Siapa yang tahu, tiada yang mnyangka, tiada yang berprasangka
Tuhan memberikan kebebasan kepada hati ini untuk memilih. Bertahan atau menyerah. Bergerak atau mundur. Membenci atau mencintai. Semua bisa kita rancang sendiri tinggal bagaimana otak ini mensugesti. Bagitu para pemikir mencetuskan teori. Dan aku, seorang perasa yang tidak ingin terlihat lemah di depan cinta. Membohongi diri sendiri, memakai topeng untuk menyelinap di sebuah hati, sambil memabawa kaca pembesar layaknya seorang detektif. Adalah cara untuk membentengi diri dari rasa yang tak seharusnya tumbuh dalam hati. Tidak banyak orang yang tahu tentang apa yang aku selami. Siapa minta aku bertindak demikian. Ketika hati sudah terluap emosi, bagaimana cara tetap menjadi pribadi yang disukai. Sulit, memang ia. Namun ini harus kulakukan demi keutuhan persahabatan kita.
Ketika presepsi tidak sesuai dengan apa yang harus kita hadapi. Ketika kita mulai terlalu menuntut terhadap orang lain, ketika itu hati mulai guncah karena kesakitan. Ada satu waktu dimana aku terdiam, dalam pikiran yang kosong. Tidak satupun bisa menjawab. Dan hanya ada kamu di pikiran itu. Membuatku stuck tak bisa bergerak. Ingin berpindah tapi seperti terikat bola besi di tengah hamparan pasir putih nan alami. Pilihan pun menjadi tiada guna. Seperti orang buta, hanya tahu tentang hati. Intuisi mulai mengusik sana-sini.
Hanya tersenyum dalam hati. Terkadang, kita membenci seseorang hanya karena kita tidak bisa memahami apa maksud dari yang dilakukan orang tersebut. Terkadang, kita mencintai seseorang karena rayuan dan melihat adanya kebaikan. Cinta sejati pun, ada ketika saling memahami dan mampu melengkapi. Apakah masih percaya dengan suara hati. Saat terpaksa harus membenci dengan tiba-tiba kemudian mencintai.
Karol. Tak banyak lagi kuingat tentang apa yang sudah ia lakukan dahulu. Umpatanku, makianku, dan semua letupan api yang ada dalam diriku terluap seperti utahan yang menyembur dan mengotori wajahnya. Aku menunggunya tepat pukul 15.00 sebelum aku pentas untuk yang pertama kalinya di atas panggung megah. Dia berjanji di jam itu, untuk datang membawa biolaku yang tertinggal di galerinya. Sepekan sebelum kejadian ini kita berfoto bersama. Yaa... kita. Karol dengan kuasnya, Andre dengan kameranya, Betty dengan pena kesayangannya, Klief dengan apple nya nyentrik, Denka dengan tas kariernya yang tinggi, dan Nad bergaya ala esksekutif muda dengan rambutnya yang digelung ke dalam.
Kita bersama, karena kita berbeda. Kita sama karena kita merasa sama. Merasa tidak ada kolerasi antara jurusan manajemen yang sedang kita pelajari dengan hobi yang tengah kita geluti. Keuali Nad. Dia yang paling ngeh bicara tentang bisnis dibandingkan kita. Hari itu hanya Karol dan Klief yang berjanji untuk melihat pentas perdanaku. Klief sudah menemaniku sejak sejam yang lalu. Menunggu Karol yang tak kunjung datang. Dengan hati berdebar dan giliranku pun tiba.
"Mana karol?" mataku sudah mulai berkca-kaca. Ponselnya mati. Klief tak bisa membantu apapun kecuali menenangkanku. Apa yang harus ditenangkan. Hari itu, penampilan perdanaku pun gagal. Hari itu juga, aku bersumpah tak akan memaafkan Karol. Apakah itu sugesti? Semenjak itu melihat Karol seperti melihat tai kucing yang menjijikkan. Aku mulai jarang berkumpul bersama mereka. Tidak untuk menemui Karol. Tidak juga untuk melihat Karol. Aku tak pernah bisa memahami tentang apa yang dilakukan Karol. Bagiku semua yang dilakukannya adalah tidak berguna. Ya, sekalipun dia ketua timku dalam drama musikal akhir pekan nanti. Tak satupun katanya aku turuti. Ah... jika pentas ini gagal bukan salahku karena dia juga pernah menggagalkan pentasku.
Tak ada kata maaf dari mulutnya, entah seberapa fatal kesalahannya. Klief, Nad, Andre dan lainnya terus mendesakku untuk memaafkan Karol. Sulit untuk mengiklaskan pentas pertama. Hingga satu tahun pun berlalu. Satu persatu tanyaku tentang biola itu terjawab sudah. Ketika aku terus mengumpat tanpa menanyakan apa yang terjadi, Karol pun akhirnya mengembalikan biola itu.
"Aku tidak akan meminta maaf jika aku belum bisa bertanggung jawab atas kesalahanku." begitu katanya sambil menyerahkan biola itu. Dan kemudian dia pergi.
Dan itulah hari terahir aku melihat wajahnya. Sampai hari ini tiba. Andre menceritakan semuanya. Ketika biola itu dicuri, dan Karol berusaha menyelamatkannya. Entah bagaimana ceritanya biola itu bisa jatuh dan hancur. Selama satu tahun, Karol berusaha mengumpulkan uangnya untuk mengganti biola itu. Bahkan ini biola terbaik yang pernah aku punya. Biola yang aku impikan yang bahkan untuk membelinya aku harus kerja keras mengikuti pentas dimana-mana.
Sejak kelulusan, kita memang tidak pernah berjumpa dengan Karol. Sejak dia memutuskan untuk mendalami seni di Eropa. Tak ada kabar lagi tentang dia. Hingga hari ini. Aku bersimpuh. Menangis, menyasali semua kebencian yang pernah aku tenam tentang dia. Melihat biola ini pun, serasa hati kecil ingin memeluknya. Tapi itu hanya hayalan belaka. Siapa sangka ketika ada sekelumit cinta di balik kebencian yang mencuak. Dan semua itu sudah terlambat. Ketika hari ini aku mendapatkan berita, lusa dia akan melangsungkan pernikahan dangen kekasinya.