Pertama kali aku lahir di kota ini, aku merasa seperti berada di rumah. Bersama para penduduk yang ramah, tak banyak bangunan megah maupun mewah. Malam ini aku sudah berada di bandara, duduk menunggu saudaraku, Arkansas, menjemputku. Aku sudah tidak sabar lagi menantikan suasana indah kota ini. Mendengar senandung nada para pengamen di jalan, menikmati secangkir kopi ditemani cahaya purnama. Sungguh, sebuah kota senja yang tak pernah kulupa.
"Tema hari ini tentang cinta," batinku. Hampir di setiap senjang waktu, aku menulis beberapa larik paragraf tentang apa yang aku rasakan saat itu,"Cinta, terhadap kota senja yang tiada dua," lanjutku tersenyum seorang diri.
Aku hanya membawa satu backpacker, bekal pakaian yang cukup untuk tiga hari dua malam. Tujuan utamaku datang ke sini bukan untuk liburan, melainkan untuk sebuah pekerjaan.
"Radit, sudah lama menungguku?" tanya Arkansas yang tiba-tiba hadir di hadapanku.
Begitulah aku, aku dipanggil Radit. Oleh siapapun, kapanpun dan di manapun namaku tetap Radit.
"Kukira kau akan lama di perjalanan," sangkaku bergurau.
Arkansas tersenyum tipis, menaikkan pundaknya sejenak lalu menjatuhkannya kembali.
"Jalanan lengang malam ini, mobil lama ayah masih bisa dipakai untuk beradu kecepatan,"
Kami berjalan berdua menuju tempat parkir. Arkansas adalah adikku satu-satunya karena kami hanya dua bersaudara. Aku dan dia hanya selisih dua tahun. Jika ingin melihat perbedaan di antara kami, jelas tidak ada perbedaan mencolok. Lima belas tahun kami besar di keluarga yang sama, selama itulah kami hidup dalam pola hidup yang sama.
Arkansas memacu mobil. Jalanan lengang seperti apa yang telah dikatakannya. Aku menikmati perjalanan dari balik kaca mobil, sungguh kota ini yang sejak lama kurindukan masih tetap sama seperti sedia kala. Aku masih bisa melihat purnama malam ini. Gemerlap lampu kota menemani perjalanan pulang ke rumah. Kerinduan serasa terobati malam ini, kerinduan bersama kota senja Yogyakarta.
"Bagaimana pekerjaanmu di Jakarta?"