Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Ini adalah semangat yang digelorakan oleh film Negeri 5 Menara. Sebuah film tentang kerja keras, semangat, keikhlasan, dan kesungguhan. Film yang diangkat dari novel pertama dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.
Berawal dari keinginan orangtuanya, Alif, seorang pemuda yang baru saja lulus SMP di daerah Maninjau, Sumatera Barat, berangkat menuju Pesantren Modern Pondok Madani (selanjutnya ditulis PM), dengan sebuah keterpaksaan. Namun, keterpaksaan itu berubah seiring perjumpaannya dengan berbagai cerita di PM. Diantarkan oleh senyuman ayahnya Alif akhirnya lulus tes dan diterima sebagai murid pondok yang oleh Kyai Rais, kepala pondok tersebut, disebut sebagai sekolah kehidupan. Benar saja, bersama 5 orang sahabat yang ia temui di sana, Baso, Atang, Said, Raja, dan Dulmajid, Alif belajar banyak hal tentang kehidupan. Ini adalah kisah tentang 6 orang pemuda yang setiap sore memandang langit bergambarkan 5 negeri impian mereka dari bawah menara PM. Dan mereka adalah sahibul menara (pemilik menara).
Terlepas dari novelnya, dan memang film tidak dapat dibandingkan dengan novel karena merupakan dua media yang sangat berbeda, Affandi Abdul Rachman sebagai sutradara dengan gemilang membawa Negeri 5 Menara sebagai film yang sangat diterima oleh penonton. Affandi dapat dengan lancar menuturkan cerita Alif dan kawan-kawan. Kekurangan teknis yang ada pada film seperti beberapa angle dari belakang badan yang gagal, kesalahan nama Sutan Syahrir yang pada lembar soal tes masuk PM tertulis Sultan Syahrir, make up Fahmi (Andhika Pratama) yang tampak berlebihan, serta logat Amak (Lulu Tobing) dan Randai (Sakurta Ginting) yang ‘gagal Minang’ dapat tertutupi oleh kegemilangan Affandi menuturkan film ini.
Penonton akan dibawa kepada pengalaman yang luar biasa dengan pemandangan, pencahayaan dan pemilihan warna (tone) yang indah sepanjang film. Pemilihan adegan yang sangat tepat juga akan membuat mata kita tidak akan beralih dari layar teater tempat film ini diputar. Adegan-adegan simbolis seperti foto Alif yang disandingkan dengan Bung Hatta dan Buya Hamka serta pena yang diberikan oleh ayah kepada Alif sebagai bukti kepercayaannya menjadikan Negeri 5 Menara semakin bermakna. Sebuah karya yang menawan dari kolaborasi tim produksi yang hebat.
Sebuah catatan khusus wajib kita berikan untuk para pemain dalam Negeri 5 Menara. Donny Alamsyah mampu memerankan Ustad Salman dengan menggelora dan mempesona. Ikang Fawzi yang berperan sebagai pimpinan PM, Kyai Rais, dapat lepas dari imejnya sebagai model sebuah iklan yang kerap muncul di televisi akhir-akhir ini dan dengan sangat berbeda muncul sebagai sosok Kyai yang kharismatik. Sebagai pendatang baru para sahibul menara: Gazza Zubizzaretha (Alif), Billy Sandy (Baso), Ernest Samudera (Said), Rizki Ramdani (Atang), Aris Adnanda Putra (Dulmajid), dan Jofani Lubis (Raja) mampu menjawab peran yang diberikan kepada mereka dengan hasil yang memuaskan. Billy dan Rizki terutama dengan mengesankan menghidupkan suasana dengan karakter Baso dan Atang yang bahkan dalam film ini sinarnya nyaris meredupkan tokoh Alif.
Berbicara mengenai Man Jadda Wajada yang menjadi semangat utama film ini sebenarnya bisa mendapatkan penggarapan yang lebih sehingga klimaks yang dicapai dapat lebih baik. Satu hal lagi, karakter sahibul menara yang sedari awal film telah dibangun dengan kuat itu tidak mendapatkan akhir yang seirama. Ada sebuah anti klimaks yang sedikit membuyarkan apa yang sudah dibangun dari awal. Sesuatu yang tidak harus terjadi pada film yang telah memiliki nuansa yang baik sedari pembukaannya.
Bagaimana pun, Negeri 5 Menara akhirnya sampai pada akhir ceritanya yang bahagia. Setelah tulisan 'segera difilmkan' tertulis pada novelnya beberapa tahun yang lalu, setelah penantian lama berjuta pengagumnya, kata-kata itu akhirnya menjadi nyata. Sebagai sebuah karya dan sebagaimana karya-karya lainnya yang juga memiliki warna di dalamnya, Negeri 5 Menara akhirnya mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat luas. Tawa dan kekaguman penonton yang enggan untuk menjeda adalah buktinya. Bukti dari kata-kata Man Jadda Wajada itu. 8 dari 10 bintang dari saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H