Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Prote Philosophia atau Filsafat Pertama Menurut Emmanuel Levinas

5 Desember 2024   04:00 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:20 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan
        Filsafat berkembang pada berbagai macam era dengan sebuah kejeniusannya masing-masing serta kecenderungannya yang unik. Klaim tentang filsafat pertengahan sebagai filsafat yang melayani teologi misalnya berangkat dari kecenderungan para pemikir yang berusaha menggali Ada dibalik yang ada. Dalam pencarian yang ad infinitum, lantas diasumsikan Ada yang terakhir adalah yang biasa disebut sebagai Allah. Filsafat kemudian lantas disempitkan begitu saja relevansi dan ruang pemikirannya, seolah-olah hanya sebatas pada pencarian akan sebab yang terakhir dan melupakan realitas konkret sehari-hari.
        Klaim filsafat hanya membahas tentang pencarian Ada dari yang ada tentu saja sebuah klaim yang dangkal. Filsafat tentu mencari dasar sesuatu secara serius dan mendalam termasuk bertanya dan mencari Ada dari yang ada. Namun Filsafat dalam mencari yang mendasar senantiasa berangkat dan selalu bersinggungan dengan realitas sehari-hari. Dalam pencariannya para filsuf mengambil kenyataan sehari-hari dan bertanya serta merenungkan secara mendalam tentang hal-hal tersebut. Seorang filsuf berusaha mencari dan menjawab apa yang mengusik dirinya, misalnya filsuf bernama Emmanuel Levinas terusik dengan cara orang berelasi. Ia berusaha menggali secara mendalam tentang relasi itu sendiri hingga kemudian ia bahkan mengatakan bahwa filsafat pertama adalah etika, karena menyangkut titik tolak relasi seorang manusia dengan manusia lainnya.
        Emmanuel Levinas hadir sebagai pemikir yang berbeda dan berani karena menawarkan etika sebagai prote philosophia (filsafat pertama). Bagaimana tidak, dalam sejarah perkembangan filsafat, metafisika sudah lebih dahulu ditempatkan pada kategori tersebut di sepanjang sejarah filsafat Barat. Nama besar metafisika yang diagung-agungkan dalam kaitannya dengan pencarian yang rumit digoyahkan bahkan diturunkan. Tentu saja, lahirnya pemikiran Levinas sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan, konteks zaman, dan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu filsafat pada eranya.
Konteks dan Alasan Etika Sebagai Prote Philosophia
        Pemikiran selalu memiliki konteksnya dan hal ini tentunya tidak membatasi relevansi kontekstual di masa yang berbeda. Dari apa yang ditelurkan oleh pemikirnya, sebuah pemikiran justru mendapatkan validitas dan kesahihan karena pemikirannya itu lahir dari keprihatinan nyata. Terkait pemikiran Levinas tentang etika sebagai prote philosophia, ada tiga faktor yang melatarbelakanginya yakni keyahudian Levinas dan pengalamannya dalam kamp di Stammlanger, seluruh sejarah filsafat Barat, dan pendekatan fenomenologis.
        Levinas merupakan seorang Yahudi (britannica.com, 2024) dan dibesarkan menurut Alkitab Ibrani. Filsafatnya bercorak Perjanjian Lama dan Ia kerap menjelaskan etika filosofisnya dengan menggunakan kata-kata religius. Di dalam kamp, Levinas menyaksikan penderitaan, penganiayaan, penindasan dan pembantaian secara masif terhadap orang-orang Yahudi oleh rezim Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Pengalaman penderitaan bersama orang-orang Yahudi lainnya menjadi suatu referensi bagi pemikirannya tentang otherness (keberlainan). Pembantaian massal mengerikan oleh Nazi yang menimbulkan banyak korban jiwa menimbulkan pertanyaan besar bagi Levinas (Thomas; 2018, 1). Levinas merasa perlu mempertanyakan tentang bagaimana sebaiknya manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Menurut Levinas etika menjadi dasar penting dalam berelasi dengan orang lain. Manusia pada dasarnya manusia yang terbuka terhadap keberadaan manusia lain bahkan bertanggung jawab terhadap keberadaan orang lain.
        Levinas pun mengkritik tradisi filsafat Barat yang terlalu berpusat pada ego dan ambisinya untuk mengejar totalitas. Atas dasar itu filsafat Barat sering disebut egologi, yang mana semua berpusat pada aku (keakuan). Bagi Levinas  totalitas merupakan reduksi dan apropriasi terhadap kekayaan sesuatu yang konkret. Akibatnya ada yang hilang yakni alteritas. Dalam tradisi filsafat barat, ego menjadi penentu bahwa segala sesuatu itu bermakna, bernilai, dan berarti atau tidak. Sebaliknya, di luar ego segala sesuatu menjadi tidak bermakna, tidak bereksistensi dan tidak bernilai.
