Semua ‘pengataan’ dan pengonsepan ditangguhkan dan dengan menangguhkan semua hal itu, fenomenologi mengajak kita untuk bersikap murni, bukan tanpa cela fisik melainkan mengalami sesuatu sebagai pemula tanpa pra-asumsi apa pun.
Apabila kita dalami, Husserl dengan fenomenologinya bertujuan untuk menghantar kita kembali secara metodologis pada dunia kehidupan pra-teoretis, dunia yang kita hidupi (Lebenswelt). Sebuah dunia atau realita di mana fenomena mendasar dari pengalaman muncul dalam kesadaran sebelum kita mencoba untuk memahami semuanya dalam kerangka sistem teoritis formal yang kita ketahui.
The aim of phenomenology is to undertake a methodologically secured return to the pre-theoretical life-world [Lebenswelt]: the fundamental phenomena of experience as they exist in consciousness before we attempt to grasp them in terms of formal theoretical systems (Sambera; 2008, 18).
Fenomenologi Husser menyangkut wilayah pra-teoretis dan karena menyangkut wilayah pra-teoritis, fenomenologinya bersifat deskriptif, bukan eksplanatif. Oleh karena itu, menurut Husserl, fenomenologi merupakan satu metode filsafat deskriptif murni.
For Husserl, then, “phenomenology” is the descriptive study off foundational structures of consciousness (Sambera; 2003, 13).
Sekurang-kurangnya sejauh ini ada dua hal kunci yang bisa kita ambil dari fenomenologi Husserl. Pertama, menurut Husserl tidak ada distingsi antara fenomena dan noumena seperti pada Immanuel Kant. Fenomena menurut Husserl merupakan realitas otentik yang terberi secara langsung pada kesadaran. Dapat dikatakan bahwa, fenomena itu sendiri adalah kenyataan atau ‘Ada’ itu sendiri. Apabila kita meminjam istilah Kant, fenomena dalam fenomenologi Husserl merupakan noumena itu sendiri. Pendapat ini dipertegas dan diafirmasi oleh Jean Paul Sartre, seorang filsuf Perancis dalam karyanya Being and Nothingness (1948). Sartre menegaskan dalam tulisannya bahwa Husserl telah memangkas dualisme yang telah lama ada dalam filsafat, misalnya antara potensia dan actus, fenomena dan noumena dengan menggabungkan esensi (essence) dan penampakan (appearance).
Phenomenology eliminates the dualism of appearance and essence. ... Husserl attempts to unify appearance and essence. He notes that the essence is that which gives unity to all the various appearances of a thing and that the essence is itself an appearance and not something hidden beneath the appearances. ... In general, for Husserl, reality manifest itself to consciousness as a “what,” an “essence,” or a “phenomenon.” Thus reality and phenomenon are basically on the same level: the phenomenon of being is fundamentally on the same level as the being of phenomenon (Joseph; 1980, 22-23, 27).
Dalam hal ini, Husserl sepakat dengan Kant bahwa fenomena merupakan penampakan segala sesuatu kepada kesadaran, akan tetapi ia juga berbeda dengan Kant dengan berpendapat bahwa fenomena tidak menyembunyikan realitas.
Husserl would agree with Kant that phenomena are things as they are known by our consciousness, but he denies that the phenomena hide the true nature of the thing (Joseph; 1980, 8).
Hal kedua yang bisa kita ambil dari fenomenologi Husserl yakni adanya dikotomi lain, yakni antara wilayah pra-teoritis dan wilayah teoretis. Apa yang dimaksud dengan wilayah teoritis di satu sisi kemudian yakni wilayah di mana kita mencoba mempelajari ‘Ada’ sebagai konsep-konsep partikular misalnya dalam ilmu biologi, fisika, arsitektur, manajemen, ekonomi, dll. Di sisi lainnya yang adalah wilayah pra-teoritis merupakan wilayah sebelum segala konseptualisasi ini dilakukan atau terjadi, wilayah di mana realitas menampilkan apa adanya. Fenomenologi bagi Husserl adalah metode yang kita gunakan setiap kali berhadapan dengan fenomena atau ‘Ada’ itu sendiri.
Penutup