Pengantar
Melalui lintasan sejarah kata dan konsep yang cukup panjang, fenomenologi kemudian tiba di tangan Edmund Husserl (1859-1938). Tidak bisa dipungkiri, Husserl menjadi salah satu filsuf paling berpengaruh di abad Ke 20 dan umumnya dikenal sebagai bapak fenomenologi. Husserl bahkan dianggap telah memberikan kontribusi penting bagi hampir semua bidang filsafat dan mengantisipasi gagasan-gagasan utama dari disiplin ilmu di sekitarnya seperti linguistik, sosiologi, dan psikologi kognitif.
Fenomenologi pada Husserl
Lantas, siapa sih Husserl itu? Husserl mempunyai nama lengkap Edmund Gustav Albrecht Husserl, orang-orang biasa menyebutnya Edmund Husserl atau Husserl saja. Ia lahir di negara Ceko, khususnya di Prostějov, Moravia, pada tanggal 8 April 1859. Meskipun lahir di Ceko, Husserl sendiri besar dan berkembang di Jerman. Di sana ia belajar sains dan matematika lalu kemudian belajar filsafat di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina. Dalam ranah filsafat ia diketahui mendapat pengaruhnya dari Franz Brentano (1839-1917). Husserl kemudian menjadi dosen dan mengajar di Universitas Göttingen dan Freiburg (Edward; 1972, 96). Husserl meninggal pada tanggal 26 April 1938 pada umurnya yang 79 tahun di Freiburg, Jerman.
Beberapa karya Husserl yang utama antara lain Logical Investigation (1900), Philosophy as Rigorous Science (1991), Ideas (1931), Formal and Transcendental Logic (1929), Cartesian Meditations (1931), The Crisis of The European Sciences and Transcendental Phenomenology (1936) dan Phenomenological Psychology (1962) (Moran; 2002, 59). Karya filsafat Husserl mengguncang pemikiran filsafat dan memengaruhi banyak pemikir berpengaruh lainnya seperti, antara lain Max Scheler, Martin Heidegger, Edith Stein, Eugen Fink, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden, bahkan bisa ditambahkan penulis untuk saat ini.
Lalu, bagaimana fenomenologinya? Sebagaimana dikatakan, Husserl sebelum menggeluti filsafat, pada awalnya ia seorang pakar Matematika, lalu kemudian tertarik mengulik filsafat dan memulai karier filsafatnya di bawah arahan Franz Brentano. Brentano diketahui berusaha membangun ilmu pengetahuan universal. Brentano beranggapan, bahwa ilmu pengetahuan universal mesti mengambil bentuk dalam psikologi deskriptif dan fenomenologis yang membatasi diri pada fenomena empiris dan secara adekuat mendeskripsikan fenomena-fenomena tersebut. Secara konsekuen, dalam asumsi Brentano, fenomenologi merupakan sebuah psikologi.
Husserl memang menjadi murid Brentano dan mendapat pengaruhnya tetapi ia juga mengambil jarak dari gurunya itu. Husserl mengembangkan fenomenologi transendental (transcendental phenomenology). Alasan dikatakan transendental karena penekanannya pada relasi pra-reflektif kesadaran terhadap dunia (Sambera; 2008, 19). Husserl berasumsi, kesadaran (consciousness) merupakan satu-satunya akses langsung (immediate) kepada dunia (fenomena). Tentu saja perlu hati-hati memengerti Husser di sini. Dapat kita tarik asumsi, bahwa Husserl tidak bermaksud menekankan kesadaran di atas fenomena, melainkan keterhubungan keduanya. Dalam hal ini, fenomenologi bukan subjektivisme sebab menurut Husserl, kesadaran selalu bersifat intensional. Maksudnya bagaimana?
Intentionality is a ubiquitous character of consciousness, and as the phenomenologists put it, it means that all consciousness (all perceptions, memories, imaginings, judgements, etc.) is about or of something. In that sense, experience is never an isolated or elemental process. It always involves reference to the world (Gallagher; 2012, 7).
Dapat diartikan bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Husserl menekankan bahwa kesadaran bersifat intensional, artinya kesadaran selalu diarahkan kepada sesuatu entah itu objek, ide, atau pengalaman lain. Seseorang yang sadar akan adanya sesuatu yang tampak seperti bola sudah pasti ada sesuatu seperti bola yang disadarinya. Ia selalu terhubung pada sesuatu yang bukan kesadaran, yakni fenomena. Dalam fenomenologi Husserl, hubungan antara kesadaran dan yang bukan kesadaran (fenomena) bersifat pra-teoretis atau sebelum segala pengkonsepan (Sambera; 2008, 19)
Oleh karena itu, muncul idiom kunci pada Fenomenologi Husserl yakni ‘kembali kepada hal itu sendiri’ (return to the things themselves) (Sambera; 2008, 13). Menurut Husserl, fenomenologi mengajak kita kembali pada segala sesuatu dalam bentuk aslinya sebagaimana ia tampak pada kesadaran pra-teoritis itu. Husserl lantas menganjurkan sebuah “sikap fenomenologis” (phenomenological attitude) dalam menghadapi dan membaca realitas. Sikap ini yang Husserl sebut dengan istilah ‘epoche’. Secara etimologi, epoche merupakan kata bahasa Yunani yang berarti ‘menangguhkan atau menahan diri’ (the act of holding back or refraining) atau lebih sederhana ‘restraint’ yang diterjemahkan dengan istilah ‘pengurungan’ (bracketing). Lantas, apa yang dikurung atau yang ditangguhkan dalam momen ini? Yah, “sikap alamiah” kita (natural attitude/ naturliche Einstellung) (Sambera; 2008, 18). Sikap alamiah (natural attitude) yang dimaksud Husserl mencakup segala hal yang menyangkut keseharian kita, termasuk kenaifan dalam menerima dunia sebagai sesuatu yang begitu saja ada (taken for granted) dan mengabaikan peran kesadaran (Gallagher; 2012, 25). Sikap alamiah juga yang dianggap ilmiah, termasuk yang dikurung juga dengan demikian mencakup segala jenis teori saintifik yang beroperasi berdasarkan asumsi akan adanya realitas yang independen terhadap kesadaran.
Along with the bracketing out of the world, we also eliminate any recourse to existing sciences and scientific theories as a possible source of explanation. Sambera, Rephrasing Heidegger, 17-19. ... They operate on the basis of a tacit belief in the existence of a mind-, experience-, and theory-independent reality. Reality is assumed to be out there, waiting to be discovered and investigated (Gallagher; 2012, 24).