Menurut A. Setyo Wibowo, dalam tulisan yang berjudul GM dan Zaratthustra-nya Nietzsche: Catatan dan Tawaran Perspektif
Lain terkait konsep kebenaran, "persoalan kebenaran dan kehendak kemudian dapat dianalisis dalam sebuah kerangka yang Nietzsche sendiri gunakan yakni genealogi". "Genealogi adalah pertanyaan tentang apa yang kumaui sesungguhnya saat aku menghendaki sesuatu" (A. Setyo Wibowo, 2022: 174). Penulis melihat bahwa persoalan tentang kehendak dan kebenaran perlu dipahami secara tepat. Kata kehendak dalam rumusan Nietzsche tidak persis bahkan sama sekali lain dari apa yang ingin disebut kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, penulis setuju dengan pembacaan bahwa dalam konteks pemahaman Nietzsche kata hanyalah selubung bagi sesuatu yang sama sekali lain, sesuatu yang kompleks dan tidak terkatakan. Kata sama sekali tidak dianggap mewakili realitas sebagaimana jelas diuraikan Nietzsche dalam penolakannya terhadap ide fixed dalam proses pembentukan kata atau konsep (A. Setyo Wibowo, 2004: 283). Secara sederhana kata merupakan pengungkapan terlambat atas sesuatu.Â
Kemudian, dalam kritik tajam Nietzsche atas kebutuhan untuk percaya dapat dilihat bahwa kebutuhan itu melingkupi semua dimensi kehidupan bahkan tampak dalam sebuah ketidakpercayaan. Semua pemahaman seperti ini bersumber dari pandangan Nietzsche bahwa yang paling primordial adalah Chaos. Intinya, di balik kritik tajam atas konsep kebenaran atau apapun yang diajukan Nietzsche adalah bahwa ada ide fixe (merujuk pada keterikatan subjek secara obsesif pada sebuah ide sedemikian sehingga ia selalu berotasi di sekitarnya). Dalam hal ini, manusia yang membutuhkan sebuah topangan kemudian menunjukkan dirinya dalam fiksasi atas sebuah ide (A. Setyo Wibowo, 2004: 252).Â
Chaos digambarkan sebagai 'kabut dan kegelapan', juga 'atau 'nganga'. Dari 'nganga gelap' inilah segala sesuatu muncul dan ada. Inspirasi dari tradisi Yunani dan Kristiani yang juga berasal dari Siro-Palestina dan Mesopotamia, berbicara tentang imaji keadaan asali yang adalah Chaos, yang artinya nganga jurang kegelapan. (Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004: 207)
 Oleh karena itu, realitas, kehidupan, dan kebenaran adalah chaos, yang tidak terdefinisikan tetapi dari sanalah penampakan selubung kebenaran menampakkan dirinya. Kesadaran diri pada gilirannya merelatifkan bentuk-bentuk yang membahasakannya sehingga tidak pernah berdiri sendiri karena hanya mengatakan yang  apa yang tidak terkatakan. Hal ini (kata kehendak) memang penting karena berusaha menyingkapkan yang tidak terkatakan tetapi sekaligus tidak begitu penting juga karena penyingkapan hanyalah penyingkapan saja (A. Setyo Wibowo, 2004: 208).
Identitas Sementara
Sebagai pribadi yang 'tercecer' (terpecah-pecah sebagai pribadi) manusia memang butuh menyatukan dirinya. Meski demikian, oleh karena ide fixed yang ia genggam untuk menyatukan diri bersifat eksternal, maka ia tidak benar-benar merasa dirinya satu (Setyo Wibowo, 2022: 201-202). Perasaan asing inilah yang membuat dirinya obsesif memegang ide fixed secara kaku sebagai satu-satunya kebenaran. Ia menolak kebenaran lain bahkan kebenaran lain membuat dirinya retak makin mudah hancur. Baginya, kebenaran hanya satu yakni yang ia pegang. Dalam hal ini, manusia generasi Z berputar dalam dekadensinya dan tidak mampu keluar dari ketidakberdayaannya, ia sangat butuh suatu pegangan, sehingga apapun yang ia jumpai, akan segera ia pegang dengan erat. Generasi dekaden tidak peduli bahwa kekekehannya memiliki harganya juga yakni penghancuran dirinya sendiri.Â
Sementara itu, identitas manusia yang Nietzsche idealkan adalah yang senantiasa sadar bahwa identitas yang dibangunnya sementara, selalu terbuka pada yang baru. Manusia seperti ini memiliki energi yang besar dari dalam dirinya. Lantas, manusia seperti ini tidak pernah memegang sebuah jaminan yang dimilikinya secara mati-matian melainkan selalu luwes. Menimbang tawaran Nietzsche bahwa segala sesuatu memungkinkan seorang manusia untuk mendapatkan cara baru menghadapi realitas dan kehidupannya menjadi dasarnya. Merasa benar sejatinya keharusan tetapi merasa paling benar menunjukkan kedangkalan. Berani berpikir sendiri bukan berarti tanpa referensi, justru selalu mencari lebih dari yang sekadar diketahui karena semakin aku ragu semakin aku yakin.
Bagi Nietzsche kebenaran adalah realitas itu sendiri (apa yang seada-adanya) bukan seperti tafsiran postmodern atas Nietzsche. Dalam tafsiran postmodern atas konsep kebenaran adalah bahwa kebenaran adalah ilusi atau kebenaran tidak ada. Akan tetapi, menurut Setyo Wibowo, yang memiliki pembacaan yang berbeda, kebenaran dalam pengertian Nietzsche ini sejatinya selalu berelasi dengan pengalaman orang atasnya. Kebenaran dapat dikatakan semacam obat yang dikonsumsi sesuai takaran dan kebutuhan orang yang menggunakannya (Setyo Wibowo, 2022: 173). Oleh karena itu, berkaitan dengan subjek yang menggunakan kebenaran, setiap orang memiliki ukurannya masing-masing. Menelisik seorang fanatik misalnya, ia akan membela mati-matian sebuah kebenaran karena ia membutuhkannya. Bagi seorang yang fanatik, kebenaran yang dipikirkannya juga di situlah pegangan hidupnya. Sebaliknya, roh yang ditawarkan Nietzsche adalah roh yang ringan yang hanya menggunakan kebenaran sejauh perlu saja. Roh ringan paham bahwa kebenaran itu memang hanya selubung yang sekiranya tidak harus dinikmati berlebihan. Sebaliknya juga, roh ringan juga tidak perlu menjauhi kebenaran seperti hantu dan cemas akan realitas yang dihadapinya. Roh ringan memiliki diktumnya yakni 'Iya dan tidak'. (Setyo Wibowo, 2022: 174).Â
Daftar Pustaka
Asmaradana A. Aura. Kehendak Kuasa: Siapa Mereka?, dalam Majalah Basis No. 03-04
(2016).