hening tanpa suara. Aku mencoba untuk merenungkan setiap menit, detik yang terlewat saat ku bertemu dia disini. Tapi, masih saja aku belum mengerti.
Tok… tok… tok… Terdengar hentakan fantofel yang khas itu, yang kian mendekat ke arah ruang ini. Belum sempat tahu, siapa yang datang. Dia memundurkan kursinya perlahan, lalu berdiri. Tanpa sepatah kata pun, ia pergi meninggalkan ku sendiri di ruang ini.
Ia meninggalkan buku yang dari tadi ia baca. Aku memberanikan diri tuk membuka bukunya. Karena, sebelumnya dia sudah membolehkan ku tuk membukanya kapan saja. Tapi, ia mengatakannya ketika kami “bersama”.
Aku selalu mengingat,
ketika kau ucap kata pisah itu
Seperti ada pisau yang menancap di jantungku
Dan aku, tak perlu mencabutnya
Karena itu hal terakhir yang kau berikan untuk ku
Meski sakit, aku tahu. Aku masih seperti dulu,
Jalani hari dengan perasaan yang dulu
Dan ku tinggalkan dia yang menyia nyiakan ku
Namun, perasaan ini. Kan selalu sama seperti dulu.
“Aku tidak pernah mengucap kata pisah, untuk kita.” ucapku perlahan, tanpa sadar air mata ku menetes diatas puisi itu. Bukan, ini bukan puisi. Ini seperti ucapan yang selama ini, ia ingin katakan.
“Maaf, aku tidak mendengarkan mu. Dulu…”. Ucap ku lirih.
Tak ku sadari, ia berdiri di depan pintu. Aku menatap matanya lebih dalam. Matanya mulai berkaca –kaca, seakan aku sudah tahu apa yang akan ia katakan.
“Aku tidak tuli, tapi aku tidak bisa mendengarkan hati mu. Dulu.. “kataku, yang masih menatap dalam matanya.
“Jangan katakan, kamu tidak buta. Tidak kah kau lihat? Apa yang selama ini aku usahakan?”
“Aku ingin mengulang semuanya.” Kutegaskan perasaan ku. Yang selama ini, diselimuti kebodohan.
“Maaf, aku tidak bisa.“lirihnya . “Apa maksud mu? Bukankah, kamu juga masih menyimpan perasaan itu?”
“Aku masih menyimpannya. Tapi aku tidak ingin mengulangnya. “
Kali ini, emosional ku mulai meningkat. Serasa ada sesuatu yang menyesakan nafas ku. Hingga berat rasanya aku untuk berucap.
“Kembali pun masa itu, aku juga tidak akan mau. Bila akhirnya, rasa sakit yang tak akan sembuh. Tersakiti oleh kebodohan, dan sengsara atas penyesalan yang tak kudengar ini.”
Kurasa, niat ku untuk “memulai kembali” hubungan itu, hanyalah harapan belaka. Hanya kenangan yang merusak ingatan dan penyesalan yang mengecewakan. Maaf, aku tidak mendengarkan mu. Aku tidak melihat mu. Meski aku tidak tuli dan buta. Sekali lagi, aku diselimuti oleh kebodohan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H