        Levinas juga mengkritik idealisme karena mengandung suatu ontologi bahwa ada merupakan perkembangan diri dari ego. Ada dimengerti sebagai imanensi atau interioritas. Yang lain hanya ada karena kesadaran diri. Menurut (Levinas, 1996b) filsafat barat jatuh pada Ontologi Fundamental. Apakah Ontologi fundamental? Dalam konsep ontologi, subyek berusaha untuk melakukan totalisasi. Dalam ontologi ada konsep kebebasan yang diterapkan yakni kemampuan subyek untuk mengkonsepkan dan memahami yang lain dengan makna dan nilai dalam kuasa subyek sendiri. Totalisasi berarti sebuah relasi dimana keberlainan dari yang lain hilang, yang lain bukan menjadi subjek atau objek yang terpisah dan lepas dari saya. Segala sesuatu dapat ditotalisasi bahkan ketika yang lain memang terpisah dari saya  karena mereka ada dalam totalisasi saya melalui komprehensi atau pemahaman saya yang bebas.
        Metafisika bagi Levinas berbicara tentang subyek yang menghasrati sesuatu yang transenden yang sejatinya di luar jangkauan subyek dan tidak bisa ditotalisasi. Relasi yang menunjukkan adanya sesuatu yang tidak bisa ditotalisasi salah satunya adalah relasi dengan orang lain. Bagi Levinas, dalam perjumpaan dengan wajah orang lainlah yang etis itu muncul. Etika paling mendasar karena etika muncul dalam relasi dengan wajah orang lain yang menolak untuk ditotalisasi dan mempertanyakan kebebasanku.
      Kemudian, dalam pembacaan Levinas atas fenomena-fenomena relasi dan etika, pendekatan yang digunakannya sangat fenomenologis. Fenomenologi Husserl memang dipakai oleh Levinas sebagai metode melihat dan memahami itu semua. Fenomenologi pada dasarnya adalah melihat bagaimana dunia itu menampakan diri, apa yang dipersepsikan oleh seseorang atas sebuah fenomena. Bagi Levinas esensi fenomenologi Husserl adalah intensionalitas yang dipahami sebagai struktur hakiki dari kesadaran. Kesadaran selalu bersifat intensional dan Husserl mencari hakikat realitas dengan memperhatikan apa yang nyata-nyata menampakkan diri dalam kesadaran.
      Levinas mengikuti pendekatan ini tetapi dengan kritiknya terhadap analisis Husserl yang terlalu cepat berhenti pada struktur kesadaran sehingga ia tidak berhasil mengangkat struktur realitas yang sebenarnya. Levinas pun memberikan suatu interpretasi baru dengan menerapkan intensionalitas dalam praksis yakni relasi etis. Bagi Levinas, Husserl masih terperangkap dalam kerangka subjek-objek dan tidak menghindar dari idealisme yang menyangkal adanya realitas di luar kesadaran. Orang lain hanyalah objek dan keberlakuannya hilang.
      Levinas lantas mengajukan etika sebagai filsafat pertama yang hadir dalam wajah orang lain. Etika adalah makna yang mana muncul bukan dari 'aku', melainkan dari wajah orang lain. Ketika saya bertemu dengan wajah orang lain, di situlah saya mempertanyakan eksistensi dan kebebasan saya. Wajah orang lain adalah keberlainan murni yang menuntutku untuk ikut bertanggung jawab. Sifat khas dari wajah orang lain adalah mortalitas (dapat mati), dan mortalitas itulah yang membuat aku bertanggung jawab dengan orang lain. Levinas mengajak kita untuk mengganti perhatian kita kepada relasi etis diri kita kepada mortalitas orang lain yang memberi makna kepada diri kita.
Etika sebagai Filsafat Pertama
      Salah satu filsuf besar sebelum Levinas bernama Immanuel Kant mencetuskan sebuah teori etika yang murni deduktif rasional. Menurut Immanuel Kant, etika hanya berurusan pembahasan tentang kewajiban manusia terhadap dirinya yang tidak termasuk dalam hukum eksternal. Manusia adalah makhluk yang memiliki "nilai intrinsik, yakni martabat" melebihi binatang maupun barang-barang. Manusia memiliki "nilai intrinsik, yakni martabat" karena merupakan pelaku rasional yang mampu mengambil keputusan untuk dirinya, menempatkan tujuan-tujuan sendiri dan menuntun perilaku dengan akal baik. Kant menekankan pada moralitas motif atau maksim, suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk bukan karena jenis tindakannya melainkan dari motif yang mendorong seseorang untuk bertindak.
      Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Menurut Kant, jika manusia ingin bebas, maka harus berusaha bertindak sedemikian rupa sehingga memperlakukan kemanusiaan  sebagai tujuan dan bukan sekadar sebagai sesama. Menurut Kant, kita mengakui diri kita tunduk di bawah prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara universal. Menjadi rasional dalam arti ini adalah bertindak, menurut prinsip-prinsip yang oleh Kant disebut "maksim-maksim" yang dikenakan tidak hanya kepada diri kita sendiri melainkan juga kepada setiap pelaku di dalam situasi yang sama. Prinsip yang sangat dasariah dari moralitas adalah: bertindak hanya menurut maksim yang dengannya anda pada saat yang sama bisa menghendaki bahwa maksim itu akan menjadi hukum universal. (Sudaryanto, 2015).
     Apabila pemahaman etika Kant dihasilkan murni dari deduksi rasional bahkan bisa dipikirkan tanpa perjumpaan dengan yang lain, Levinas justru sebaliknya. Bagi Levinas, etika tidaklah terkandung dalam pemikiran abstrak mengenai diri dan orang lain secara keseluruhan dan mengenai hukum-hukum relasi yang harus dibangun, melainkan dalam peristiwa berhadapan langsung dengan orang lain.  Bagi Levinas, etika pertama-tama bukan menyangkut teori mengenai baik-buruknya tindakan tertentu; bukan juga apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan sebagai manusia. Etika merupakan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Artinya relasi yang etis hanya omong kosong kalau perjumpaan dengan orang lain tidak pernah terjadi. Demikianlah pertemuan antar-wajah menjadi sumber dan asal-mula etika atau 'yang etis,' melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal.  
       Bagi Levinas, pertemuan dengan wajah orang lain membuat kita menyadari bahwa orang lain bukanlah sekadar kulit, daging, dan darah yang dapat dihancurkan begitu saja. Sebaliknya, ia adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, orang dicintai dan mencintainya (Thomas; 2012, 82). Levinas juga menegaskan bahwa ada sebuah transendensi wajah dalam perjumpaan dengan orang lain, artinya ada penolakan terhadap usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan hanya sebagai isi atau konten saja. Bagi Levinas, wajah orang lain selalu menolak usaha seseorang untuk menyerapnya ke dalam pemikirannya untuk kemudian dijadikan isi pemikirannya. Hal ini terjadi karena wajah merupakan yang tidak berhingga, yang penampakannya menghantam totalitas dan upaya seseorang untuk meringkusnya ke dalam pemikirannya.
      Jelas bahwa ruang etis tercipta selalu dalam perjumpaan dengan yang lain. 'Yang etis' bagi Levinas bukan soal baik-buruknya suatu tindakan sebagaimana konsep etika pada umumnya. Etikanya bersifat eksistensial berdasarkan perjumpaan aku dengan Yang lain. Yang lain bukanlah alter ego (aku yang lain) melainkan yang lain dalam 'keberlainannya' ((l'Etranger) yang menampakkan eksterioritas, suatu  transendensi yang tidak bisa ditotalisir oleh subjek (aku). Subyek (seseorang) punya suatu tendensi yakni hasrat (desire) untuk mentotalisir yang lain masuk dan tunduk dalam totalitasnya. Akan tetapi Yang lain dalam keberlainannya adalah The Face (wajah) bukan dalam arti fisis tetapi wajah yang menyatakan keseluruhan yang lain menampakkan dirinya. Wajah memiliki resistensi terhadap hasrat seseorang yang ingin mentotalisirnya ke dalam totalitasnya. Resistensi wajah tidak bersifat riil melainkan etis, suatu tuntutan etis yang melampaui kesadaran akan perjuangan melalui relasi dengan yang lain. Resistensi itu bersifat non violent (tanpa kekerasan). Di hadapan resistensi wajah yang tidak bisa ditotalisir itu, hasrat seseorang lantas kemudian dilakukan melalui aksi membunuh yang lain. Apakah dengan membunuh, hasrat akan totalitas itu terpenuhi? Sekali-kali tidak, sebab 'yang lain' yakni The face akan selalu terpisah dari totalitas seseorang. Dia yang dibunuh memang mati, tetapi wajahnya akan selalu mengusik kebebasan kita.
      Wajah yang dimaksudkan Levinas berkaitan dengan cara orang lain menampakkan dirinya kepada kita. Wajah biasanya hanya dipahami begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Ia hanya sebagai pengenal diri seseorang. Seseorang bisa diingat dari ciri fisik wajahnya. Namun bagi Levinas, wajah yang dimaksud di sini bukanlah wajah secara fisik, melainkan bagaimana 'Yang Lain' memperlihatkan dirinya. Wajah manusia memiliki makna yang lebih dalam yang melampaui fisik yang tampak. Wajah menampakkan kehadiran seseorang secara keseluruhan. Wajah dalam pemikiran Levinas merupakan sebuah signifikasi tanpa konteks tertentu dan identitas asli sebuah pengada. Dalam hal ini, wajah berkaitan dengan cara orang lain menampakkan dirinya kepada kita (Thomas; 2012, 79). Wajah 'Yang Lain' ini tidak ditentukan oleh pandangan saya pribadi mengenai orang lain, itulah mengapa wajah disebut signifikasi tanpa konteks. Sebagai jejak Yang-Tak-Terbatas (the Infinite), wajah orang lain tidak akan dapat dibunuh atau dihancurkan. Relasi etis terjadi ketika saya merasa terusik oleh kehadiran wajah orang lain yang menantang orientasi egoistik hidup saya atau mengusik kenyamanan dan kebebasan saya.
Penutup
     Levinas merasa perlu mempertanyakan tentang bagaimana sebaiknya manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Sering kali hal ini dikira sudah selesai, bahkan dianggap bukan sebuah hal yang penting dan patut untuk dibicarakan, karena dengan cepat seseorang dapat menganggap bahwa semua manusia dapat hidup bersama. Akan tetapi bagaimana jika hal itulah yang justru menjadi sebuah permasalahan, bahkan dapat menimbulkan konflik? Levinas menyadari bahwa permasalahan dapat timbul ketika pembahasan atas sesuatu itu dianggap telah selesai hanya dari satu sudut pandang seseorang, tanpa memperhitungkan sudut pandang orang lain. Hal ini menyiratkan bahwa pembahasan tersebut berhenti pada pembahasan hanya mengenai aku, secara pribadi, tanpa memikirkan realitas yang berada di luar, yaitu kenyataan tentang keberadaan orang lain (Fransita; 2011, 20).        
       Dalam pembahasan terkait relasi intersubjektif, aku-engkau (I-Thou) Martin Buber juga memengaruhi pemikiran Levinas. Setidaknya ada dua persamaan pandangan di antara keduanya. Pertama, mereka melihat aku tidak pernah ada untuk dirinya sendiri, senantiasa terikat dengan yang lain, dan aku hanya bisa menjadi aku karena engkau. Kedua, relasi itu terjadi selalu dalam perjumpaan dengan yang lain. Bagi Buber relasi aku-engkau itu bersifat setara (simetris) dan timbal balik (resiprok). Namun, relasi itu juga bisa mengalami kemunduran (regresi) menjadi relasi Aku-Benda (I-It). Hal ini bisa terjadi jika Aku memanfaatkan orang lain demi kepentingan diriku. Aku tidak memandang orang lain sebagai sesama, melainkan sebagai alat.
      Bagi Levinas relasi dengan orang lain tidak ditandai resiprositas dan mutualitas sebagaimana pandangan Buber karena bersifat asimetris. Penampakan yang lain mengakibatkan saya bertanggung jawab dan tanggung jawab itu mendahului inisiatif dan kebebasanku. Inti pemikiran filosofis Levinas adalah Substitusi. Di hadapan wajah orang lain, aku bertanggung jawab untuk menolong dan membebaskan hingga aku mengambil alih penderitaan orang lain. Lebih daripada itu, aku bersalah atas kesalahan orang lain. Tidak ada kepentingan dan maksud supaya saya beroleh perlakuan yang serupa. Demikianlah etika yang ditawarkan Levinas sebagai dasar berelasi dengan orang lain dan sebagai prote philosophia (filsafat pertama).
Daftar Pustaka
Fransita dan Clarent. 2011. Kebebasan Yang Sejati; Belajar dari Filsuf Levinas, dalam majalah Rohani, No. 5, Edisi Tahun ke-58.
Levinas, Emmanuel. 1996b. Is Ontology Fundamental?, dalam Basic Philosophical Writings, ed. Ariaan T. peperzak, Simon Critchley, dan Robert Bernasconi. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press
Sudaryanto. 2015. Tragedi Challenger-Tinjauan Etika Kantian dan Etika Utilitarian, dalam Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Tjaya, Thomas Hidya. 2012. Enigma Wajah Orang Lain. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun